Andreas Harsono
Wajah seorang Tionghoa kelahiran Pulau Jawa pada zaman Presiden Soeharto.
Namanya Ong Tjie Liang (王 志 良). Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November lalu, menjelang pemilihan gubernur Aceh, saya bertemu lagi dengannya di Hotel Sultan di daerah Peunayong, Banda Aceh.
Saya memanggilnya “Liang.” Dia seorang
travel writer. Saya pernah membaca laporannya soal Pulau Weh. Ketika bertemu di Aceh, dia bilang baru kembali dari Merauke di Papua. “Merauke datar, nggak ada pohon tua, semua bangunan baru, abu-abu, nggak ada sejarah.”
“Sabang jauh lebih punya sejarah,” katanya, mengacu pada kota di Pulau Weh.
“Mungkin zaman van Heutsz, Merauke tak sebesar dan seburuk sekarang. Transmigrasi besar-besaran dari Jawa (sejak 1980an) bikin Merauke berkembang tanpa kendali.
Welek kabeh.”
Van Heutsz adalah Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira Belanda yang mengklaim bahwa Belanda menang dalam Prang Atjeh pada 1904 dan lantas memperkenalkan slogan “
vom Sabang tot Merauke” atau “dari Sabang sampai Merauke.” Slogan ini belakangan dipakai Presiden Soekarno ketika hendak menduduki Irian Barat pada 1960an. Maka lagu terkenal ciptaan R. Surarjo “Dari Barat Sampai ke Timur” diubah jadi “Dari Sabang Sampai Merauke.”
Liang suka pindah-pindah isi pembicaraan. “Pernah coba makan bubur sapi depan Hotel Katulistiwa di Singkawang?” tanya Liang, ketika tahu saya sering ke Pontianak, tiga jam dari Singkawang.
Ketika kenalan kami, Voja Miladinovic dari Sipa Press, butuh alamat di Manado, Liang mengeluarkan telepon seluler dan memberikan beberapa nama orang Minahasa, Sangir maupun Talaud.
Liang pernah menulis soal Hotel Turismo di Teluk Dili. Ini hotel indah, bersejarah, dibangun zaman Portugis. Pada November 1996, militer Indonesia curiga kehadirannya. Di hotel itu ada sekelompok aktivis hak asasi manusia dari Australia dan Irlandia, hendak memperingati penjagalan orang Timor oleh tentara Indonesia di kuburan Santa Cruz, November 1991.
“George Toisuta memerintahkan kami semua meninggalkan Dili,” katanya.
“Aku satu pesawat dengan orang Irlandia itu.”
Toisuta kini panglima Kodam Siliwangi di Bandung. Dulu Toisuta malang melintang di Timor Leste, Aceh dan Papua.
Liang juga bolak-balik ke Ambon dan Ternate ketika apa yang disebut “perang agama” antara Islam dan Kristen bergejolak. Pendek kata, dia sering berada di tempat di mana ada pergolakan. Dia masuk ke basis Gerakan Acheh Merdeka di Pidie tapi juga blusak-blusuk di Biak, Wamena atau Timika. Dia mewawancarai Aung San Suu Kyi di Rangoon tapi juga Jose Ramos-Horta di Vancouver.
Orang yang kenal dia sering bingung dengan perjalanannya. Voja Miladinovic menyebut Tjie Liang, “A good writer who could sense the pulse of Indonesia and put it into words.” Marrissa Haque, seorang artis-cum-politikus, pernah bertanya kepadanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”
Liang tersenyum kecut ketika menunjukkan SMS Marissa kepada saya.
“Masak aku dianggep CIA?” katanya.
Saya tertarik mengenal Liang karena ia berbeda dari stereotype Hoakiao di Indonesia. Mereka biasanya dianggap tak suka politik, lebih banyak kerja di bidang bisnis atau kerja sebagai dokter, arsitek, manajer atau pemain badminton. Mereka juga sering dianggap kaya. Licik. Egois. Tidak membaur. Kalau ada masalah melarikan diri. Mereka sering jadi kambing hitam bila terjadi krisis di kepulauan ini.
Saya lebih suka memakai kata “Hoakiao” atau overseas Chinese daripada kata “Cina” maupun “Tionghoa.” Baik “Cina” maupun “Tionghoa” secara linguistik tak membuat pembedaan antara orang macam Liang dengan orang-orang yang ada di daratan Tiongkok.
“Tionghoa” atau “Zhonghoa” (ä¸ å´‹) artinya “orang (kerajaan) Tengah.” Zhongguo (ä¸ å›½) adalah nama Republik Rakyat Tiongkok dalam bahasa Mandarin. Nama “Cina” berasal dari kata dinasti Cin. Nama “Cina” resmi dimaksudkan untuk menghina pada zaman Presiden Soeharto. “Hoakiao” (padanannya “Huaren” maupun “Huayin”) lebih cocok untuk orang macam Liang. Charles Coppel, yang menulis disertasi The Indonesian Chinese in the Sixties: A Study of an Ethnic Minority in a Period of Turbulent Political Change, belakangan memilih menyebut mereka dalam bahasa Inggris “Chinese Indonesian” (bukan Indonesian Chinese). Artinya, mereka lebih “Indonesia” daripada “Chinese.” Novelis Pramoedya Ananta Toer memakai kata “Hoakiao” dalam bukunya Hoakiao di Indonesia. Saya kira panggilan “Hoakiao” lebih cocok walau saya juga tak kaku pada pemakaian “Cina” maupun “Tionghoa.”
Liang menarik sebagai bahan studi kasus karena dia lahir pada 1965 ketika Soeharto mulai naik kuasa dan melarang semua yang berbau Cina maupun Hoakiao. Soeharto membunuh lebih dari tiga juta warga Indonesia. Mereka dianggap komunis. Sekolah-sekolah mereka ditutup. Bahasa Mandarin tak boleh muncul. Ada larangan membawa buku atau cetakan dengan karakter Mandarin. Mereka dipaksa mengganti nama mereka. Mereka tak boleh merayakan Imlek. Mereka harus minta surat kewarganegaraan Indonesia walau mereka lahir di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan sebagainya. Walau mereka lancar bahasa Jawa, Melayu, Madura dan lain-lain, mereka dianggap “keturunan asing.”
Kini sesudah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya, diskusi soal orang-orang macam Tjie Liang bisa dibicarakan lebih terbuka. Presiden Abdurraman Wahid mengizinkan kebudayaan Hoakiao dipertunjukkan kembali: bahasa Mandarin, tahun baru Imlek, agama Khong Hu Chu dan sebagainya. Saya ingin tahu bagaimana generasi Hoakiao ini memandang dirinya sendiri? Bagaimana generasi yang hilang ini memandang diskriminasi terhadap diri mereka?
Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Ini mengingatkan saya pada gambaran perkebunan gula dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya.
Pusat kota Jember biasa disebut “Jalan Raya.” Disana ada macam-macam toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao Jember kebanyakan beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas. Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari 0.5 persen.
Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember memakai kata “koen” atau “kowe” untuk panggilan orang kedua. Ada kata songar, kata salbuk maupun diancuk!
Oleh-oleh khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).
Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina, perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred Birney.
“Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember,” kata Jacoba Jasina Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.
George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya. Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan. Pada 1950an, perkebunan-perkebunan ini disita pemerintah Indonesia dan dijadikan perkebunan negara.
Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie, empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya “paman tua”). Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua. Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual radio dan tape recorder.
Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja. Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. “Itu daerah miskin, nggak ada industri,” katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan. Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.
Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya. Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.
Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.
Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama “Han Gwan Hin.”
Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di Amsterdam. Toko “Han Gwan Hin” ikut berkembang dalam pertumbuhan ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling, ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.
Pada 1930an, ada dua suratkabar menarik di Jember. Mingguan Pembrita pimpinan Kwee Thiam Tjing dalam bahasa Tionghoa-Jawa serta De Oosthoek Bode pimpinan Brunswijk van Hulten dalam bahasa Belanda. Di tanah Birnie, kedudukan orang Belanda lebih menonjol dibanding kota-kota lain di Jawa. Suatu saat Pembrita kasih turun informasi bahwa van Hulten memaki dan menempeleng satu Tionghoa yang mengetok rumah van Hulten untuk kembalikan uang kelebihan ongkos pengangkutan. Van Hulten marah karena dia diganggu saat istirahat pukul 2 siang. Si Tionghoa mengadu ke rumah Kwee di Gang Tengah, dekat Hotel Mars.
Pemberitaan Pembrita bikin Van Hulten marah, "In hem berkennen wij de communist van Soerabaja, de oproerkraaier en onruststoker." Artinya, Van Hulten menuduh Kwee orang komunis dari Surabaya, hendak bikin kacau Jember. Caci maki saling bergulir di mingguan mereka. Van Hulten belakangan menggugat Kwee ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dia juga mengeluh Kwee tak mau menyapanya dengan Meneer atau Heer. Hanya sebut nama: Van Hulten.
Dalam sidang, Kwee tak mau buka nama orang Tionghoa tersebut. Dia dihukum denda 25 gulden. Kwee sendiri pernah dipenjara dua kali karena
pers-delict. Dia dianggap sebagai wartawan yang berani, termasuk membela bangsa Aceh dalam pertempuran 1925, melawan kolonialisme Belanda. Kwee hantam opini dari
Soerabajasch Handelsblad dan
Indische Courant, yang sering minta agar orang-orang Aceh ditembak mati. Pada 1947, Kwee menerbitkan buku
Indonesia Dalem Api dan Bara, salah satu narasi terbaik, yang pernah terbit dari Pulau Jawa. Nama penanya, Tjamboek Berdoeri.
Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo Suryadinata dalam buku
The Culture of the Chinese Minority in Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao:
peranakan dan
totok. Dua kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina ke Jawa meningkat.
Menurut Suryadinata, kaum peranakan atau
babah kebanyakan tak menguasai bahasa etnik mereka, entah Hokkian, Hakka atau Teochiu. Ada sedikit yang bisa bahasa Mandarin, satu dari lima bahasa resmi Perserikatan Bangsa-bangsa. Mereka relatif tinggal lebih lama di Pulau Jawa. Kwee Thiam Tjing sudah tujuh generasi tinggal di Jawa dan Madura. Mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan kurikulum Belanda. Orientasi kewarganegaraan mereka adalah Belanda. Mereka bekerja sebagai profesional, dokter, arsitek, penulis dan sebagainya.
Misalnya, anak George Birnie, Willem, sesudah berpisah dari isteri Belandanya, kawin tanpa ikatan pernikahan resmi, dengan seorang perempuan peranakan bernama Sie Swan Nio. Mereka punya lima anak, semuanya lahir di Surabaya, antara 1912 dan 1925. Ayah novelis Alfred diberi nama Adolf Sie. Dia seorang peranakan Indo-Tionghoa.
Beda dengan peranakan, kaum totok orientasinya ke Tiongkok. Anak-anak totok sekolah bahasa Mandarin. Mereka juga menguasai bahasa Mandarin atau bahasa etnik. Agamanya kebanyakan Khong Hu Chu. Ini berbeda dengan kaum peranakan yang cukup banyak beragama Katholik atau Protestan. Pekerjaan totok kebanyakan berdagang. Keluarga Ong adalah keluarga totok. Mereka memelihara rumah abu moyang mereka. Mereka memakai dua bahasa: Hokkien dan Melayu. Di Jember, Siauw Tja melahirkan lima anak lagi sehingga total ia memiliki lima putra dan tiga putri. Anak-anak ini bisa bahasa Madura dan Jawa.
Menurut Hwie, papanya berwatak sedikit keras. “Kerja apa saja mau dia. Seperti becak, itu khan kerjaan nggak enak. Dia bisa berhasil kerja,” kata Hwie. Belakangan Swie menjadi juragan becak.
Pada 1936, Siang meninggal dunia di Tiongkok. Pada awal 1941, Swie pergi ke Tiongkok untuk urusan keluarga kakaknya. Ketika suaminya pergi, Siauw Tja hamil anak bungsu mereka. Anak ini lahir pada 18 November 1941 dan dinamai Ong Seng Kiat (王 先 业). Dialah yang kelak menjadi ayah Ong Tjie Liang.
Beberapa bulan sesudah kelahiran Seng Kiat, Jepang menyatakan ikut Perang Dunia II dengan menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Jepang segera menduduki Asia Tenggara. Kehidupan ekonomi dan sosial di Hindia Belanda porak-poranda. Di Jember, bahan makanan dan pakaian sulit sekali didapat. Perkebunan banyak tak berjalan karena banyak pegawai administrasi ditangkap Jepang.
Jacoba Jasina Maria Vink mengatakan bahwa bapaknya meninggal dalam tahanan (intern) Jepang di Ambarawa, dekat Jogjakarta. Rumah mereka dirampas “pemuda” –maksudnya milisi Indonesia. Jacoba Vink dan saudara-saudaranya ditahan bersama sekitar 300 orang Belanda di Kotok, sebuah perkebunan dekat Jember. “Besar sekali sentimen terhadap orang Indo,” kata Jacoba.
“Kalau sini jalan, nggak punya sepatu dimakan rayap. Mau jalan ke gereja dibilang, ‘
Oh iku senuk Jepang,’” kata Jacoba, artinya, “Oh itu pelacur Jepang.”
Yauw Siauw Tja bekerja keras menghidupi ketujuh anaknya. Putri sulungnya kebetulan sudah menikah dan tinggal di Banyuwangi. Menurut Ong Seck Nio, adiknya Hwa, mama mereka membuat kue keranjang dan telor bebek asin. Remaja Hwie berjualan ikan asin di daerah Puger, sebuah perkampungan nelayan. Hwa dan Seck Nio berjalan kaki menjajakan telor asin dan kue keranjang. “Jalan sampai Patrang,” kata Seck Nio kepada saya. Patrang waktu itu daerah pinggiran kota Jember.
Hwa dan Seck Nio juga harus membantu mengasuh adik-adik mereka, yang masing-masing hanya terpaut satu tahun. Pada 1945, ketika Seck Nio berumur 13 tahun, dia diminta ikut kakaknya, Ong Seck Eng, pindah ke Banyuwangi, mengasuh anak-anak Seck Eng.
Perang Dunia II membuat hubungan kapal laut antara Tiongkok dan Jawa terputus. Pada Agustus 1945, Soekarno dan Mohamad Hatta, dua tokoh nasionalisme Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Belanda tidak terima. Belanda dan Indonesia berunding, diwarnai perselisihan militer, hingga 1949, ketika Hatta menerima penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat di Den Haag.
Ong Kong Swie tak bisa keluar dari Tiongkok untuk kembali ke Jember. Dia menikahi janda kakaknya di Tiongkok. Baru pada 1948, ketika suasana perang pelan-pelan mereda, Swie naik kapal ke Medan lalu kereta api ke Jakarta dan Surabaya. Seng Kiat pertama kali menjemput papanya pada umur tujuh tahun. “Dia takut pulang ke Jember, punya salah,” kata Seng Kiat.
Ong Seng Kiat tumbuh dewasa di Jember. Dia pandai bergaul, suka bergurau, suaranya besar dan punya banyak sekali kenalan –Hoakiao, Hakka, Madura, Jawa, Osing dan sebagainya. Dia bisa bahasa Melayu, Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Nama “Seng Kiat” –banyak orang susah mengeja nama-nama Hoakiao— secara alamiah disederhanakan dalam pergaulan menjadi “Sengkek.”
Sengkek sempat mengecap bangku sekolah menengah di Surabaya namun kelas dua sudah keluar. “
Ngerpek (mencontek) ketemu diusir,” kata Sengkek. Sengkek dikeluarkan dari sekolah bersama kakaknya, Seng Hay, yang lebih tua setahun. Kakak sulungnya, Hwie, menyayangkan adik-adiknya tak sekolah dengan benar. Dia mengatakan pada saya bahwa wajar bila anak-anak tertua --macam dirinya, Hwa dan Nio-- sekolahnya kacau karena zaman perang. “Mama terlalu memanjakan anak-anaknya,” kata Hwie, mengeluh soal adik-adiknya.
Pada 5 Maret 1963, Ong Kong Swie, setelah 15 tahun kembali hidup di Jember, meninggal dunia. Sengkek menikahi tunangannya, Tjen Ie Lan, seorang perempuan Hakka, di depan peti jenasah papanya. Sengkek percaya lebih baik menikah depan jenasah orang tua daripada menunda pernikahan. Swie dimakamkan di kuburan orang Hoakiao di Kaliwates, Jember. Sengkek memutuskan berdagang alat-alat listrik, mengubah nama “Han Gwan Hin” menjadi Toko Sinar. “Modal cuma Rp 137,500,” kata Sengkek.
Tjen Ie Lan, isteri Sengkek, seorang perempuan kelahiran Kalisat tahun 1943. Orang tuanya, Tjen Tek Jong dan Tan Bing Lien, berasal dari distrik Ta Bu, provinsi Hakka di Guang Dong, selatan Tiongkok. “Kebanyakan disana
soro (sengsara), ke Jawa cari kehidupan baru,” kata Tjen Ie Ing, kakak perempuan Ie Lan, kepada saya.
Alasan klasik. Para imigran di seluruh dunia, dari Amerika hingga Afrika, mencari penghidupan lebih baik ketika suasana di kampung halamannya susah. Ketika masih berumur belasan tahun, Tek Jong berangkat dari Guang Dong menuju Hongkong. “Agak lama di Hongkong, terus Singapore lalu Jakarta,” kata Ie Ing.
Pada 1924, ketika baru berumur 17 tahun, Tek Jong tiba di Surabaya dan memutuskan berdagang di daerah perkebunan tembakau di Kalisat, dekat Jember. Dia juga mengundang ayahnya datang ke Kalisat namun si ayah tidak kerasan dan kembali ke daratan Tiongkok.
Sepuluh tahun di Kalisat, Tek Jong “mengimpor” calon isteri dari Tiongkok lewat bantuan seorang mak comblang. Tan Bing Lien baru berumur 19 tahun ketika tiba di Kalisat. Dia juga baru pertama kali bertemu calon suaminya. Perempuan ini mungil, biasa kerja keras, anak yatim. Mereka menikah dan dikarunia dua putra dan dua putri.
Ada seseorang yang membuat perubahan besar dalam keluarga Tjen dan kelak pada kehidupan Tjie Liang. Pada 1939, sebuah gereja Pantekosta di Surabaya mengundang seorang penginjil dari Tiongkok. Namanya, Dr. John Sung, yang terkenal di daratan Tiongkok dan Asia Tenggara.
John Sung sebelumnya kuliah di Wesleyan University di Ohio, Amerika Serikat, lalu meraih Ph.D. di bidang kimia di Ohio State University. Dia mahasiswa cerdas. Gelar master dan doktor dicapainya hanya dalam 30 bulan. Namun kehidupan John Sung makin hari makin kristen. Dr. John Sung lalu memutuskan kuliah theologi di Union Theological Seminary di New York. Namun dia tak suka dengan pendekatan ilmiah di sekolahnya. Agama kok dilihat dengan nalar? Pada 1927, dia pulang ke Tiongkok. Di kapal, dia terus-menerus berdoa, akhirnya memutuskan membuang semua ijasah, sertifikat dan medali penghargaannya ke laut. Walau bisa membangun karir dan menjadi kaya raya sebagai pejabat dalam birokrasi Kekaisaran Tiongkok, John Sung memutuskan jadi pengkhotbah miskin.
Caranya berkhotbah tergolong spektakuler. Dia menyanyi, berkhotbah, menangis, berkhotbah, menyanyi, biasanya selama dua jam, tiga kali sehari! John Sung pernah membawa peti mati ke dalam gereja, lalu berteriak, “Cari uang, cari uang, angkat peti mati ini.” John Sung pun lantas masuk ke dalam peti. Maksudnya, dia mengkritik orang Cina yang cuma cari uang, lupa urusan agama dan kematian. Cara-caranya berkhotbah menimbulkan sensasi. Di Surabaya, dia mempengaruhi banyak orang Hoakiao, termasuk suami-isteri Tek Jong dan Bing Lien, masuk agama Kristen.
Ie Lan lahir ketika orang tuanya sudah Kristen. Dua tahun sesudah menikah, Ie Lan melahirkan putra sulungnya, Ong Tjie Liang. Mereka tinggal di sebuah rumah dalam sebuah gang sempit. Sengkek sibuk mengelola Toko Sinar. Ie Lan jadi ibu rumah tangga sekaligus membantu suaminya di toko.
Tiga minggu sesudah kelahiran Liang, pada 1 Oktober 1965, sekelompok tentara dari Divisi Diponegoro dan Tjakrabirawa, menculik dan membunuh beberapa jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Para penculik diduga perwira-perwira binaan Partai Komunis Indonesia. Maka Jenderal Soeharto memimpin suatu penumpasan golongan kiri, yang termasuk paling berdarah di dunia. Pulau Jawa banjir darah! Antara dua hingga tiga juta orang dibunuh tanpa lewat proses pengadilan. Di Jember, belasan orang mengatakan pada saya bahwa mereka sering melihat mayat mengapung di sungai. Banyak mayat tanpa kepala.
Suasana chaos. Ie Lan mengungsi sementara ke Surabaya. Sengkek sering meninggalkan Ie Lan sendirian di rumah. Sengkek ternyata juga sering memukul Ie Lan bila bertengkar. Ie Lan mengatakan pada saya bahwa dia merasa “lahir baru dan percaya Yesus” pada periode ini. Dia berubah dari orang Kristen formal menjadi Kristen Lahir Baru. Ie Lan lantas rajin pergi ke gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee cabang Jember. Ini sebuah gereja Hoakiao, didirikan sejak zaman Belanda, dengan nama Bond Kristen Tionghoa. Ie Lan rajin membantu pekerjaan gereja.
Pada awal 1970an, Soeharto sudah membungkam semua lawan politiknya. Ratusan ribu aktivis kiri diasingkan di Pulau Buru. Amerika Serikat dan Inggris diam saja melihat pelanggaran demi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Mereka menganggap Soeharto sekutu penting mereka dalam menghadapi komunisme. Soeharto membuka pasar Indonesia terhadap modal Barat. Freeport McMoran membuka tambang raksasa di Papua. Ekonomi tumbuh. Geliat ekonomi ini juga membuat perkebunan-perkebunan Jember bergerak lagi. Lelang tembakau pindah dari Amsterdam ke Bremen, Jerman. Sengkek dan Ie Lan membeli sebuah rumah besar kolonial Belanda. Kehidupan mereka pun mulai makmur. Ada mobil, liburan ke pantai, punya villa di gunung, makan-makan dan sebagainya.
Namun Soeharto memperkenalkan pendekatan baru terhadap apa yang disebutnya “masalah Cina.” Dia hendak menciptakan berbagai macam aturan. Intinya, tiga buah pilar kebudayaan Hoakiao akan dipangkas: media berbahasa Mandarin, sekolah-sekolah Hoakiao serta organisasi sosial dan politik kaum Hoakaio.
Mulanya, sesudah Indonesia berdaulat, ada dua aliran pemikiran di kalangan tokoh Hoakiao tentang posisi Hoakiao. Indonesia sudah jadi negara merdeka. Belanda sudah tak kuasa di Batavia lagi. Tiongkok adalah tanah leluhur tapi bukan tanah air mereka.
Aliran pertama, mempromosikan kebijakan “integrasi” dimana orang Hoakiao tetap bebas memiliki kebudayaan mereka. Nama Hoakiao macam Ong Tjie Liang bisa tetap dipakai. Agama Khong Hu Chu, sekolah bahasa Mandarin dan sebagainya sah dipertahankan. Aliran ini didukung oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan tokoh Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki gencar mengkritik berbagai kebijakan politik “asli” yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan Sumatra sejak awal 1950an. Baperki berpendapat, dalam kebangsaan sejati, setiap warga punya hak dan kewajiban sama, tanpa pandang bulu etnik atau agamanya.
Aliran kedua bicara soal “asimilasi” atau “pembauran” dimana orang Hoakiau dianjurkan ganti nama. Mereka ingin kebudayaan Hoakiao membaur dengan apa yang disebut “penduduk asli.” Tujuannya, kaum minoritas Hoakiao kelak tak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri. Organisasinya bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Tokoh-tokohnya, K. Sindhunata, Junus Jahja, P.K. Ojong, Onghokham, Harry Tjan Silalahi dan Soe Hok Gie.
Debat ini lalu campur baur dengan politik. Baperki mendekat ke Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Yap Thiam Hien tak setuju dengan kebijakan ini. Dia keluar dari Baperki. LPKB mendekat ke golongan kanan dan militer. Ketika Soeharto menghancurkan golongan kiri dan Soekarnois, tak ayal lagi, Soeharto juga menumpas Siauw dan kawan-kawannya. Ratusan sekolah Hoakiao ditutup. Kebudayaan Hoakiao dilarang. Mereka disuruh untuk ganti nama. Bahasa Mandarin dilarang. Anak Hoakiao dibatasi untuk masuk ke birokrasi, militer dan universitas. Kelenteng-kelenteng Khong Hu Chu diganti jadi vihara Buddha. Soeharto juga minta semua orang Hoakiao memiliki surat kewarganegaraan Indonesia. Surat-surat ini, dari surat ganti nama hingga kewarganegaraan, kelak jadi ajang pemerasan.
Namun Soeharto menekankan kebijakannya pada pembangunan ekonomi. Selama Soeharto berkuasa, muncul beberapa ratus konglomerat. Kebanyakan pengusaha Hoakiao. Kesannya, Hoakiao adalah sekutu Soeharto. Media membantu menciptakan kesan bahwa semua orang Hoakiao kaya dan segelintir konglomerat itu –termasuk Sudono Salim Prajogo Pangestu, Bob Hasan-- adalah "wakil" masyarakat Hoakiao. Kebencian terhadap Hoakiao terkadang muncul dari pembantu-pembantu Soeharto lewat media dan militer. Ada menterinya bilang bahwa jumlah orang Hoakiao hanya tiga persen di Indonesia, namun menguasai 90 persen ekonomi Indonesia. Kemiskinan pun disalahkan pada golongan Hoakiao.
Debat “integrasi” versus “asimilasi” itu, tentu saja, tak melibatkan Hoakiao Jember. Kebanyakan Hoakiao Jember tak terlibat politik. Mereka super minoritas. Namun dampaknya terkena juga. Antara 1965 dan 1966, rezim Soeharto merampas sekolah-sekolah Mandarin di Jember. Toko-toko Hoakiao ada yang diambil. Pada 1971, Sengkek mengambil keputusan mengganti namanya. Dia menemui seorang guru Jawa, kenalannya di Jember, untuk dicarikan nama Jawa. Ratusan Hoakiao lain juga mengganti nama mereka.
Sekolah Mandarin sudah ditutup ketika Liang kecil mulai sekolah. Sengkek dan Ie Lan mengirim Liang ke sekolah Katholik. Ie Lan sebenarnya kurang suka pada ajaran Katholik. Dia menganggap orang Katholik “menyembah patung” –ini tuduhan khas orang Protestan terhadap patung Bunda Maria. Tapi SD Katholik Maria Fatima termasuk sekolah terbaik di Jember. Sengkek suka karena sekolah ini disiplin.
Suatu pagi, kelasnya Liang pergi main sepak bola di alun-alun. Liang ternyata tidak ada. “Aku lihat dia duduk di bawah pohon, baca buku,” kata Ie Lan, mengenang masa kecil anak sulungnya. Salah seorang guru Liang, tak lain tak bukan adalah Jacoba Maria Vink, orang Indo-Belanda, yang kebetulan juga tetangga Sengkek. “Aku bangga ketika ujian, murid-muridku dapat nilai 10 semua,” kata Vink.
Saya beruntung Liang mengizinkan saya membaca semua buku harian miliknya. Liang rutin menulis kegiatannya, hampir setiap hari, sejak berumur 12 tahun ketika dia melanjutkan di SMP Katholik Maria Fatima. Buku harian ini menggambarkannya sebagai anak biasa, suka main basket (Rabu-Jumat) dan badminton (Selasa-Kamis). Suka nonton bioskop, entah di gedung Jaya, Kusuma atau Sampurna. Dia mencatat judul-judul film tontonannya:
Special Magnum, Jalal Kawin Lagi, Savage Weekend, Midnight Express, Killer Dogs, Inem Pelayan Sexy, Game of Death. Buku-buku bacaannya mulai serius. Dia membaca biografi Soekarno, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie.
Setiap pagi dia sekolah, siang menjaga toko, sore main basket, malam nonton bioskop. Dia terkesan ketika nonton final World Cup di televisi hitam-putih antara kesebelasan Argentina dan Belanda di Buenos Aires pada 1978. Ini siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa. Argentina, dengan jagoannya Mario Kempes, menang 3-1.
Liang sering menyebut nama keempat adiknya: Jinjin, si kembar Tantan dan Chenchen serta Bingbing. Mereka sering main bersama: kejar-kejaran, petak umpet,
debukan dan lain-lain.
Debukan adalah permainan tradisional anak-anak Jember. Intinya, sebuah bola kasti dipakai untuk melempar pemain. Pemain yang kena lempar harus mendebuk pemain lainnya. Kegemaran Liang adalah memelihara ikan, burung berkicau dan merpati. Dia mencatat kapan beli
uget-uget (makanan ikan) atau
kroto (makanan burung). Dia punya lebih dari dua lusin burung.
Ketika umur 13 tahun, dia mencatat bahwa dia mulai les bahasa Inggris setiap sore (Senin-Rabu-Jumat) di Hur’s English Course. “22 Mei 1979: pakai celana panjang pertama kali,” tulisnya. Dia bangga. Maklum bila sekolah, murid-murid masih pakai celana pendek. Namun suatu saat, dia terlalu cepat menutup
ritssluiting celana sehingga “burungnya” terjepit. Sakitnya minta ampun. Butuh waktu sekian menit untuk pelan-pelan membuka kembali
ritssluiting itu. Untung “burung khusus” itu tidak berdarah.
Ada juga kisah sedih. Pada 1979, hubungan Ie Lan dan Sengkek makin jelek. Sengkek terlibat affair dengan Winarti, seorang guru Jawa Protestan, yang mengajar di sekolah milik Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Ie Lan memutuskan pergi sementara ke Lawang, dekat Malang, untuk menenangkan diri dan belajar theologi di Institut Theologi Alkitab.
Sengkek menikahi Winarti. Ie Lan tak berani menggugat cerai mengingat lima anaknya. Ironisnya, Ie Lan dan Winarti hamil bersamaan. Ie Lan melahirkan anak bungsunya, Ie-ie, pada 1979 dan Winarti melahirkan Deasy pada 1980. Liang menemani mamanya ketika melahirkan adik bungsu. Sengkek tak menengok bayinya. Winarti tinggal di villa mereka di Rembangan, daerah peristirahatan dekat Jember. Liang dan adik-adiknya tinggal di Jember.
“Mama pergi dengan Bingbing. Saya menangis jika memikirkan ini. Untuk melupakan, saya bermain debukan,” catat Liang.
Sengkek juga pernah memukul anak-anaknya. “Saya dipukul Papa sebab salah beli cat tembok. Teguh ganti Rp 1,150,” tulisnya. Teguh adalah Teguh Sugianto, seorang pegawai Toko Sinar. Namun Liang juga memukul adik-adiknya.
Dalam buku hariannya, Liang sering mencatat keakrabannya dengan beberapa karyawan papanya termasuk Teguh, seorang yatim piatu, lelaki Hoakiao asal Pekalongan, kulitnya gelap sekali. Ada juga Sapek atau Man Tuka, seorang tukang listrik Madura. Ada juga Mbek Wi, perempuan Madura kelahiran Kalisat. Bek Wi, seorang janda, merawat Liang dan adik-adiknya, dari bayi hingga dewasa. Man Tuka dan Bek Wi bekerja sejak Liang belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat anak majikannya dipukul hanya karena salah kecil. Ada juga Pak Ti, orang Jawa, pendiam, khusus menangani burung dan ayam peliharaan. Liang mencatat bahwa Bek Wi selalu mengerokinya bila ia sakit. Liang terbaca suka sekali pada Man Tuka dan Bek Wi.
Pada 7 Maret 1981, Liang mengisi buku hariannya: “Waktu selesai ujian teori seni suara, saya mau mengambil sepeda di tempat sepeda. Ada sebuah kaleng bekas tempat susu (kental). Kaleng saya tendang, tanpa saya ketahui bahwa ada Pak Moel (guru sejarah Aloysius Moeljoto).”
“Saya kemudian dipanggil. Ditanya: Tahu aturan atau tidak?”
“Saya jawab, ‘Tahu.’ Tiba-tiba saya ditempeleng dan hilanglah kacamata saya hancur berkeping-keping.”
“Kemudian dia menarik saya masuk dalam kelas. Kemudian dia berkata, “Pecah atau tidak naik kelas?”
“Saya menangis, saya tentu menjawab pecah. Tapi pulangnya, hati saya berontak.” Moeljoto mengancam Liang tidak naik kelas bila melaporkan kejadian itu.
Dua hari kemudian, Suster Maria Anneti, kepala sekolah SMP Maria Fatima, memanggil Liang ke ruangnya. Liang menulis, “Di kantor, suster bertanya soal kemarin dulu. Dia mengatakan bahwa menurut Pak Mul,
anjing itu, ia hanya akan menyentuh kepala saya untuk menjorokkan saya. Tapi bersamaan dengan itu saya bergerak.”
“Saya bantah dengan mengatakan bahwa kacamata saya jatuh kurang lebih tiga meter dari tempat berdiri. Suster tetap mengatakan bahwa saya tetap bersalah karena menendang kaleng.”
Inilah pertama kali Liang merasakan ketidakadilan. Seorang guru memukul murid lalu berbohong. Ada lebih dari 40 murid melihat namun tak ada satu saksi pun ditanyai. Suster Anneti membela Moeljoto. Liang pun memutuskan membalas dengan caranya sendiri. Hari itu, dia memecahkan kaca toilet sekolah dengan tangannya sendiri!
Saya sedih membaca buku-buku harian Liang periode 1979-1982, sesudah pernikahan kedua Sengkek. Dia jadi anak yang sering merasa tertekan. Dipukul papanya sendiri, dipukul gurunya sendiri. Buku-bukunya penuh dengan detail. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa buku harian inilah tempat latihan Liang berlatih menulis pertama kali. Dia memaki Moeljoto dan Sengkek dengan kata-kata yang kasar. Namun dia juga menulis puisi dalam bahasa Melayu maupun Inggris. Ketika pergi ke Jember, saya hendak menemui Moeljoto, ternyata dia meninggal terkena stroke Juni 2004.
Pada 1982, ketika Liang lulus sekolah, Ie Lan mengambil keputusan penting. Dia membujuk suaminya mengirim Liang ke sekolah Katholik di Malang. Namanya, SMA Katholik Sint Albertus. Ie Lan menitipkan Liang kepada teman dekatnya, sebuah keluarga Hoakiao asal Samarinda, yang punya rumah di Malang dan Lawang.
Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Bangunannya jauh lebih besar, lebih tua dan lebih elegan dari sekolah-sekolah di Jember. Waktu Liang masuk, sekolah ini dipimpin E. Siswanto, seorang pastor Jawa, biasa dipanggil "Romo Sis" –seorang legenda dalam dunia pendidikan. Sekolah ini juga dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo. Alumni sekolah ini cukup beragam. Ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi juga Jenderal Rudini, mantan kepala staf Angkatan Darat Indonesia.
Ie Lan mengantar Liang mondok di rumah keluarga Joseph Kumala: Jl. Argopuro 25, Lawang. Liang sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan teman-temannya di Jember. Ketika Ie Lan pulang ke Jember, Liang mengantar ke pintu gerbang. Lalu Liang masuk ke kamar dan menangis sendirian.
Usia Liang baru 16 tahun. Dia belum pernah sekali pun tinggal jauh dari keluarga. Dia merasa sedih meninggalkan mamanya, yang sering bertengkar dengan papanya. Keluarga Kumala menyediakan sebuah kamar kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang. Kamar bersih. Ada ranjang besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua lusin pohon buah. Tante Kumala suka menanam bunga.
Namun perlahan-lahan Liang mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda. Banyak pohon-pohon dan jalan, yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan siang.
Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, Liang diantar mobil ke Malang. Mobil Colt Mitsubishi itu juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah. Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Liang lebih sering tinggal sendirian di rumah Lawang.
Beberapa bulan kemudian, satu keluarga missionaris dari Pusan, Korea, Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Han dosen Institut Theologi Aletheia, tempat mamanya pernah kuliah, yang terletak hanya lima rumah lagi dari rumah Kumala. Keluarga Han punya dua anak kecil.
Aneh juga, Liang menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Korea menempati rumah utama. Kikuk juga. Liang tak tahu banyak soal pergaulan. Pengalaman itu membuat Liang belajar banyak. Bagaimana harus membawa diri? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar belakangnya berbeda? Bagaimana belajar toleran?
Di Lawang, Ie Lan mengantar Liang ke Gereja Kristus Tuhan, nama baru gereja Kie Tok Kauw Tjong Hwee, yang tentu saja, juga harus ganti nama. Gereja ini hanya terletak empat rumah dari pondokannya. Liang bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja ini.
Liang jatuh cinta pada perpustakaan sekolah. Liang mulai meminjam buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi caranya memandang dunia. Novel kesukaannya, karya Albert Camus, Pearl S. Buck dan Somerset Maugham. Semua karya-karya klasik dibaca. Dia juga tertarik pada Perang Vietnam. Foto-foto perang tersebut sangat mengesankannya. Namun juga ada roman picisan. Dia menguasai bahasa Inggris, cukup guna membaca novel-novel itu.
Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di
loud speaker bahwa mulai bulan lalu dipilih murid, yang paling banyak meminjam buku perpustakaan. Murid tersebut akan diberi penghargaan. Dia menyebut nama Liang sebagai peminjam buku terbanyak. Liang terkejut. Pengumuman itu sangat mengesankan dirinya. Guru-guru, wali kelas dan teman-temannya memberi ucapan selamat.
Minat Liang sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun awal 1982, Liang hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya dunia. Liang kesepian dan tak banyak yang dikerjakan di luar sekolah dan gereja. Liang hanya berpikir menurut kebanyakan temannya. Murid pandai harus masuk ilmu alam.
Maka Liang pun masuk jurusan ilmu alam. Ini keputusan yang tak tepat. “Aku tidak menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku pikir bagaimana hari ini bila sejak sekolah menengah memilih ilmu sosial?” katanya.
Liang suka ikut kegiatan olah raga. Buku hariannya mencatat dia bermain basket dan saat kelas dua jadi pengurus klub olah raga sekolah. Tanggungjawab ini dipegangnya hingga lulus. Setiap minggu, minimal dua sore, Liang berurusan dengan lapangan basket. Namun kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Liang pernah ikut lomba topeng, didandani macam
make up kelompok musik Kiss. Pada Hari Kartini, dia ikut lomba “Parade Bencong” –didandani jadi perempuan. Teman-temannya tak sadar kalau “perempuan” di pentas itu adalah Liang. Ingrid Dwiyani bercanda menyebutnya, “Anggun dan cantik.”
Liang juga suka menyanyi. Dia membentuk sebuah kelompok musik. Mereka membawakan lagu-lagu Rod Steward,
Kiss, Deep Purple, Queen dan sebagainya. Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan gitar. Ada juga Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan Agustinus Simply Satu main piano. Liang jadi penyanyinya.
Liang mengatakan pada saya bahwa dia suka sekali dengan SMA Dempo. Dari semua sekolah yang pernah diikutinya, dari taman kanak-kanak
Tjahaja di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge pada 1999, Liang merasa periode Dempo adalah saat yang meninggalkan banyak kenangan manis.
“Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami,” katanya.
Terkadang murid dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya, disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya, "Saya berjanji tidak akan bolos lagi."
Romo Sis sendiri yang menghukum murid. Romo Sis sering memanggil orang tua murid. Ini kebijakan baik sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman.
Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak murid atau guru bicara. Itupun orang sudah merasa nervous. Liang merasa jadi murid yang agak diperhatikan karena keluarganya pecah. Ada guru bimbingan psikologi yang sering jadi tempatnya konsultasi.
Pelajaran yang paling disukai adalah Sejarah. Liang pernah menulis makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Makalah itu dipuji guru dan sempat dipamerkan sekolah. Liang tak suka Fisika, Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Liang masih mengambil les bahasa Jerman. Pelajaran mengarang atau menulis buat majalah sekolah juga disukai. Tapi Liang belum banyak menulis. Lebih sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar.
Liang belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Sengkek. Liang lebih leluasa bergerak. Beberapa kawan menganggapnya sebagai anak yang bandel, pendiam tapi berani menentang arus. Liang pernah menaiki sebuah tumpukan
loud speaker, ketika menyanyi dalam sebuah konser sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian. Masih mencari perhatian orang. Dia pernah membuat puisi dan menamakan rekan-rekan dan dirinya “sekerumun anjing liar.”
Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
Berpacu dari armagedon hingga kelam
Kami berlari tanpa menjadi letih
Kami berjalan tanpa menjadi lesuh
Kami pahlawan tanpa nama
Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir
Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan
Pendek kata, Liang senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa. Mungkin Liang masih remaja. Cinta pertamanya terjadi di Lawang. Liang jatuh cinta pada teman gereja, lebih muda dua tahun. Namanya Poa Hwie Eng. Liang memanggilnya Fe En.
Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. Liang sering pergi ke rumah Fe En, cerita aneh-aneh dan membual. Liang tak punya uang banyak. Keuangan keluarganya mulai sulit sesudah Sengkek menikah lagi. Dia sering bertengkar, minat bekerja menurun. Kemana-mana Liang naik kendaraan umum. Liang menderita sekali dengan asap rokok. Sementara Fe En sudah mengendarai mobil sendiri.
Ketika kelas dua, Liang pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan hubungan mereka. Fe En mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku." Liang merasakan sakit hati pertama kali.
Saya agak geli membaca catatan-catatannya, konyol, remaja jatuh cinta.
“Aku nggak tahu dimana dia sekarang. Pasti sudah lain,” kata Liang, tersenyum.
Maka Liang lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu libur, Liang kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adik dan saudara-saudara jauh.
Menariknya, Malang juga membuatnya mulai menjauh dari kehidupan gereja --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaannya, kurang suka berdekatan dengan institusi agama apapun. “Aku lihat bagaimana satu pendeta tua, gendut, mempermainkan perempuan. Aku juga kenal isteri missionaris yang culas. Aku kenal dekat dengan satu perempuan, ketika remaja, diperkosa seorang pastor. Dan aku banyak mengetahui kyai, juga begitu dengan perempuan,” katanya.
Pada pertengahan 1984, Liang lulus dari Dempo dengan nilai lumayan. Sengkek menanyainya ingin kuliah dimana?
Liang menjawab, “Berklee College of Music (Boston).”
Dia ingin jadi pemusik. Sengkek keberatan. Liang satu-satunya anak lelaki. Pergi ke Amerika juga perlu uang besar sekali. Sengkek kini harus bertanggungjawab terhadap tujuh anak. Liang memilih mendengarkan masukan papanya. Dia kuliah teknik elektro di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dia pikir bila lulus, bisa meneruskan bisnis keluarga.
Di Salatiga, Liang berkenalan dengan dosen-dosen radikal macam Arief Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Liang mahasiswa teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik.
Liang ikut kelompok diskusi Arief Budiman, seorang doktor dari Harvard, salah satu cendekiawan beneran di Indonesia. Broto Semedi mengajar filsafat. Aditjondro mengajar Neo Marxisme. Liang makin sering membaca. Apa yang dipelajari di SMA Dempo, mendapat dorongan yang lebih besar lagi di Satya Wacana. Di Salatiga, kesadaran politiknya makin luas.
Dia sadar bahwa penindasan juga terjadi pada banyak golongan minoritas lain. Baik di Timor Leste, Papua, Minahasa, Aceh, Lampung, Borneo dan lainnya. Dia belajar analisis kelas. Orang miskin ditindas golongan penguasa, tanpa peduli etnik atau agamanya. Dia belajar tentang ketidakadilan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Satya Wacana memberi kesempatan kepada Liang untuk belajar, lepas dari lingkaran primordial, membela yang benar.
Liang mulai ikut upaya melawan diskriminasi negara Indonesia. Dia ikut demonstrasi. Dia ikut pers mahasiswa. Liang merasakan pengalaman pahit dengan aktivisme. Dia takut dikejar tentara. Intrik-intrik dalam gerakan membuatnya lelah.
Dia memakai banyak waktunya membantu organisasi sais dokar, melawan rencana penggusuran dokar. Achmadi dan Sukardi, dua sais dokar, banyak membuatnya belajar tentang kehidupan orang kecil. Bila merasa lelah, dia pergi ke sebuah pesantren kecil, pinggiran kota, istirahat selama dua atau tiga hari.
Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang kritis, termasuk Arief Budiman. Liang tak merasa memiliki kampus Satya Wacana lagi.
Pada 1993, dia pindah ke Phnom Penh dan mulai bekerja sebagai reporter. Karirnya sebagai travel writer pun dimulai. Dia mulai malang melintang di Asia Tenggara.
Yuri Slezkine mungkin bisa membantu menerangkan fenomena Hoakiao. Slezkine seorang cendekiawan Rusia, dosen University California at Berkeley di Amerika. Dia menulis buku The Jewish Century, tentang etnik Yahudi, yang diganyang di Eropa sejak akhir abad XIX, lalu melakukan migrasi besar-besaran ke negara lain.
Analisisnya, bisa diterapkan pada minoritas lain di segala pelosok dunia. “Sangat provokatif tetapi kena betul analisanya,” kata Liem Sioe Liong, seorang aktivis hak asasi manusia dari Tapol di London. Liem seorang Hoakiao, warga negara Belanda. Dia menulis buku West Papua: The Obliteration of a People bersama Carmel Budiardjo.
Slezkine menulis bahwa orang Yahudi hidup dalam suatu masyarakat dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan cara hidup tertentu pula, yang menimbulkan sentimen dari masyarakat sekitarnya. Namun orang Yahudi tak sendirian. Di dunia ini, di berbagai tempat dan waktu berbeda, selalu ada suku atau etnik, yang secara eksklusif menyediakan jasa untuk masyarakat di sekitarnya. Mereka termasuk Roma-Gypsi di Eropa, orang Fuga di Ethiopia, Sheik Mohammadi di Afghanistan, etnik Armenia, orang India di Afrika Timur, etnik Lebanon di Afrika Barat dan Amerika Latin serta orang Hoakian di Asia Tenggara.
Slezkine menyebut mereka, kaum "Mercurian," sebagai lawan kata dari putra daerah, yang disebutnya, "Apollonian.” Dalam kepercayaan Romawi, Apollo adalah dewa pertanian dan peternakan. Masyarakat Apollonian utamanya petani dan peternak, plus ksatria dan ulama, yang hidup dengan cara mengatur akses para petani tadi ke tanah dan keselamatan surgawi.
Mercuri adalah dewa para pengembara, pedagang, penterjemah, tukang, penunjuk jalan, pengobat dan semua pelintas batas. Kaum Mercurian adalah kelompok etnik yang tak terlibat produksi makanan. Mereka hidup dengan cara menyediakan jasa kepada kaum Apollonian.
Zaman dulu, masyarakat Apollonian menganggap ada pekerjaan yang berbahaya atau kotor, untuk dikerjakan warga mereka sendiri. Contohnya, berhubungan dengan negeri asing atau suku lain; mengatur uang; mengobati orang sakit; bekerja dengan api dalam penempaan logam misalnya. Semua ini adalah kemahirannya kaum Mercurian. Para pengembara kebanyakan mulai sebagai tukang. Kakek buyut Slezkine adalah tukang besi Yahudi. Ong Kong Swie mengelola bengkel sepeda dan becak.
Kaum Mercurian sering pindah tempat. Mereka memahami pentingnya menguasai bahasa-bahasa. Sengkek menguasai enam bahasa. Ketika rezim Soeharto melarang bahasa Mandarin, Sengkek dan Ie Lan mendorong anak-anaknya belajar Inggris. Kaum Mercurian secara alamiah terlibat dalam kerja penterjemahan, tukang cerita, penunjuk jalan dan perantara.
Kaum Apollonian memandang Mercurian berbahaya, kotor dan asing. Kaum lelakinya bukan ksatria, jarang ikut perang. Kaum perempuannya dianggap cantik namun juga genit, menggoda. Makanan mereka berbeda. Mereka hanya membeli, menjual dan kemungkinan mencuri, barang maupun ide. Mereka dibenci dan puncak kebencian terhadap kaum Mercurian adalah Holocaust –pembunuhan lebih dari enam juta orang Yahudi di Jerman oleh rezim Adolf Hitler. Ini penjagalan manusia terbesar dalam dunia modern. Ia juga mendorong Perang Dunia II.
Holocaust bikin jutaan orang Yahudi lari dari Eropa. Slezkine menyebut tiga tujuan: Palestina dimana mereka mendirikan negara Israel; Amerika Serikat dimana ada ide kenegaraan liberal non-etnik; dan Uni Soviet dimana ada komunisme –sebuah dunia tanpa kapitalisme dan nasionalisme. Semua berhasil dengan variasi masing-masing. Kaum Yahudi lantas jadi lambang dari penganyangan massal sekaligus kesuksesan.
Slezkine menyebut mereka berhasil karena sudah lama sekali jadi kaum urban, melek sastra, artikulatif dan secara pekerjaan fleksibel. Mereka mementingkan akal sehat, keuletan, kebersihan, melintasi batas serta memilih “memelihara” hubungan dengan orang daripada ternak. Inilah tuntutan abad XX. Maka mereka berhasil mengatasi penganyangan rezim macam Hitler.
“Hari ini kita semua diharapkan jadi orang Mercurian,” kata Yuri Slezkine.
Nilai-nilai Apollonian, tentu saja, sangat perlu dipertahankan seraya mempelajari bahasa internasional, berhubungan dengan bangsa lain, mempertahankan hutan dan sebagainya. Saya kira, barisan Mercurian ini bertambah di Indonesia dengan orang Madura di Kalimantan, orang Jawa di Sumatra, orang Bugis, Buton, Makassar di Maluku atau orang Rote di Pulau Timor.
Liang mewakili stereotype kaum Mercurian di Indonesia. Liang sebenarnya tak beda dengan kebanyakan Hoakiao. Kalau dia sedikit beda, ini hanya karena dia seorang penulis, namun sebenarnya banyak Hoakiao jadi penulis. Dia juga “berkelahi” –sebuah kegiatan khas Apollonian-- ketika memutuskan membela kelompok-kelompok tertindas, namun dia melawan dengan penanya, bukan ototnya.
Dari Ong Kong Swie, lalu Sengkek, lalu Liang, keluarga ini mengalami perubahan cukup jauh secara kultural. Swie seorang Hoakiao totok, namun Sengkek bisa bahasa Jawa, Madura, Melayu. Liang secara kultural lebih global. Tek Jong memutuskan masuk Kristen. Ie Lan bahkan Kristen keras. Sengkek memutuskan mengganti namanya jadi Jawa.
Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak dianggap sebagai “non-pribumi.” Mereka tetap tinggal di Jember, turun-temurun, namun akan tetap dianggap “asing.” Saya kira rasa curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di Pulau Jawa dan Sumatra. Kecurigaan serupa juga takkan cepat pergi dari Aceh terhadap orang Jawa, orang Madura di Kalimantan atau dari Papua terhadap “pendatang rambut lurus.” Setidaknya, negara ini bisa belajar dari Yuri Slezkine bahwa menciptakan diskriminasi formal justru membuatnya lebih buruk. Diskriminasi senantiasa ada dalam masyarakat. Namun diskriminasi oleh negara membahayakan keberadaan negara itu sendiri.
Kini Ie Lan sudah pisah dari suaminya dan hidup di Jogjakarta bersama tiga anak perempuannya. Sengkek hidup dengan Winarti di Jember. Mereka punya anak satu lagi. Sengkek membiayai sekolah anak-anaknya hingga selesai kuliah. Dua orang adik kandung Liang kini tinggal di Jakarta, tiga orang di Jogjakarta.
Saya tanya kepada Sengkek, siapa guru Jawa, yang memberikan nama Jawa kepadanya.
“Pak Dasar,” katanya.
Guru itu mengatakan, "Engkone koen Hartono, koen Harsono ae.”
Artinya, “Kakakmu (Seng Hin) bernama Hartono, kamu Harsono saja.”
Sengkek juga menjawakan nama Liang. Ie Lan usul nama “Harsono” dijadikan nama marga. Ini sebuah kebiasaan orang Tionghoa. Suku pertama nama marga, suku kedua nama pangkat. Maka anak-anak Sengkek pun diberi nama belakang Harsono semua.
Liang diberi nama “Andreas Harsono.” Ong Tjie Liang adalah Andreas Harsono. Mereka adalah saya.