Oleh SAMIAJI BINTANG, 1000 kata
PANTAU
KALAU ditanya siapa paling gesit menggiring bola Rancangan Undang-undang Aceh di Senayan, barangkali jawabannya adalah Forbes alias Forum Bersama. Bintang-bintang lapangannya 11 legislator asal Tanah Rencong yang terpilih dalam pemilihan umum 2004.
Ada bintang yang terbilang muda dan debutan. Semisal Teuku Riefky Harsya dari Partai Demokrat, Muhammad Nasir Djamil dan Andi Salahuddin dari Partai Keadilan Sejahtera. Muhammad Fauzi asal Partai Bulan Bintang. Mereka baru merumput di Senayan, tentu saja, Senayan versi Dewan Perwakilan Rakyat.
Djamil bekas wartawan harian Serambi Indonesia di Banda Aceh. Dia alumnus Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry. Sedangkan rekannya, Andi bekas pegiat lembaga dakwah kampus dan bos Furqaan Agency di Banda Aceh. Fauzi mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.
Tapi tak semua pemain muda. Kesebelasan ini juga memiliki jago-jago tua. Ada Tengku Muhammad Yus yang rambutnya erwarna perak. Muchtar Aziz yang lama mengajar di perguruan tinggi Islam di Lampung, Jakarta dan Aceh. Dia beberapa kali terpilih jadi legislator di Senayan. Imam Syuja' juga termasuk pemain tua. Dia ketua Muhammadiyah di Aceh.
Lalu ada Ahmad Farhan Hamid, mantan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Doktornya dari Universiti Sains Malaysia di Penang pada 1994. Farhan juga punya apotik. Dalam kesebelasan ini Farhan didaulat jadi El Capitan. Ibarat kelapa, makin tua makin gurih santannya. Farhan tahu betul mengatur ritme dan menyemangati anggota timnya bermain di Senayan. Farhan punya target besar, "Goal kita undang-undang."
Sebenarnya Forbes dibentuk Oktober 1999, sesaat sesudah pelantikan legislator periode 1999-2004. Orang-orangnya berasal dari berbagai fraksi. Misinya lumayan berat: memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertandingan pertama, ketika MPR membuat Garis-garis Besar Haluan Negara dimana ada bagian khusus Aceh dan Papua. Hasilnya biasa saja.
Pertandingan berlanjut di Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang pertama yang digoalkan adalah tentang pelabuhan bebas Sabang pada 2000. Namun UU ini tak bergigi. Meski tertulis kapal asing dibebaskan berlabuh di Sabang dan tak dibebani bea masuk saat menurunkan barang, sejak darurat militer diberlakukan pertengahan 2003, Sabang praktis tertutup bagi kapal dagang internasional. Mereka masih kalah juga.
Namun pertandingan demi pertandingan diikuti Forbes di Senayan. Tantangan yang dihadapi lebih berat. Pada 2001, mereka menggoalkan UU No. 18 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Aturan ini beranak-pinak. Salah satunya keputusan Presiden Abdurrahman Wahid No. 11 tahun 2003 soal mahkamah syar'iyah dan mahkamah syar'iah di Aceh.
"Itu kerja kami yang signifikan," ungkap El Capitan. "Forum ini menjadi model bagi legislator dari daerah lain."
Kiprah mereka mencerminkan bahwa politik etnik tidak kalah pentingnya dibanding politik partai alias politik nasional. Legislator menyuarakan kepentingan etnik mereka seimbang kalau tidak lebih kuat daripada kepentingan partai mereka.
Ini sudah diramalkan tokoh misterius Aceh, Muhammad Hasan Tiro, dalam bukunya "Demokrasi untuk Indonesia" (1958). Intinya, Indonesia terdiri dari berbagai "suku" dan umur mereka jauh lebih tua dari identitas keindonesiaan. Kalau harus tersudut, orang cenderung memilih etnik mereka daripada Indonesia.
Kebangsaan Indonesia, menurut Hasan Tiro, "... suatu kebangsaan yang tidak mempunyai perasaan saling bersimpati dan belas kasihan antara satu sama lain; suatu kebangsaan yang tidak merasakan kesenangan dan kesedihan bersama; tegasnya suatu bangsa yang tidak mempunyai collective pride and humiliation, pleasure and regret, yang oleh John Stuart Mill dikatakan sebagai syarat yang paling utama bagi adanya suatu kebangsaan."
Ketika Aceh selama beberapa dekade dibikin susah oleh "Jawa Indonesia" maka politik etnik ini pula yang dimainkan legislator asal Aceh. Mereka mirip kiprah pemain Brazil di klub-klub papan atas Eropa. Begitu dipanggil dan terdaftar dalam tim nasional, mereka bakal membela mati-matian bendera Brazil dengan taktik goyang Samba. Di Forbes, kata Farhan, "Tidak ada ikatan ideologi."
Di Senayan, sering legislator asal Aceh ini duduk bersebelahan. Lain hari duduk jauh berseberangan. Saat rapat dengar pendapat dengan bekas "jenderal-jenderal Jawa" beberapa pekan lalu, Farhan dan kawan-kawan tak kalah sengit beradu argumen. Farhan, Zainal dan Nurlif menampik tudingan-tudingan para jenderal bahwa RUU Aceh akan jadi cikal-bakal Aceh lepas dari Indonesia.
Farhan kelihatannya marah besar mendengar para pensiunan serdadu Indonesia itu macam Bambang Triantoro, Kharis Suhud dan Syaiful Sulun. Farhan mengungkit sejarah penindasan terhadap bangsa Aceh setelah bergabung dengan Indonesia.
"Kereta api dihilangkan, pabrik gula dihilangkan, pelabuhan ekspor-impornya dihilangkan. Dan kata-kata penolakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat Aceh," ungkap Farhan.
"Selama 30 tahun setiap hari rakyat Aceh melihat empat lima mayat. Hampir 30 tahun yang terganggu bukan hanya perekonomian, tapi juga ibadah. Setiap magrib rakyat tidak bisa keluar rumah. Salat tarawih dijaga," Nurlif menimpali.
Mereka juga gesit merangkul 40 legislator lain non-Aceh yang duduk di panitia khusus RUU Aceh terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Soalnya, di Senayan anak-anak buah Megawati Soekarnoputri ini berulangkali menyatakan penolakannya terhadap perjanjian Helsinki.
Megawati dan kawan-kawan kuatir bila rakyat Aceh merdeka dari Indonesia. Sebaliknya, menurut Farhan, perjanjian Helsinki jadi jembatan emas bagi kelahiran UU Aceh. "Hampir tiap hari semua teman-teman melakukan lobi-lobi ke PDIP," kata Farhan.
Di luar Senayan pertemuan internal anggota Forbes dilakukan berkali-kali. El Capitan bersama kesebelasannya terus mengatur taktik menjebol Senayan. Forbes mengundang tokoh-tokoh adat, gubernur dan mantan gubernur, petinggi DPRD Aceh serta anggota GAM ke Senayan.
Mereka sering rapat di kantor perwakilan Aceh di Jalan Indramayu, Menteng, maupun di Hotel Mulia, sebuah hotel bintang lima di Senayan, bersama anggota-anggota DPRD Aceh. Mereka dibantu organisasi-organisasi nonpemerintah, dari Jawa maupun Aceh, yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh. Tak tanggung-tanggung mereka beradu argumen hingga larut malam dengan menempati ruang hotel itu.
Siapa sponsor mereka? "Kami difasilitasi NGO. Kami tidak punya duit. Iuran bulanan saja cuma Rp 250,000," terang El Capitan.
NGO tersebut adalah "Partnership for Governance Reform in Indonesia" -sebuah organisasi donor bentukan United Nations Development Programe, World Bank, Asian Development Bank, dan beberapa negara donor Eropa. Banyak orang penting duduk dalam kepengurusan Partnership termasuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun almarhum Nurcholish Madjid. Sanjaya Utama, advisor program wilayah Aceh dan Papua, mengatakan Partnership mendukung Forbes menggoalkan RUU Aceh.
Forbes tinggal bilang ke Partnership jika butuh ahli hukum atau lainnya. Bahkan kata Sanjaya, lembaga ini akan mendukung dan menyiapkan kebutuhan bagi Forbes untuk menggelar berbagai macam pertemuan hingga kampanye media di luar Senayan.
"Dukungan kami berikan untuk penguatan Forbes di Pansus, sosialisasi dan pertemuan bersama stakeholder undang-undang ini. Butuh apapun kami sediakan. Tapi bantuan kami bukan dalam bentuk dana," kata Sanjaya.
El Capitan bersama tim Forbes sudah mendapat dukungan Partnership dan moral dari DPRD Aceh. Bagaimana jika bola tak berhasil menembus gawang? Atau bola RUU ini digerogoti hingga kehilangan giginya?
"Saya tidak pernah membayangkan itu. Saya optimis undang-undang ini goal," Farhan menyungging senyum.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.