Aku akhirnya menginjak tanah Merauke setelah 35 bulan lalu memulai perjalanan ini dari Sabang, Aceh, guna mengumpulkan bahan buku
From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.
Merauke terletak dekat perbatasan dengan Papua New Guinea.
Border crossing terdekat terletak di daerah Sota, sekitar 80 km dari Merauke. Artinya, Merauke sebenarnya secara geografis bukan kota yang benar-benar paling timur di Papua. Di selatan Sota juga ada
border crossing bernama Kondo. Ia lebih jauh dari Merauke, di daerah lepas pantai, yang lautnya berhadapan dengan benua Australia.
Jangan kaget mengetahui Merauke
sebenarnya bukan kota paling timur Indonesia, sesuai slogan "Dari Sabang Sampai Merauke." Kota Sabang, yang terletak di Pulau Weh,
sebenarnya juga bukan titik paling barat Indonesia. Ada Pulau Rondo yang lebih barat lagi dari Pulau Weh.
Semua ini khan untuk keperluan slogan. Bayangkan kalau lagu "
Dari Sabang Sampai Merauke" diganti jadi "
Dari Rondo Sampai Kondo." Ritmenya mungkin lebih enak ya ... pakai do ... do ... do ... do. Atau kalau "
Dari Rondo Sampai Sota" maka ritmenya jadi do ... ta ... do ... ta. Ritme ini bisa diplesetkan:
Dari Rondo sampai ke Kondo
Berjajar do do do do
Sambung menyambung menjadi bodoh
Itulah IndobodohTapi siapalah kita ini. Ketika Presiden Soekarno memakai slogan Sabang dan Merauke, ya dia punya media besar untuk melancarkan slogan itu. Ia menguasai podium, media pemerintah dan seterusnya. Soekarno tentu punya pertimbangan sendiri. Slogan itu sendiri diciptakan J.B. van Heutsz, yang diangkat gubernur jenderal Hindia Belanda pada 1904, sesudah mengalahkan Aceh dengan sadis. Pasukannya membunuh 2,900 orang Aceh, termasuk 1,100 wanita dan anak-anak. Van Heutsz lantas menciptakan slogan "
vom Sabang tot Merauke" untuk menerangkan wilayah Hindia Belanda. Mungkin nama Sabang dan Merauke, berkat Van Heutsz dan Soekarno, relatif lebih dikenal daripada Sota, Rondo, Kondo maupun Wutung (
border crossing di utara Papua, dekat Jayapura, yang segaris dengan Sota maupun Kondo). Pulau Rondo juga tak ada penghuninya. Ia terlalu terpencil.
Di Merauke, aku tinggal di Hotel Nirmala, kamar semalam Rp 285,000 dengan ruang luas, ada air panas. Pelayanan ya pas-pasan. Ada pesawat televisi tapi tak menyala. Pokoknya, ada ranjang bersih dan ia terletak di Jalan Raya Mandala. Ini jalan utama dan terpenting di Merauke.
Merauke terletak di dataran rendah dekat laut dan sungai-sungai. Kabupaten Merauke tergolong subur. Agapitus Batbual, wartawan mingguan
Suara Perempuan Papua, mengatakan bahwa kota ini terletak 1 meter di bawah permukaan laut. Jalan-jalan lurus dan lebar. Kota berbentuk kotak-kotak.
Sekilas ada dua isu yang menarik perhatianku di Merauke. Pertama, kota ini sering disebut sebagai tempat pertama penyebaran virus HIV/AIDS di Papua. Sumbernya dari nelayan-nelayan Thai. Disini memang ada pelabuhan dimana nelayan Thai sering berhenti.
Aku mewawancarai beberapa pekerja seks di Merauke, dari yang kerja di bar hingga di tempat pelacuran
liar "Bel Rusak" --singkatan dari "Belakang Rumah Sakit."
Banyak orang Papua mengatakan mereka mati sebagai bangsa, antara lain, karena penyebaran HIV. Mereka membandingkan jumlah penduduk Papua Barat pada 1962, ketika mulai diperintah Indonesia, ada 800 ribu dan PNG sekitar 1 juta.
Empatpuluh tahun ikut Indonesia, penduduk Papua asli paling banyak 1.5 juta sedang di PNG ada enam juta. Mengapa di PNG bisa naik hingga enam kali sedang Papua cuma dua kali?
Aku bicara dengan aktivis HIV dari Yayasan Santo Antonius. Aku juga baca buku-buku soal kontroversi ini. Menariknya, aku juga sempat bicara dengan seorang germo yang pekerjaan sehari-harinya ada tentara Angkatan Darat.
Isu kedua adalah populasi. Merauke adalah lokasi sasaran transmigasi besar-besaran dari Pulau Jawa sejak 1983/1984. Ada delapan sarana pemukiman transmigran disini. Nama-nama desa juga Jawa: Sumber Mulya, Sumber Harapan, Jaya Makmur, Rawa Sari, Marga Mulia, Semangat Jaya, Telaga Sari dan sebagainya. Bahasa Jawa dipakai luas disini.
Di kota (
downtown) Merauke, menurut Perwita Sari dari Badan Pusat Statistik Merauke, kelihatannya lebih banyak "pendatang" daripada "penduduk asli." Tapi jumlah total di seluruh kabupaten tidak diketahui karena tidak ada sensus etnik. Mereka tak punya data etnik dan agama karena "keterbatasan dana."
Yulianus Bole Gebze dari lembaga masyarakat adat Malind mengatakan migrasi adalah sesuatu yang wajar dalam peradaban manusia. Administrasi Belanda juga mendatangkan pekerja dari Jawa pada 1920-an. Malind atau Marind adalah etnik yang dianggap "asli" di Merauke. "Kita butuh pendatang tapi tidak seperti jumlah sekarang," kata Gebze.
"Dengan jumlah seperti sekarang, tidak mungkin orang Papua berkembang.
Job opportunities are all occupied by non Papuans." Gebze orang yang menyenangkan. Lagu bicaranya pelan dan sopan. Ia seorang kepala kampung Malind. Ia mencerminkan opini mayoritas orang Papua yang ingin merdeka dari Indonesia. Orang Papua bukan orang Indonesia. Mereka punya kebudayaan dan gaya hidup Melanesia.
Aku juga bicara dengan banyak transmigran atau keturunannya. Banyak yang asal Banyuwangi dan Jember! Aku sempat praktek bicara bahasa Madura di daerah SP II Tanah Tinggi. Mereka juga senang mendapati seorang "bapak wartawan" bisa bicara Madura. Ini bahasa yang pernah aku pakai ketika masih kanak-kanak. Aduh, keluhannya banyak banget. Bahkan ada ibu Madura kelahiran Jember yang pesan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memperbaiki rumahnya!
Aku juga mengambil foto tugu L.B. Moerdani di Tanah Tinggi. Ini semacam tugu yang dibangun oleh pemerintah Merauke untuk memperingati operasi Mandala. Kebetulan Mayor Moerdani pada 1962 ikut pasukan Indonesia yang diterjunkan dengan payung ke Merauke. Pada 1983-1988, Moerdani menjadi panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan tangan kanan Jenderal Soeharto.
Aku bekerja keras selama tiga hari di Merauke. Wawancara dan cari dokumen. Hari pertama, aku kerja hingga larut malam. Hari kedua, tak terlalu malam tapi waktu habis untuk berkemas. Lucunya, ini pertama kali aku lihat Piala Dunia disiarkan langsung lewat layar lebar dalam gedung gereja! Maklum siaran
SCTV jarang bisa ditangkap televisi di Papua ini. Maka gereja mengambil inisiatif nonton bareng di dalam gereja. Paginya dipakai misa.
UpdateAgapitus Batbual mengirim pesan pada 15 Oktober 2007, "Sekitar pukul 15:00 Pak Yul menghembuskan nafasnya dengan damai di RSUD Merauke." Aku ikut berduka dengan perginya Yulianus Bole Gebze dari masyarakat adat Malind. Merauke kehilangan seorang pemimpin.