Oleh SAMIAJI BINTANG, 800 kata
Sindikasi Pantau
JAKARTA – Kalau orang mengira RUU Aceh hanya untuk kepentingan bangsa Aceh, bersiap-siaplah untuk merasa keliru. Sejumlah daerah di Sulawesi, kepulauan Maluku dan Papua kini mengamati pembahasan RUU Aceh. Soalnya, provinsi-provinsi yang selama ini merasa tertinggal dibandingkan Pulau Jawa, ingin mendapatkan otonomi layaknya Aceh.
Isu ini muncul dalam pembahasan RUU Aceh hari kedua Senin ini. Legislator Andi M. Ghalib dari Partai Persatuan Pembangunan mengatakan, “Kalau Aceh berhasil dengan baik, saya pikir daerah lain punya hak yang sama, terutama daerah di kawasan timur Indonesia.”
Ghalib orang Bugis. Ia pernah jadi jaksa agung zaman Presiden B.J. Habibie, yang ayahnya Gorontalo, ibunya Jawa. Habibie sering dianggap sebagai satu-satunya presiden, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, yang mewakili “Indonesia bagian timur.”
Rapat dengar pendapat Komisi II DPR itu dihadiri pejabat Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, Ketua DPRD Aceh Said Fuad Zakaria, wakil GAM Faisal Putra, dan sejumlah aktivis organisasi nonpemerintah. DPR mulai membahas RUU ini sejak Jumat lalu. Deadline 24 Maret.
Ghalib mengatakan di depan sidang, “Kami akan berjuang keras untuk bisa menggoalkan rancangan undang-undang ini untuk menjadi aturan yang bisa memberi perdamaian dan kesejahteraan rakyat Aceh.”
Dia menekankan “rakyat Aceh agar tidak lagi dibohongi soal perdamaian dan kesejahteraan.”
Orang mungkin terkejut mendengar ucapan Ghalib. Ucapannya memperkuat kecenderungan belakangan ini untuk memanfaatkan perjanjian Helsinki, yang dimotori beberapa politisi Bugis, guna memperkuat posisi tawar daerah-daerah di luar Pulau Jawa.
Singkat kata, Helsinki bukan hanya perundingan antara GAM dengan Indonesia, namun juga upaya politisi Bugis menciptakan ruang gerak lebih besar dalam struktur negara Indonesia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun para pembantunya, Farid Husain dan Hamid Awaluddin, orang Bugis. Farid merintis perjanjian Helsinki dengan kenalannya, Juha Christensen, seorang konsultan Finlandia, yang pernah tinggal lima tahun di Makassar. Hamid memimpin delegasi Indonesia berunding dengan rombongan GAM pimpinan Perdana Menteri Malik Mahmud.
GAM menyatakan dalam deklarasi kemerdekaan mereka pada 4 Desember 1976 bahwa “bangsa Acheh” adalah jajahan “bangsa Jawa.” Mereka berpendapat “bangsa Indonesia” nama samaran “bangsa Jawa.” Mereka mengangkat senjata melawan Indonesia dengan tujuan merdeka. Lebih dari 10,000 orang meninggal sejak tentara-tentara Indonesia menggempur Aceh. Namun tsunami menghantam Aceh pada 26 Desember 2004. GAM bersedia berunding dengan Indonesia di Helsinki.
Hasilnya, Aceh boleh mengatur diri sendiri kecuali enam hal: moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan kebebasan beragama. Enam hal itu adalah wilayah Indonesia. Di luar enam wilayah itu, Aceh boleh mengatur pemerintahan mereka sendiri, dari pendidikan hingga apapun.
Namun keinginan bisa “mengatur diri sendiri” bukannya tidak menyulut kekuatiran politisi lain di Senayan. Permadi Satrio Wiwoho dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai bahwa yang terpenting dalam rancangan undang-undang bukan persoalan seperti nama atau bendera.
"Bendera tidak akan mensejahterakan rakyat,” kata Permadi.
"Bagi kami, PDIP, yang penting adalah terjadi perdamaian di Aceh dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Selain itu, hal-hal politis yang menjadi crucial point dan belum tentu meningkatkan kesejahteraan rakyat, saya kira ditangguhkan dulu.”
Soal bendera, memang cukup panas. Dalam pasal 192 rancangan disebutkan bahwa selain bendera Merah Putih, Aceh dapat menentukan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususannya. Kata lainnya, kelak bendera GAM “bulan sabit merah” teoritis boleh duduk bersanding dengan bendera Indonesia.
Permadi orang Jawa. Pada 1980an, dia dikenal sebagai aktivis lembaga konsumen. Kartu namanya, sering dicetak dengan keterangan, “Penyambung Lidah Bung Karno.” Permadi seorang politikus kawakan yan berjuang bersama partainya sejak zaman otoriter Presiden Soeharto.
Permadi mengatakan PDIP kuatir Aceh akan merdeka lewat undang-undang baru tersebut.“Secara pribadi, saya ini pengagum Soekarno. Suatu kali Bung Karno pernah mengatakan, kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa Aceh Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sutradara Gintings, rekan Permadi, mengatakan “stakeholder” undang-undang ini tidak hanya rakyat Aceh. “Tapi masyarakat di daerah lain. Kita perlu mendengarkan pendapat masyarakat di daerah lain. Sehingga selesai Aceh tidak menimbulkan masalah bagi daerah lain.”
Gintings mempertanyakan istilah “self government” yang beberapa kali dinyatakan dalam rancangan. “Perlu dikaji lebih dulu hingga detail. Jangan ada dusta di antara kita,” ujarnya.
“Tapi memang, daerah yang terbelakang harus diberi wewenang lebih dibanding daerah yang sudah maju.”
Menariknya, wakil GAM Faisal Putra mengatakan GAM akan tetap berada dalam jalur konstitusi Indonesia. “Awalnya kami tidak begitu senang dengan kata ‘Indonesia,’ tapi kami komitmen dengan perjanjian di Helsinki … karena model perdamaian Aceh akan dibawa ke dunia internasional.”
Faisal menekankan jajaran GAM tunduk pada keputusan pemimpin mereka di Stockholm, Swedia. Faisal seorang pengacara dari Lhokseumawe. Ia terlibat perundingan dengan Indonesia sejak upaya Geneva tahun 2001.
Soal model Aceh pasca Helsinki ini sering disinggung dalam rapat-rapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura. Di Manado, Ambon dan Ternate, soal Helsinki juga ditunggu dengan harap-harap cemas. Mereka ingin keberhasilan Aceh bisa menular ke daerah lain. Mereka ingin lebih leluasa mengatur diri sendiri, tidak ditentukan semuanya dari Jakarta.
Saat rapat berakhir, Gubernur Mustafa Abubakar mengajak sidang menyanyikan lagu “Indonesia Raya.”
“Pimpinan, pimpinan! Saya usul yang memimpin Pak Faisal,” teriak Ghalib.
“Kalau dulu ketika menyanyikan Indonesia Raya ada kata, merdeka… merdeka… Lalu orang GAM menyambut dengan, ‘Aceh juga ... Aceh juga …’ kini tidak lagi,” ujar Ghalib.
Faisal menolak. Muhammad Yus, wakil rakyat Aceh dari PPP di Senayan, akhirnya mengajak semua yang berada dalam ruang itu untuk berdiri, menyanyikan lagu “Indonesia Raya.” Faisal ikut berdiri. Menyanyi. “Indonesia… tanah airku .…”
No comments:
Post a Comment