Oleh MUHAMMAD NASIR, 1787 kata
Sindikasi Pantau
Kisah transmigran asal Jawa di masa konflik dan masa damai Aceh. Ada yang dituduh mata-mata tentara Indonesia.
LELAKI itu berjalan cepat. Baju kaos berkerah dipadu celana jins. Bersih. Tapi sandal jepit di kakinya belepotan lumpur. Dia menuju kedai kopi dekat simpang empat pemukiman Blok A Desa Seureuke Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara.
“Jep ie, Bang? (Minum, Bang?)” sapanya pada dua anak muda yang tiba lebih dulu di kedai itu.
Ini basa-basi khas kedai kopi Aceh. Dua pemuda itu cuma mengangguk. Tak berapa lama percakapan pun terjadi.
“Abang orang Aceh?” tanya seorang pemuda.
“Bukan. Saya asli Jawa.”
“Ah, yang benar? Biasanya lidah orang Jawa tak bisa benar bicara bahasa Aceh.”
Lelaki itu terbahak. “Barangkali karena di sini saya sering makan kuah pliek, makanya lidah tidak kaku lagi ngomong Aceh,” katanya, menyebutkan gulai khas Aceh yang dibuat dari banyak rempah dan bumbu utama patarana. Dia transmigran Jawa, warga desa Seureuke.
Suasana cepat akrab. Si Jawa kemudian menjelaskan hari itu dia tidak bisa ke kebun. Semalam hujan lebat. Jalan ke sana rusak berat, berlubang besar diselingi batu-batu seukuran buah kelapa, katanya. Kebun kakao miliknya terletak dekat pemukiman Blok B, empat kilometer dari Blok A. Dia sering memilih jalan alternatif, yang dilalui line pipa ExxonMobil, lantas berbelok ke utara melintasi jalan kecil di areal perkebunan, “Jaraknya sekitar tujuh kilometer, tapi lebih cepat sampai.”
Kerusakan jalan bukan hanya yang menuju ke kebun. Jalan lintas utama sepanjang dua kilometer dalam kawasan pemukiman Blok A juga sekali tiga uang. Saat panas terik, jalanan mengepulkan debu tebal bila dilindas kendaraan bermotor. Bila hujan turun, jalan ini nyaris tak bisa dilewati. Air menggenangi ceruk-ceruk jalan. Selebihnya dibaluri lumpur tebal.
Ada dua pilihan jalan menuju ke Seureuke. Alternatif pertama dari Lhoksukon, ibukota Kabupaten Aceh Utara. Lintasan ini beraspal hotmix lebar enam meter. Dari sini transportasi mudah. Kendaraan umum melintas tiap 20 menit. Tapi hanya sampai ke Keude Cot Girek, yang berjarak 12 kilometer dari Lhoksukon.
Selepas itu jalan mulai berbatu kasar dan berdebu. Kendaraan yang banyak lewat adalah truk pengangkut tandan sawit. Mobil penumpang muncul dua jam sekali. Kebanyakan berbentuk truk berukuran sedang yang dimodifikasi menjadi kendaraan penumpang. Kendaraan jenis inilah yang menjadi andalan warga transmigran Seureuke ketika hendak turun ke kota.
Perjalanan dari Keude Cot Girek ke Seureuke melewati jalan line pipa gas ExxonMobil, yang berkerikil kasar, berdebu, dan menanjak pebukitan-pebukitan rendah. Pada malam hari lintasan ini kerap disinggahi babi-babi liar yang keluar dari semak kebun kakao.
Pilihan lain? Masuk dari Kota Pantonlabu, ibukota Kecamatan Tanah Jambo Aye yang berada di ujung timur Aceh Utara. Jarak tempuh dari sini ke Keude Langkahan sekitar 20 kilometer. Tidak ada kendaraan umum. Orang harus menyewa sepeda motor RBT (ojek). Ongkosnya Rp 25 ribu sekali jalan.
SUDIRMAN, 58 tahun, masuk ke Seureuke tahun 1982. Dia orang asli Jawa Tengah. Pada 1977 dia ikut program transmigrasi yang sedang digiat-giatkan pemerintah Soeharto. Tujuan program ini menyeimbangkan penyebaran penduduk. Kepadatan penduduk yang terpusat di Jawa harus dipecah ke pulau-pulau lain. Transmigrasi sudah berlangsung di masa kolonial Belanda pada awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pemerintah Hindia Belanda ketika itu memerlukan sumber daya manusia untuk bekerja di perkebunan karet atau tebu milik mereka.
Sudirman memilih Aceh sebagai tujuan, karena beberapa kerabatnya telah menetap di Cot Girek. Di situ umumnya warga transmigran menjadi buruh harian perkebunan tebu. Dia memboyong istri dan seorang anaknya.
Sudirman ternyata cukup betah menjadi buruh di kebun tebu milik PT Perkebunan I, sebuah perusahaan milik pemerintah, yang juga memiliki sebuah pabrik gula di Cot Girek. Waktu itu, pabrik gula Cot Girek menjadi salah satu pemasok gula andalan di Pulau Sumatera.
Entah kenapa, pabrik mengalami krisis, hingga berhenti beroperasi dan ditutup total pada 1984. Ada yang mengatakan mutu gula produksi Cot Girek kurang bagus, karena tanah di situ tak cocok untuk tebu. Pihak PT Perkebunan I kemudian menanam kelapa sawit sebagai gantinya.
Para buruh, yang rata-rata transmigran asal Jawa, jadi kelimpungan. Saat kebun tebu beralih fungsi, mereka pun kehilangan pekerjaan.
Seureuke dibuka sebagai lokasi transmigrasi pada tahun 1981 untuk mengantisipasi hal ini. Warga transmigran yang kehilangan pekerjaan diajak pindah ke Seureuke untuk memulai kehidupan baru. “Rekan-rekan seangkatan saya dari Jawa juga pindah ke sini. Di sini dikasih tanah untuk berladang, dari situlah kami memulai hidup,” kata Sudirman.
Di ladang dua hektar itu dia bertanam palawija. Setelah dua tiga kali panen, ladang tersebut ditanami karet. Tak sampai tiga tahun getah karet mulai bisa disadap.
Dari hasil kebun karetnya, Sudirman bisa memperluas lahannya hingga lima hektar. Sampai sebelum konflik keamanan melanda, seluruh tanaman karet itu menjelang umur produktif. “Tapi satu hektar di antaranya keburu terbakar, dan semuanya mati,” kisahnya.
Waktu itu kebun milik Sudirman baru saja dibersihkan dari rumputan dan semak rendah. Dalam beberapa hari, rumput menjadi kering dan mudah tersulut api. Beberapa kebun di sekitar situ juga baru usai dibersihkan dan ikut musnah dilahap api.
Sudirman tak berani mengusut peristiwa kebakaran itu. Dia curiga kebunnya terbakar akibat konflik. Selama konflik, setidaknya bakar-membakar menjadi peristiwa yang sering dialami warga transmigran asal Jawa.
Pengalaman Wastono tak beda dengan Sudirman. Dia memiliki usaha pembuatan batu bata. Barak pembuatan batu bara miliknya dua kali terbakar, yaitu pada tahun 1999 dan 2004. Saat kebakaran pertama, barak itu masih dikelola ayahnya. Barak dan lio (tanur pembakaran) ukuran 8 x 10 meter persegi tiba-tiba terbakar saat sedang memproduksi batu-bata. Padahal saat itu usaha batu bata keluarganya sedang merangkak maju, dengan kapasitas produksi mencapai 8.000 biji per bulan.
Wastono kemudian membangun kembali barak batu bata di dekat rumahnya di Lorong VII Desa Seureuke. Ukurannya lebih kecil, sekira 5 x 7 meter persegi, dengan produksi 6.000 biji batu bata per bulan. Suatu hari di tahun 2004, lagi-lagi saat batu bata sedang dibakar di dalam lio, tiba-tiba atap barak yang terbuat dari rajutan rumbia tersulut api. “Mungkin apinya berasal dari lio, tapi juga mungkin bukan. Sebab saya tidak melihat langsung darimana sumber api,” ujar Wastono.
Nasib Sudirman dan Wastono masih lebih baik dibanding delapan kepala keluarga (KK) warga Blok A lainnya.
Pada 2000 mendadak muncul sekelompok gerilya. Warga setempat mengenal mereka sebagai gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya pernah terlihat di desa itu.
Mereka mengancam warga agar meninggalkan rumah. Tidak ada yang tahu pasti mengapa mereka mengusir penduduk.
“Pergi kalian dari Aceh!
“Pa’i Jawa!”
“Cuwak! Jangan coba-coba jadi cuwak di sini!”
Pa’i sebutan gerilyawan GAM terhadap polisi dan tentara Indonesia. Kata itu juga sering jadi makian. Cuwak atau mata-mata adalah warga sipil yang menjadi "tenaga bantu operasi" (TBO) polisi dan tentara. Ini istilah militer Indonesia.
“Ini sangat membuat kami cemas, kenapa tiba-tiba ada di antara warga Seureuke yang dicap sebagai cuwak,” kata Sudirman kepada saya.
Lebih-lebih lagi pada saat pengusiran seorang warga dianiaya dengan senjata tajam. Gerilyawan lainnya membakar rumah penduduk. Dalam sekejap delapan unit rumah yang umumnya terbuat dari papan dan atap rumbia musnah dilalap api. Pemiliknya kocar-kacir.
Keesokan harinya empat truk terparkir di tengah desa. Dalam sekejap truk tersebut telah dijubeli penumpang. Iringan kendaraan itu bergerak meninggalkan desa, membawa warga yang hendak mengungsi. Barang-barang dan perbekalan seadanya dibawa serta.
“Selama konflik, 30 persen penduduk Seureuke keluar provinsi. Ada yang ke Sumut, Riau dan sebagian ke Jambi,” kata Geusyik (kepala kampung) Seureuke, Sardilan.
Sebelum dicabik-cabik konflik, menurut Sardilan, warga Desa Seureuke yang bermukim di Blok A, Blok B dan Blok C mencapai 779 KK atau 3.200-an jiwa. Menilik data statistik, jumlah ini terbanyak di antara 22 desa lainnya di Kecamatan Langkahan.
SEBELUM pengusiran terjadi, hubungan warga transmigran Seureuke dengan kelompok gerilyawan cukup baik. Sekalipun sering masuk ke pemukiman, tapi para gerilyawan itu tidak pernah menyakiti penduduk. Mereka tidak mempersoalkan perbedaan etnis, tidak membedakan orang Aceh dengan orang Jawa.
“Saya tidak pernah dimintai pajak nanggroe oleh mereka,” kata Sudirman.
Pajak nanggroe adalah sebutan untuk setoran yang wajib dibayar setiap kepala keluarga untuk GAM. Selama konflik, penduduk hampir di seluruh Aceh wajib menyerahkan setoran ini. Jika tidak, urusan dengan GAM jadi panjang. Salah-salah nyawa bisa melayang.
Namun, lama-kelamaan hubungan penduduk Seureuke dan gerilyawan memburuk. Penduduk yang sering bepergian dari desa kerap dicurigai. Begitu juga orang luar yang datang ke Seureuke.
Ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan Aceh dengan status darurat militer pada Mei 2003, nyaris tak ada orang luar yang masuk ke Seureuke. Sepanjang jalan mulai dari kilometer I lintas Lhoksukon-Cot Girek hingga Seureuke dijaga lebih dari 25 unit pos tentara. Sebagian pos berada di jalan line pipa, sebagai pasukan Pengamanan Proyek Vital ExxonMobil. Pos-pos di sini terkenal angker.
“Pokoknya kalau lewat pos-pos itu dulu pasti dipanggil dan diperiksa. Kalau orang luar, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab,” kata Muda Sakti, sekretaris desa.
Selain itu, penduduk ikut kena getah saat terjadi kontak senjata antara gerilya GAM dan tentara Indonesia.
Karena kerap terperangkap kontak senjata inilah sebanyak 609 KK penduduk di pemukiman transmigrasi Desa Seuneubok Bayu Kecamatan Indra Makmu, Kabupaten Aceh Timur, meninggalkan desa mereka pada 5 Agustus 2003. Lain dengan warga Seureuke yang pergi keluar provinsi, pemukim Seuneubok Bayu cukup pindah ke ibukota kecamatan di Keude Alue Ie Mirah, berjarak delapan kilometer dari desa asal mereka.
Setelah seluruh penduduk pindah, suasana desa ini sunyi senyap. Sesekali adu senapan antara aparat keamanan dan kelompok gerilyawan terdengar nyaring.
Tentara terus melancarkan operasi di desa ini, karena sekitar 40 penduduk desa bergabung dengan gerilyawan. Sebagian berasal dari etnis Jawa.
Setelah dua bulan desa ditinggalkan penghuninya, 85 rumah di Seuneubok Bayu musnah dibakar pada Oktober 2003. “Serasa tidak ada bakal lagi ada kehidupan di Seuneubok Bayu. Siang hari hanya anjing-anjing kebun yang kerap berkeliaran. Malam hari gajah liar ikut mencari makanan di sana. Puluhan rumah rusak digasak hewan berbelalai ini. Juga tanaman sawit, kakao dan pinang, mati karena tak terawat. Sebagian musnah dimakan gajah,” kata Abdul Muthalib, seorang ketua dusun di sana pada saya.
Setelah masa damai datang, penderitaan penduduk Seuneubok Baru belum berakhir. Mereka harus berhadapan dengan dampak tsunami. Hingga Desember 2005, sebagian pengungsi asal Seuneubok Bayu masih bertahan di bawah tenda darurat dan gubuk-gubuk kecil beratap nipah yang mereka bangun sendiri. Mereka sangat sedikit menuai bantuan, baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.
Koordinator Pengungsi, Mu’awiyah Abdurrahman, mengatakan satu-satunya lembaga yang telah masuk ke sana adalah International Committee of Red Cross (ICRC). Itupun hanya menangani masalah sanitasi. Mereka menggali tiga sumur bor serta 10 menyediakan fasilitas Mandi-Cuci-Kakus untuk membantu warga yang telah kembali ke desa.
Setelah perjanjian damai pemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu di Helsinki, Finlandia, warga transmigran Seuneubok Bayu mulai kembali ke desa mereka. Pada pertengahan Januari 2006 jumlah penduduk desa itu sudah mencapai 80 persen.
*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh
No comments:
Post a Comment