Oleh Ucu Agustin
Sindikasi Pantau
Pukul 10.05. Terik matahari mulai menyentuh Jakarta. Sekitar 1,000 orang dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia begerak meninggalkan bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara. Di belakang iring-iringan itu, sebuah kesibukan lain sedang terjadi. Sekitar 500an perempuan -- aktivis dan ibu rumah tangga di antaranya membawa serta anak mereka-- mahasiswa dan artis seperti Dian Sastro Wardoyo dan Olga Lidia, terlihat sedang sibuk mengatur barisan.
Tawa dan canda kecil, terdengar di antara suara Yulia E. Sinabara dari pengeras suara yang tak henti memberi instruksi untuk merapikan barisan. Vivi Widiawati, sang koordinator lapangan, sigap membagikan kertas release kepada wartawan.
Dian Sastro tak khawatir kulitnya jadi gosong disengat langsung matahari panas, “Ada sesuatu yang lebih penting yang harus disuarakan perempuan Indonesia,” ucapnya.
“Saya nggak mau lah tubuh perempuan dikenai tuduhan yang macam-macam. Masa pemerintah seenaknya mau mengkriminalkan perempuan? Kita harus menolak RUU Anti Pornografi dong!” ucapnya.
Dan dibelakang Dian, sejumlah ibu dari Cengkareng Kapuk membawa rebana, “Kita datang ke sini karena kita nggak setuju sama RUU itu. Sudah cari makan saja susah, sekarang kita perempuan ini yang akan kena getahnya kalau RUU itu sampai disahkan.” Dan seperti mengamini, dari atas mobil kendaran bak terbuka, Yulia E Sibara menyanyikan lagu “Dimana-mana mahal.”
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Siapa yang paling repot?
Siapa yang paling susah?
Kalau bukan ibu-ibu…
Sejumlah tukang ojek yang mangkal di sekitar kawasan Plaza Indonesia berseloroh, “Kita dukung lah kalau yang ini. Masa mau ciuman saja nanti kita harus bayar dua juta?” Dan tukang ojek yang lain tertawa mendengar selorohan temannya tersebut.
Begitulah. Hari ini lagi-lagi bundaran Hotel Indonesia jadi saksi diperingatinya Hari Perempuan Sedunia. Aksi ini melibatkan 58 organisasi non pemerintah dan lembaga mahasiswa. Menurut Mariana Amiruddin dari Yayasan Jurnal Perempuan, demonstrasi ini dirancang di antara kesibukan Kelompok Kerja Perempuan Menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI! Namun selain menolak RUU APP, isu pemiskinan terhadap perempuan juga menjadi isu yang diusung hari ini.
No Pemiskinan Perempuan!! No RUU APP!
Kemiskinan yang dialami perempuan Indonesaia, terjadi karena dua hal, yaitu kebijakan ekonomi poltik yang tidak berpihak pada perempuan, dan kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang merambah pada wilayah politik sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan dan menindas perempuan.
Menurut Vivi Widiawati, kebijakan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono buruk bagi perempuan. Pencabutan berbagai subsidi (kesehatan, pendidikan, bahan bakar dan listrik), menyebabkan kesejahteraan kaum perempuan merosot. Angkatan kerja kaum perempuan, yang terus meningkat, justru menjadi sasaran utama dari PHK massal.
Di sisi lain, ketidakmampuan pemerintah memberikan lapangan pekerjaan mendorong perempuan bekerja ke luar Indonesia sebagai buruh atau pembantu rumah tangga, tanpa jaminan keamanan dan perlindungan ketenagakerjaan.
Meningkatnya krisis ekonomi dan tingginya angka pengangguran perempuan dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi. Menurut data UNICEF, jumlah pelacur anak di Indonesia saat ini mencapai 30 persen dan setiap tahun, sekitar 100.000 anak diperdagangkan.
Tak heran kalau perempuan Indonesia mengalami keresahan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang tengah digodok DPR sejak September 2005.
Menurut Ratna Batara Munti, seorang pengacara, bila RUU APP disahkan, perempuan akan semakin dimiskinkan karena pengaturan gerak perempuan semakin dikontrol dan dipersempit. Definisi pornografi yang senantiasa kabur, berpeluang untuk merumahkan perempuan dan bisa jadi membuat mandeg segala gerakan perempuan yang 10 tahun belakangan mulai marak di Indonesia.
“Lihat saja Perda Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan prostitusi. Apa itu nggak gila? Sudah 20 perempuan Tangerang yang menjadi korban. Padahal mereka bukan PSK, mereka cuma ibu rumah tangga biasa yang baru pulang bekerja!” ucap Ratna berang.
Ratna kuatir pemberlakuan undang-undang yang diskrimiatif dan cenderung mengkriminalkan perempuan akan berakibat pada diberlakukannya peraturan-peraturan daerah lain yang tidak perlu. “Gila aja lho. Kalau kita membiarkan Perda seperti itu berlaku, bisa-bisa perempuan akan dikenai jam malam,” Vivi menambahkan.
Ada pula orasi. Omi, seorang ibu korban gusuran daerah Cengkareng, yang sehari-hari bekerja menjadi penyortir plastik, salah seorang orator yang menyita perhatian. Perempuan berusia 52 tahun itu membuat saya terkesima, merinding dan hampir menangis.
Dengan kalimat yang cenderung terbata-bata, Omi menceritakan keluh kesahnya sebagai ibu rumah tangga. Segalanya kini menjadi mahal, katanya. Penghasilannya Rp 10,000 per hari. Ketika sudah tak tahan menceritakan segala beban hidupnya, di atas podium, Omi mengajak seluruh massa yang ikut dalam aksi untuk mengatai pemerintah yang tak becus mengurus warganya yang miskin.
“Nggak apa-apa! Sekarang katai saja mereka! Karena meski kita katai, toh Sutiyoso! SBY! Mereka akan tetap saja enak ongkang-ongkang kaki di kursi mereka yang empuk! Mereka tak akan perduli pada kita warga miskin! Pada kita kaum perempuan!”
“Tolak RUU APP! Hidup perempuan!” ucap Omi sebelum akhirnya meninggalkan podium dan disambut dengan tepuk tangan meriah.
3 comments:
Saya setuju. Tolak RUU Anti Pornografi!
Buat Pak Andreas Harsono, saya pernah membasa tulisan Anda di Pantau, Indonesia Kilometer Nol? tylisan yang sangat dahsyat! salah hormat- michael risdianto
yth. mas andreas.
seorang samanera (calon bhiksu) ngelink blog anda. kalau ada waktu, silakan mas andreas berkunjung ke:
http://sdhammasiri.blogspot.com/
salam,
sahrudin
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.