Di Ende, tempat bekerja hanya lima menit dari tempat menginap. Siang bisa siesta. Sore jogging di Bitta Beach yang indah. Makanan laut segar. Murah. Langsung beli dari nelayan di pantai. Di Bitta saya sering memperhatikan dua pohon pinggir laut yang daunnya warna merah. Ada perasaan tenang dan bahagia.
Kebahagiaan lain, bila semua rencana berjalan lancar, Januari nanti saya akan melangsungkan pernikahan dengan gadis yang baik dan manis bernama Sapariah Saturi. Kami akan adakan pesta kecil untuk keluarga dan teman dekat di Jakarta dan Pontianak.
Kami juga hendak menghadiahi para tamu nanti dengan sebuah "majalah Pantau" edisi pernikahan. Isinya, melulu soal pernikahan maupun pengantin berdua. Saya mungkin juga merasa bahagia karena di Ende, kami sering kirim SMS dan merasa rindu satu sama lainnya. Arie tinggal dan bekerja di Jakarta. Aku sering keliling Asia Tenggara.
Mulanya, Eva Danayanti, Esti Wahyuni dan Imam Shofwan, tiga orang teman dekat kami, menjodoh-jodohkan kami dengan macam-macam gurauan, dengan kebijakan "don't ask, don't tell," dengan membuat kami tersipu-sipu, dengan mengajak kami ke karaoke dan seterusnya. Mereka menyebut diri mereka "the three musceteers." Mereka merasa kami pasangan yang cocok. Eva teman kost Arie. Ia gencar sekali melakukan diplomasi agar teman-teman kami membiarkan kami berduaan saja. Tanpa gosip macam selebritas saja.
Arie dan saya lalu pergi ke Blitar, melihat makam Soekarno serta Candi Palah di desa Panataran. Ia merasa saya teman perjalanan yang menyenangkan. Macam buku berjalan. Kami merasa, selama berteman dua tahun terakhir, kami cocok satu sama lainnya. Kami suka diskusi, bergurau dan "mengerjai" orang bersama.
Kami nonton konser
Saya juga sering curhat padanya -maupun beberapa teman lain-- soal hubungan putus-sambung-14-kali antara saya dengan pacar saya waktu itu. Kami transparan saja. Kami juga sesama wartawan, mengerti suka-duka pekerjaan ini dan mencintai profesi kewartawanan. Saya tentu mengerti tuntutan kerja ini bila Arie harus pulang malam. Maklum kami ini manusia deadline.
Anak saya, Norman, juga cocok dengan Arie. Norman menganggap Arie sebagai temannya. She is my friend. Do not marry her. Norman selalu menunggu Arie datang ke rumah bila hendak "play fighting" atau "pillow war" ... mengeroyok saya. Tanpa Arie, Norman merasa permainan tidak seru dan dia bakal kalah.
Juli lalu, Mamak Arie datang ke Jakarta. Saya pun melamar Arie. Mamak setuju. "Makin cepat makin baik," kata Mamak. Kami lalu berkunjung ke keluarga Arie pertengahan Agustus ini di Pontianak. Berkenalan dengan semua keluarganya serta ziarah ke makam Bapak. Beliau seorang peternak sapi dan meninggal empat tahun lalu. Saya diterima dengan terbuka oleh keluarga Arie.
Arie orang Madura Borneo. Ia mengatakan bulan baik untuk menikah adalah bulan Haji. Jatuhnya sekitar akhir Desember hingga Januari. Saya pun usul menikah pada hari ulang tahunnya yang ke-31, pada 6 Januari nanti.
Saya juga sudah memberitahu Papa dan Mama serta adik-adik saya. Adik saya, Heylen, bahkan sudah siap-siap dengan rekomendasi catering, baju pengantin dan sebagainya.
Kami semua setuju dan kini mulai melakukan persiapan. Sederhana saja. Undangan sekitar 100 orang per pesta. Kami ingin pernikahan ini berkesan buat kita semua. Kami juga mau berhemat mengingat saya masih mengerjakan buku soal mitos kebangsaan Indonesia. Arie juga baru pindah kerja ke harian Jurnal Nasional.
Saya bayangkan nanti akan ada feature tentang keluarga Arie tapi juga keluarga saya di Jember dan Jogjakarta.
Saya hendak membuatnya mirip majalah Pantau, lebih tipis tentu, lengkap dengan foto dan gambar bermutu. Ia bakal punya rubrik "Obrolan dari Kebayoran Lama." Beberapa rekan menawarkan bantuan, dari membuat reportase hingga mengajak Arie dan saya ke studio fotonya.
Saya merasa sangat bersyukur. Moh. Iqbal (redaktur foto) bilang anggap saja foto-foto nanti ini "sumbangan" darinya. Linda Christanty akan menulis dari Aceh. Juga Agus Sopian, Anugerah Perkasa, Imam Shofwan (resensi buku-buku pernikahan) maupun Tita Rubianti (disain) bilang akan bantu mengisi majalah edisi khusus ini. Hitung-hitung reuni bikin majalah.
Teman-teman Arie dari Pontianak juga kami mintai bantuan menulis. Nur Iskandar akan menulis soal harian Equator dan Leavy soal "gang perempuan" dimana mereka dulu sering main bersama. Arie dulu bekerja di Equator untuk liputan kriminal dan perempuan.
Saya belum bisa cerita banyak soal rencana edisi ini. Nanti saja bila Sudah bicara panjang lebar, saya akan cerita detailnya. Yang jelas, anggota mailing list ini kami undang semua.
Saya kira ini dulu. Saya merasa berbahagia sekali kenal dengan Arie dan diterima sebagai pasangannya. I adore her so much.