SIANG INI aku terkejut ketika mengetahui hanya dua dari 34 mahasiswa di kelasku yang mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka adalah Rika Mufazallati dan Mahyaruddin EMK. Mereka bikin PR soal menulis dalam format piramida terbalik.
Sisanya, bilang tidak tahu kalau ada PR (Jumat lalu tak masuk) atau bilang mengerjakan PR satunya soal riset internet. Kebanyakan bilang tak ada event yang bisa diliput dan dijadikan berita. Memang ada dua macam PR. Satunya lagi menggunakan Google atau Wikipedia mencari data seseorang.
Mahyar pun sebenarnya hanya mencetak laporan lama. Dia kebetulan jadi kontributor sebuah suratkabar
Sejak Jumat lalu, aku mulai mengajar kelas, Reporting, Writing and Editing di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh. Ini kelas bersama. Aku tidak mungkin mengajar sepanjang semester karena aku tinggal di Jakarta.
Maka Linda Christanty, seorang penulis dan kepala Pantau Banda Aceh, mengajar separuhnya. Kami masing-masing mengisi delapan kali pertemuan. Linda memulai kelas ini lebih dulu. Aku giliran sejak minggu lalu.
Jumat lalu, aku memberikan dua PR. Maksudnya, aku ingin mahasiswa berlatih riset internet. Ada delapan menyerahkan tugas riset: Junaidi, Zulfa Rumaya, Novia Liza, Saifuddin, Nursaadi dan Ira Marzayani. Sisanya, juga tak mengerjakan PR.
Sebel juga. Di Jakarta, bila aku mengajar di kursus Pantau atau di Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia, perasaan hanya satu atau dua orang yang tak mengerjakan PR. Mereka biasanya merasa rugi sendiri. Mereka kehilangan kesempatan belajar menulis dan dikritik. Di Manokwari minggu lalu, juga hanya dua atau tiga orang dari satu kelas, yang tak bikin PR. Mayoritas bikin PR.
Nah, di IAIN Ar Raniry ternyata mayoritas tak kerja PR.
Mungkin salah aku juga. Aku menekankan bahwa mereka tidak boleh menyontek. Daripada menyontek, lebih baik tidak mengerjakan PR. Kalau pun sibuk, aku bilang aku juga tidak keberatan mereka tak bikin PR. Maksudnya, aku ingin mahasiswa bersikap sebagai orang dewasa.
Hasilnya, mayoritas tidak mengerjakan PR. Padahal ini kelas menulis. Setiap kali pertemuan, kami akan membahas hasil tulisan mereka. Mana mungkin bisa belajar menulis bila mereka tidak berlatih menulis?
Lagi pula, bagaimana mereka bisa mengerjakan tugas akhir penulisan (membuat sebuah feature) bila dari sekarang tak berlatih elemen-elemen penulisannya? Aku bilang bahwa aku mau mengajar di IAIN Ar Raniry karena permintaan dari beberapa orang Aceh yang aku hormati. Antara lain, Daud Jusuf, mantan menteri pendidikan Jakarta, Imam Syuja' dari Muhammadiyah atau Sjamsul Kahar dari harian Serambi. I'm doing this not for money.
Mereka kebanyakan diam. Belakangan, ketika setiap kali bicara aku menyinggung ketiadaan PR, mereka mulai tersenyum. Aku mungkin juga harus memberi tugas yang lebih definitif. Mereka mungkin belum tahu apa news tersebut.
Hari ini kami pakai untuk membahas pekerjaan Rika dan Mahyar. Mereka berdua beruntung. Mereka punya kesempatan karyanya dibahas mendalam.
Mudah-mudahan pada sesi-sesi berikutnya mereka mau mengerjakan PR ... dengan kesadaran sendiri. Aku tetap pada keputusan aku bahwa mengerjakan PR bukan kewajiban. Aku tetap pada keputusan bahwa mahasiswa adalah orang dewasa. Mereka bisa mengambil keputusan sendiri.
Sjamsul sempat kirim SMS. Isinya, "Sabaaaaar mas, sabaaaaaaaaaar."
Linda Tangdialla dari Bisnis Indonesia kirim SMS, "... ini khan penyakit nasionaaaaaaaaaal."
12 comments:
[1] Apa iya, warning "no nyontek" bikin mereka malas? PR nulis kan mengasyikkan, Pak Guru Andreas. :)
[2] Dosen saya dulu punya cara bagus kalau kasih tugas bikin makalah. Misalnya mengajukan 5 topik buat dipilih. Nah, mereka yang memilih topik tidak popular mendapat point tambahan, apalagi kalau menyerahkan sebelum tenggat.
[3] Di alma mater Anda dulu ada dosen yang dianggap aneh. Namanya N.D., seorang kolumnis, pernah di DMU. Dia paling tidak setuju kalau ujian semester ["tentamen," katanya] di fakultas pendidikan dan fakultas teologi itu diawasi. Alasannya, "Mereka calon guru, dan yang di teologi sebagian adalah calon pendeta. Mestinya meteka nggak nyontek!" :D
ngga bikin PR, apalagi PR menulis itu jelas khas indonesia. saya saja ngga pernah bisa nulis waktu kuliah.
sekarang? entah lah. saya cuman ikut-ikutan ngeblog. kayanya kok nulis itu asyik. tapi soal kualitas ya ngga ada. he..he..
Kalo disono katanya Ususnya harus panjang...!dan harus jelas perintahnya.
Waduh, kayaknya mas Andreas nggak main-main soal ancamannya memposting tentang kemalasan kami dalam mengikuti kuliahnya di IAIN Ar-Raniry.
Memang kondisi dinamika belajar mengajar mahasiswa Aceh bisa dikatakan sangat buruk beberapa dekade terakhir.
Kondisi keamanan dijadikan kambing hitam, perpustakaan yang lebih layak disebut meseum buku, serta kemalasan dosen untuk mengajar matakuliah sesuai dengan keahliannya sendiri.
Tapi saya harap mas Andreas nggak kapok ngajarin kami di IAIN. Tapi kok nama saya nggak disebut, saya juga buat PR di hari kedua lho?
walaupun untuk hari ketiga dan keempat saya nggak bisa hadir, bukan karena nggak siap PR tapi memang kesibukan kerja.
Terima kasih
Hehehe... biasa lah. Sejak dulu mental orang awak memang begitu. Tak usah heran. Ojo kagetan, kata Pak Harto.
Dengan hormat,
Setelah kejadian hari pertama, mahasiswa yang bikin PR mulai lebih banyak. Hari kedua ada lima orang, termasuk Eka. Hari ketiga ada enam orang. Ada kemajuan walau jumlahnya tak banyak. Kita ingat bukan jumlah peserta 34 orang?
Ada mahasiswa bilang dia lebih suka dapat dosen yang menekan-nekan dengan pekerjaan rumah begini daripada dosen yang tak peduli. Bahkan ada juga dosen yang sudah lima kali pertemuan namun belum hadir. Saya tentu lebih baik daripada dosen yang tak hadir.
Namun ada yang bilang ini bulan Ramadan. Malam hari harus ikut taraweh. Susah untuk kerja PR. Ada alasan lain, ini bulan puasa, mahasiswa lebih suka tak terlalu sibuk dengan kuliah. Mereka ingin mencurahkan waktu untuk ibadah.
Ada yang bilang jauh untuk mendapatkan warnet guna mengetik PR.
Saya memutuskan pengerjaan PR bisa dilakukan dengan tulisan tangan --tanpa harus diketik. Saya bahkan minta tolong Dave Bloss dan Jody McPhillips, dua dosen bantuan dari International Center for Journalists, untuk bantu cari dana membangun sebuah lab komputer. Kami perkirakan $15,000 sudah bisa bikin lab sederhana.
Saya masih menunggu perkembangan kuliah ini. Saya sudah kembali ke Jakarta namun pekerjaan untuk tengah semester sudah dibagikan.
Linda Christanty kembali mengambil alih pekerjaan mengajar. Saya benar-benar berharap ada perubahan lewat satu matakuliah kecil ini di IAIN Ar Raniry.
Saya pernah ikut kelas pelatihan Jurnalisme Sastrawi yang diajar Turyanto (mantan Pemimpin Redaksi Teknokra dan pernah di Bisnis Indonesia) awal tahun lalu (2005,red). Peserta yang mengikuti kelas itu rata2 pengurus yang telah lama di Teknokra minimal dua tahun. Jadi, peserta diharapkan telah paham jurnalisme yang bukan sekedar 5W+1H.
Kelas itu kira2 diikuti 10 orang saja. Selama mengikuti kursus itu cukup interaktif. Banyak peserta yang bertanya. Namun, ketika melanjutkan ke hari berikutnya untuk diberi tugas (PR, red) sedikit sekali yang mengerjakannya. Yah, termasuk saya. Terasa juga memang benar rugi tidak mengerjakan PR. Karena tentu saja tidak dibahas dan dikritik di forum kelas.
Lain kali, saya jika mengikuti kelas dan diberi tugas/PR harus mengerjakannya. Mungkin itu menjadi pengalaman buat saya agar lebih banyak lagi belajar jurnalisme.
hmmm... saya termasuk paling malas bikin PR...
Buatlah kelas menulis secara online disini, saya yakin akan banyak yang ikut :P Dan semuanya pasti mengerjakan PR.
ah saya jadi malu
dulu sempat juga tak bikin pr waktu Pantau melatih kelas menulis di Karet.
kalo duah dewasa, gak ngerjain PR, gak boleh di setrap didepan kelas ya?
*inget waktu SD :D
mungkin pr-nya kurang menantang buat mereka :D
Post a Comment