Oleh SAMIAJI BINTANG
Pantau
Perjuangan mahasiswa Aceh mengawal proses pembahasan RUU Aceh di Senayan.
EMPAT mahasiswa itu duduk di balkon sebuah ruang rapat di gedung Parlemen Senayan Rabu lalu ketika panitia RUU Aceh hendak minta pendapat dari Badan Kerjasama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi se-Indonesia asal Bali, Riau, Papua dan Kalimantan.
Riswan Haris duduk menyandar di kursi pengunjung. Riswan adalah presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Banda Aceh. Di sampingnya, duduk Khalid Hasim dari Universitas Syiah Kuala. Dedy Susanto dan Zirhan duduk di belakang. Mereka masing-masing dari IAIN Ar Raniry dan Universitas Abul Yatama.
Mereka diam dan memandang legislator di bawah. "Itu siapa, Bang?" Dedy bertanya kepada saya. Tangannya menunjuk lelaki beruban, mengenakan pakaian serba hitam, yang baru saja memasuki ruang rapat. "Itu Permadi Satrio Wiwoho dari PDIP," jawab saya.
Dedy dan kawan-kawannya diam saja. Rapat dijadwalkan mulai pukul 3 sore. Hanya belasan dari total 51 anggota panitia sudah duduk menunggu. Namun hingga jam 4 sore, ketua panitia Ferry Mursyidan Baldan dari Partai Golkar belum juga mengetuk palu tanda rapat dibuka.
"Apa setiap rapat molor begini, Bang?" tanya Dedy lagi. Saya jawab “ya” dan pekerjaan wartawan memang menunggu.
Rapat akhirnya dibatalkan karena cuma satu delegasi datang. Artinya, dia tidak cukup mewakili aspirasi Bali, Riau, Papua dan sebagainya, yang konon tertarik minta otonomi penuh macam Aceh bila rancangan itu berjalan mulus.
Ada apa gerangan kok empat aktivis kampus-kampus Banda Aceh secara bersamaan muncul di Senayan? Tiap hari, empat pemuda itu mondar-mandir di sekitar ruang rapat. Mereka sering berhubungan dengan beberapa legislator asal Aceh maupun aktivis-aktivis dari Jaringan Demokrasi Aceh –sebuah koalisi NGO Jakarta dan Banda Aceh yang ingin menggoalkan RUU Aceh.
Risman mengatakan mereka memang punya misi "mengawal” proses pembahasan RUU Aceh dan memperhatikan satu demi satu legislator di Senayan. Pendeknya, mereka ingin tahu bagaimana rancangan itu didiskusikan di Senayan.
Mereka waswas membaca laporan soal pembahasan RUU Aceh di Senayan. Mereka kuatir Departemen Dalam Negeri, organisasi pensiunan jenderal, maupun akademisi di Pulau Jawa curiga Aceh bakal merdeka pelan-pelan jika rancangan versi DPRD Aceh digoalkan.
Sebaliknya, banyak ulama, aktivis, birokrat dan mahasiswa di Aceh tidak begitu percaya para legislator, termasuk yang asal Aceh, dalam membahas RUU Aceh ini. Mereka kuatir RUU ini akan digerogoti Jakarta.
Ada 12 politisi Aceh dalam panitia RUU Aceh dengan total anggota 51 orang. Mahasiswa ini bisa berhubungan dengan Farhan Hamid, Imam Syu’ja serta Nasir Jamil, tiga legislator Aceh dalam panitia.
Mahasiswa ini menduga legislator Senayan, terutama dari Pulau Jawa, cuma manis di bibir terhadap aspirasi perdamaian di Aceh. Mereka curiga rancangan yang dibahas dalam rapat-rapat justru rancangan versi Departemen Dalam Negeri.
Isi rancangan Departemen tak pernah disosialisasikan kepada warga Aceh. Ini galibnya kelahiran kebijakan yang diberlakukan kepada daerah-daerah di luar Jakarta dan Jawa.
Sedangkan rancangan versi DPRD Aceh justru telah digembar-gemborkan dari ruang kuliah di kampus hingga warung-warung kopi di seantero Aceh. Rancangan versi DPRD Aceh juga dicetak suratkabar dan selebaran.
Majalah Acehkita memuat rancangan versi DPRD Aceh sepanjang 37 halaman. Acehkita majalah bergengsi di Aceh. Laporannya enak dibaca, analisisnya tajam dan liputannya proporsional. Edisi Februari lalu, kulit depan majalah ini menurunkan laporan bertajuk, "Awas Sabotase dari Senayan."
Maka berbondong-bondonglah pemimpin berbagai organisasi Aceh datang ke Jakarta, dari kalangan adat hingga ulama, dari mahasiswa hingga seniman. Semuanya merasa perlu melihat sendiri pembahasan RUU Aceh.
Riswan, Khalid, Dedy dan Zirhan haqul yakin tak ada celah buat Aceh untuk merdeka dari Indonesia. "Rancangan itu bukan seperti yang ada dalam benak orang Jakarta," tegas Riswan.
"Sebagian besar yang ikut menyusun draf itu bukan orang GAM. Malahan umumnya yang membenci GAM."Kehadiran mereka berempat di Jakarta juga hasil mufakat para mahasiswa di Aceh.
Dedy Susanto (kiri) dan Riswan Haris mendatangi sebuah apartemen dekat gedung Parlemen di Senayan, berpose dengan latar belakang markas besar Kelompok Kompas Gramedia, perusahaan media besar di Indonesia.
Tiap akhir pekan wakil-wakil mahasiswa ini berkumpul di kampus Syiah Kuala atau Muhammadiyah di Banda Aceh. Mereka punya forum mingguan bernama 'Duek Pakat' --semacam musyawarah mahasiswa.
"Tapi setelah Duek Pakat pertengahan Februari lalu, kami sepakat untuk memprioritaskan pengesahan rancangan undang-undang ini," kata Riswan.Di Jakarta, mereka minta dukungan dari organisasi mahasiswa di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Soalnya, tak sedikit mahasiswa Jakarta yang tak paham betul persoalan yang dihadapi rakyat Aceh sebelum nota kesepahaman Indonesia-GAM diteken di Helsinki Agustus lalu."Tugas kami juga memberi pemahaman kepada teman-teman nasional tentang rancangan undang-undang," jelas Dedy.
Mahasiswa di Jakarta yang mereka temui, sama dengan Permadi dan kawan-kawan di Senayan, menduga isi rancangan ini banyak didikte GAM. Mereka sabar menjelaskan bahwa RUU Aceh ini dibuat semua unsur masyarakat Aceh, lewat road show, diskusi dan media.
Mereka merasa sendiri pahitnya perang antara Indonesia dan GAM sejak 1976. Sepupu Riswan, Mawardi, ditangkap dalam suatu razia pasukan Indonesia di daerah Tapaktuan enam tahun lalu. Ketika ditemukan, mayat Mawardi terbelah dadanya dan disana ditancapkan bendera GAM.
Dedy mengatakan, "RUU ini harga mati buat proses perdamaian di Aceh. Kami akan di Jakarta sampai RUU ini selesai."
No comments:
Post a Comment