Oleh Imam Shofwan
Sindikasi Pantau
Kalau RUU Aceh lolos di Jakarta, boleh jadi, Letnan Kolonel Sudjono dan kawan-kawan akan tidur kurang nyenyak. Pasalnya, aturan ini akan memerintahkan diadakannya pengadilan hak asasi manusia serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
Sistem ini membuat orang yang dulu dianggap terlibat pembunuhan, akan dicari dan diadili. Kalau rekonsiliasi, mereka bisa mendapat amnesti asal terbuka dan jujur mengakui kesalahannya.
Kalau Aceh bisa mengadili penjahat kemanusiaan, teoritis Papua juga boleh mencari siapa pembunuh 100,000-an orang Papua sejak 1969 atau lebih dahsyat lagi, siapa pembunuh sejuta, dua juta atau mungkin tiga juta orang di Pulau Jawa pada 1965-1966.
Marzuki Darusman, legislator Partai Golkar yang anggota panitia RUU Aceh, menganggap penyelesaian pelanggaran hak asasi di Aceh takkan berjalan mulus, “Kasus terlalu banyak dan tak mungkin lewat pengadilan-pengadilan normal.”
Ganjalan lain juga ada. “Kalau masyarakat Aceh menganggap perdamaian lebih penting daripada penyelesaian kasus HAM,“ kata Marzuki.
Sudjono adalah Kepala Seksi Intel Korem Lilawangsa di Lhokseumawe. Pada 19 Juli 1999, Sudjono memimpin sekitar 70-an tentara Indonesia menyergap dayah (sekolah agama) pimpinan Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh, Aceh Barat. Alasannya, Bantaqiah mendukung GAM, terlibat perdagangan ganja, menyimpan senjata dan mengajarkan “ajaran sesat.”
Pagi tersebut, menurut tim investigasi pemerintah pimpinan Darusman yang dibentuk Presiden B.J. Habibie, Sudjono mendatangi dayah bersama Kapten Anton Yuliantoro dan Letkol Hieronymus Guru, sesama perwira Batalyon Yonif 328/Kostrad Cilodong, Bogor, yang ditugaskan di Aceh.
Yuliantoro minta Bantaqiah menyerahkan senjata. Bantaqiah bilang tak ada senjata. Beberapa serdadu menunjuk antena radio. Sudjono minta Usman, anak Bantaqiah, mencopot antena. Ketika Usman berjalan menuju antena, beberapa tentara memukulnya dengan popor senjata. Melihat anaknya dipukuli, Bantaqiah berseru, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Murid-muridnya ikut. Suasana tambah tegang.
Beberapa tentara membuka tembakan. Seseorang menembak Bantaqiah dengan GLM (grenade launching machine). Ususnya terburai keluar. Peluru menembus lehernya. Puluhan murid luka dan banyak yang meninggal, termasuk Usman.
Menurut Otto Syamsuddin Ishak dalam buku “Sang Martir: Teungku Bantaqiah,” serdadu-serdadu itu memaksa warga menggali lantai masjid untuk mencari senjata. Mereka membakar tiga rumah, menelanjangi para santri, membakar kitab-kitab, memaksa sebagian perempuan melepaskan pakaian dan meraba tubuh mereka. Warga gampong pun disuruh menyiapkan kuburan massal.
Sorenya, Sudjono menyuruh korban luka diangkut ke dua buah truk guna diobati di rumah sakit. Ternyata mereka diberhentikan di tengah jalan, disuruh jongkok, ditembak mati dan dilempar ke jurang. Total ada 34 orang mati dan 23 terluka hari itu.
Pembantaian Beutong Ateuh bukan kasus khusus di Aceh. Ia merupakan hasil operasi militer Indonesia. Presiden Habibie membuat 25 serdadu diadili dalam pengadilan koneksitas (sipil dan militer) di Banda Aceh. Semuanya dihukum namun mereka banding. Sudjono desersi hingga hari ini. Sudjono tak pernah diadili sehingga perwira-perwira lain, termasuk Hieronymus Guru dan atasan-atasan Sudjono, juga tak diketahui tanggungjawabnya. Anton dihukum penjara.
Inilah kejahatan masa lalu di Indonesia. Sejak Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan “bangsa Acheh” pada 4 Desember 1976, ada bermacam pembantaian yang pelakunya seakan-akan kebal hukum. Menurut Amnesty International, lebih dari 10,000 warga Aceh mati sejak 1976. Pihak GAM juga membunuh tentara Indonesia dan orang Aceh yang dituduh “cuak” alias mata-mata.
Kini sesudah perdamaian Helsinki dan pembahasan RUU Aceh dengan deadline 30 Maret, orang macam Otto dan Darusman pesimis aturan itu, kalau pun lolos, bisa menjamin serdadu macam Sudjono diadili. Mereka bicara dalam sebuah seminar minggu lalu di Jakarta. Otto mengingatkan ada dua versi RUU Aceh. Pertama, versi DPRD Aceh yang dibuat masyarakat Aceh lewat 33 pertemuan publik. Kedua, versi Departemen Dalam Negeri, yang sering dikritik GAM “mengkhianati” semangat Helsinki. Namun versi Jakarta pun ditentang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan maupun organisasi pensiunan militer.
RUU versi Departemen Dalam Negeri menyatakan pemerintah ”wajib memenuhi, memajukan dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana disebut dalam kovenan internasional.” Pemerintah juga harus membentuk pengadilan hak asasi manusia serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Tapi pasal itu terlalu umum dan tak mungkin dijalankan. Amiruddin al Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menyebutnya “pasal bodoh.” Pasal-pasal tersebut takkan menjerat siapa pun.
Amiruddin belajar dari Papua. Dia menterjemahkan buku klasik Robin Osborne “Indonesia’s Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya” ke bahasa Melayu dengan judul, “Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat.” Dia juga ikut Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua yang mencatat kelemahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001. Ketika itu, Presiden Megawati Soekarnoputri meloloskan UU Papua sebagai ganti keinginan warga Papua merdeka dari Indonesia.
Menurut UU Papua, pemerintah Indonesia akan membentuk pengadilan hak asasi dan komisi rekonsiliasi. Nah, undang-undang ini disahkan lima tahun lalu. “Alhamdulillah sampai sekarang belum pernah ada bau-baunya,” seloroh Amiruddin.
Dia usul DPR menambah beberapa pasal dalam RUU Aceh guna menyebutkan instansi-instansi yang bertanggungjawab mengadakan pengadilan hak asasi dan membuat komisi kebenaran. Selain itu, RUU Aceh perlu pasal yang menjamin tersedianya uang kompensasi untuk korban, hakim dan saksi.
Belajar dari pengalaman Afrika Selatan, Indonesia harus menyediakan uang untuk keluarga korban. Ini penting mengingat korban kekerasan negara, kehidupannya jadi rusak. Bahkan keturunannya, dua atau tiga bahkan lima generasi, masih sulit hidup tenang. Mereka dendam pada negara.
Sebaliknya, rekonsiliasi mulus macam Afrika Selatan membuat demokratisasi stabil. Presiden Nelson Mandela memilih rekonsiliasi karena negaranya tak bisa meniru cara Jerman mengadili pejabat-pejabat Nazi Jerman pasca Perang Dunia II. Ekonomi Jerman dan Afrika Selatan tumbuh sehat sesudah mereka mengatasi masa lalunya.
Indonesia belum stabil karena masa lalunya. Amiruddin merujuk kasus pembunuhan umat Muslim di Tanjung Priok, Jakarta, 1984. Keluarga korban sulit dapat kompensasi, sebagaimana diputuskan hakim, karena tak ada instansi yang bertanggungjawab membayarnya.
Bagaimana proses pengadilan bisa jalan, kalau anggaran memanggil saksi pun tak ada? Berapa lama lagi kasus Bantaqiah atau ribuan lain terungkap bila tak ada pasal yang bisa menjerat pelakunya? Dia juga merujuk pada kasus Abepura dimana pengadilan Makassar, yang menangani kasus ini, tak mampu membiayai saksi-saksi penting datang dari Jayapura. Belajar dari Abepura, Amiruddin usul pengadilan hak asasi dan komisi rekonsialiasi harus berkedudukan di Aceh, diberi dana dan punya daya paksa dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat Aceh.
Sudjono sendiri mengabaikan panggilan pengadilan Banda Aceh. Menurut buku “Sang Martir,” Sudjono pernah terlihat di Bali dan Jakarta. Saya sendiri mencari Sudjono lewat aktivis maupun kenalannya di Batalyon Yonif 328/Kostrad di Bogor dan Bondowoso, untuk wawancara, namun belum berhasil. Sudjono lulusan Sekolah Calon Perwira di Bandung 1976.
Kelemahan lain RUU Aceh adalah batas waktu pembentukan pengadilan dan komisi rekonsiliasi. Versi DPRD Aceh menyebut "batas waktu adalah satu tahun". Kalimat ini oleh Departemen Dalam Negeri dihilangkan. Menurut Amiruddin, tanpa batas waktu, janji pembentukan pengadilan dan komisi hanya akan jadi janji.
Usul Amiruddin disambut baik Marzuki Darusman. “Masukan-masukan ini perlu didistribusikan kepada anggota-anggota yang lain,” katanya. Otto Syamsuddin Ishak pesimis, “Kalau saya amati semangat RUU Aceh, sebenarnya Indonesia sedang bermain-main bagaimana mengelola Indonesia kecil bernama Aceh. Kalau itu tidak beres, ke depan bisa bubar negara ini.” ***
2 comments:
Oh my Lord. This is such a small world.
Saya tahu blog ini dari temen. Setelah diinget-inget, semasa kecil saya pernah kenal dengan Om Andreas (manggilnya dulu gitu kan?)-pas saya tinggal di Perumsat Penjawi dan Anda kos di rumah Bu Toni. (ke)Mungkin(an besar) Anda nggak inget saya, tapi saya inget sempat ikut les Inggris di PSD Margosari. Yang dianter jemput naik dokar itu ^_^; Saya juga inget dulu Anda suka menggiring kakak saya dan temen2nya main bola di Ngebrak.
Hmmm...sudah lama banget ya. Sekarang saya di Jogja, barusan diwisuda dari HI UGM.
Btw, seneng juga ngeliat 'temen masa kecil' sukses. Kapan main ke Salatiga?
Mya
Aduh Mya,
Aku tidak berani membayangkan bagaimana rupa dan tinggi Mya sekarang. Dulu khan ingetnya, Mya masih kecil, umur berapa ya?
Aku masih inget tentu, tapi ingetan yang dibekukan oleh waktu, ketika Mya masih kecil. Sekarang sudah jadi gadis, 20an tahun, baru lulus sekolah. Mungkin kalau ketemu ya tidak kenal.
Mau kemana sesudah sekolah selesai? Bagaimana kabar keluarga? Masih tinggal di Penjawi? Dulu memang aku membantu Persatuan Sais Dokar (PSD) selama tiga tahun. Lumayan lama juga ya.
I left Salatiga in 1991. I have been living in some places since then but now in Jakarta. Terima kasih untuk meninggalkan comment di weblog ini.
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.