Imam Shofwan, 950 kata
Pantau
Dua profesor Universitas Syiah Kuala datang ke Senayan dan memberi kuliah sejarah Aceh untuk 24 anggota panitia khusus Rancangan Undang-undang Aceh. Namun Prof. Ibrahim Hasan dan Prof. Syamsuddin Mahmud sebenarnya diundang Selasa lalu (14/3) dalam kapasitas sebagai mantan gubernur Aceh.
Syamsuddin bergaya guru. Dia banyak bicara sejarah “kekhususan” Aceh. Gayanya mungkin sesuai dengan bagaimana dia memandang dirinya sendiri dalam biografinya, “Biografi Seorang Guru di Aceh” (2004).
Sesuai perjanjian Helsinki Agustus lalu, antara Gerakan Acheh Merdeka dan Republik Indonesia, Aceh akan mendapatkan otonomi penuh, termasuk memiliki struktur pemerintahan sendiri, anggaran sendiri bahkan bendera dan lagu kebangsaan sendiri.
Ia juga akan memiliki jabatan “wali nanggroe” sebagai kepala adat. Indonesia hanya mengatur enam masalah: pertahanan, moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama. Artinya, Aceh mungkin akan menjadi “negara bagian” Republik Indonesia bila RUU Aceh ini diresmikan.
Sejarah khusus Aceh dimulai pada 15 Juni 1948 ketika Presiden Soekarno datang ke Aceh untuk berunding dengan Gubernur Militer Aceh Daud Beureuh. Soekarno minta Beureuh membantu “Republik Indonesia” yang de facto hanya Jogjakarta saja.
Kebanyakan daerah lain bergabung dengan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) bentukan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus J. van Mook. Negara-negara ini menganggap “sistem federal” lebih cocok untuk berbagai macam kesultanan, kerajaan dan daerah administrasi yang ada di Hindia Belanda. Mereka sepakat melepaskan diri dari Kerajaan Belanda.
Soekarno minta Aceh ikut memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Bila Soekarno menang, Aceh akan diberi kesempatan mengatur pemerintahan tersendiri. Daud Beureuh bersedia. Dia minta para saudagar Aceh kumpul emas untuk bantu Soekarno beli dua pesawat Dakota.
Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan “Republik Indonesia Serikat” sebagai jalan tengah antara BFO dan RI. Moh. Hatta, yang mendukung sistem federal, menjadi Perdana Menteri RIS. Aceh jadi negara bagian tersendiri dengan Kutaraja (Banda Aceh) sebagai ibukota. Daud Beureuh jadi gubernur.
Namun sistem ini tidak bertahan lama. Pada 17 Agustus 1950, Soekarno membubarkan Republik Indonesia Serikat dan mendirikan NKRI. Hatta mengundurkan diri. Soekarno memindahkan ibukota Indonesia dari Jogjakarta ke Jakarta. Soekarno juga membubarkan Aceh dan mendirikan Provinsi Sumatra Timur dengan ibukota Medan. Aceh menjadi karesidenan.
Semua dokumen-dokumen serta fasilitas-fasilitas kegubernuran diangkut ke Medan termasuk mobil gubernur. Daud Beureuh diantar pulang dengan diboncengkan sepeda. Rakyat Aceh protes namun tak diindahkan Soekarno.
Pada 20 September 1953, Daud Beureuh memutuskan melawan Jakarta dan bekerja sama dengan SM Kartosuwiryo dari Darul Islam di daerah Sunda.
Jakarta menyebutnya “pemberontakan” dan mengirim pasukan dari Jawa ke Aceh. Perang terjadi di Aceh hingga pertengahan 1959 ketika Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi berunding dengan Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam.
Pada 25 Mei 1959, kedua belah pihak sepakat berdamai dan menetapkan Aceh sebagai “Daerah Istimewa” dimana Aceh boleh mendapatkan otonomi –termasuk memakai syariat Islam.
Ibrahim Hasan dan Syamsuddin Mahmud mengatakan Aceh setia terhadap proyek kebangsaan “Indonesia.” Daud Beureuh membuktikannya dengan bersedia mendukung proklamasi Soekarno-Moh. Hatta pada 17 Agustus 1945.
Dalam dengar pendapat ini, Ibrahim Hasan dan Syamsuddin juga ditemani Ramli Ridwan, pejabat gubernur Aceh selama lima bulan tahun 2000.
Tokoh penting kedua Aceh, sesudah Daud Beureuh adalah Muhammad Hasan Tiro. Ketika kuliah di Universitas Islam Indonesia di Jogjakarta pada 1950, Hasan Tiro menulis buku “Perang Aceh 1873-1927” dimana ada satu alinea berbunyi, “Aceh tidak bisa dilepaskan dari Republik Indonesia, jadi kewajiban bagi para politisi, para pendidik dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan paham ini kepada masyarakat.”
Pada 1953, Hasan Tiro mengikuti gurunya, Daud Beureuh, melawan Indonesia. Jakarta pun menganggap Hasan Tiro, yang bekerja di konsulat Indonesia di New York, sebagai pengkhianat. Dia keluar dari pekerjaannya. Pada 1958, Hasan Tiro menulis buku “Demokrasi untuk Indonesia” dimana dia menawarkan konsep negara federal untuk Indonesia.
“Jadi, tidak ada maksud untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia,” tutur Syamsuddin.
Ketika proposal Hasan Tiro ditolak, dia mengambil Ph.D di Universitas Columbia, New York, dan bikin penelitian konstitusionalisme kesultanan Aceh. Dia menemukan bahwa Aceh tak pernah menyerah kepada Belanda. Hingga Jepang menyerbu Pulau Sumatra pada 1942, Belanda belum bisa menduduki Aceh 100 persen. Logikanya, Belanda juga tak bisa menyerahkan Aceh kepada Indonesia.
Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro melanjutkan perjuangan Aceh melawan Indonesia dengan GAM. Dia menyerang dominasi etnik Jawa dalam negara Indonesia. Indonesia, menurutnya, “nama samaran” negara Jawa.
Syamsuddin juga menjelaskan ketimpangan pendapatan antara Pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Pemerintah Jakarta mengambil semua kekayaan sumber daya daerah-daerah. Ini menimbulkan reaksi. Masing-masing daerah reaksinya beragam. Aceh adalah bangsa yang berani melawan pengurasan kekayaan itu.
Apabila Aceh diberikan keistimewaan, apakah daerah lain akan cemburu? Menurut Syamsuddin, keistimewaan Aceh sudah ada sejak dulu dan tak ada satu daerah pun yang mengungkapkan kecemburuannya (keistimewaan serupa dinikmati Jogjakarta dimana kursi gubernur selalu dijabat gantian oleh Sultan Hamengku Buwono atau Sultan Paku Alam serta keturunannya).
Syamsuddin bilang dia pernah bekerja di Badan Perencanaan dan Pembangunan Aceh. Dia tahu banyak soal pendapatan daerah. Dia yakin masyarakat Aceh tak pernah cemburu dengan daerah Tapanuli atau Manado dimana penghasilan pajak anjingnya tinggi.
“Aceh nggak pernah cemburu Tapanuli yang banyak anjing. Manado juga. Tidak perlu cemburu,” seloroh Syamsuddin.
Selain itu pajak kendaraan. Pajak ini asli pendapatan daerah. Tapi yang menikmati pajak kendaraan adalah Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maluku tidak ada kendaraan, juga tidak cemburu.
“Sebaliknya mereka yang punya kekayaan lain tapi mereka tidak cemburu dengan Jakarta yang menikmati pajak kendaraan,” tuturnya.
Artinya, daerah-daerah yang punya perusahaan negara besar seperti di Kalimantan Timur dan Aceh pantas menikmati hasil perusahaan itu. Di Aceh, hasil penjualan gas arun di Lhokseumawe hanya sekitar 1 persen yang diberikan ke Aceh.
Syamsuddin merasa heran melihat betapa sulitnya daerah mendapatkan laba dari perusahaan negara sementara “pengusaha kecil” di seluruh Indonesia dengan mudah mendapatkan hasil laba itu.
“Ada SK Menteri Keuangan untuk menyisihkan 1 persen dari pendapatan BUMN untuk pembinaan pengusaha kecil. Kenapa untuk daerah tidak boleh tapi untuk pengusaha kecil boleh hanya dengan SK Menteri Keuangan?” kata Syamsuddin.
Kuliah itu berjalan selama 90 menit. Ketika giliran menanggapi, beberapa legislator bertanya tak kalau seriusnya. Syamsuddin bilang dia salut dengan kerja keras para legislator ini –mengundang banyak sumber dari jenderal-jenderal Indonesia hingga warga Aceh.
“Begitu banyak pendapat yang didengarkan kalau tidak memuaskan, ya keterlaluan juga,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment