SEMUA ini bermula dari keisengan belaka. Pada Maret 2000, dari sebuah apartemen kecil di dekat Harvard Square, jantung kota Cambridge, Amerika Serikat, saya mengirim sebuah email kepada dua mailing list yang anggota-anggotanya kebanyakan warga Indonesia: wartawan, seniman, dosen, peneliti, dan sebagainya.
Isinya sebuah pertanyaan yang diterangkan dengan agak panjang lebar. Mengapa di Indonesia tak ada surakabar di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?
Pertanyaan itu muncul sejak semester sebelumnya ketika saya mengikuti matakuliah non-fiction writing dalam program Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard. “Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?”
“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Kritisi menanggapi, “Apanya yang baru?”
Maka pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.
Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.
Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang pakai nama "narrative reporting." Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh –tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.
Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.
Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Orang mengandalkan media elektronik. Suratkabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan media cetak. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah. Judulnya “Hiroshima” karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima.
Pada Maret 2000 itu, mingguan The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan majalah tersebut. Banyak orang mengatakan The New Yorker adalah ikon dunia pemikiran di Amerika Serikat. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini.
Di Indonesia, kehidupan pers bebas baru mulai 1998 saat Soeharto ambruk kejeblok. Negara baru ini dibentuk pada 1950-an dengan menghancurkan semua suratkabar “peninggalan” kolonialisme Belanda. Tak ada garis sambung antara media pemula di Hindia Belanda –dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, Adi Negoro, atau J.H. Pangemanann– dan media pascakemerdekaan dengan tokoh macam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Joesoef Isak, Umar Said, serta L.E. Manuhua.
Buntutnya, republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Ia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritanya. Berapa wartawan yang bisa dan biasa menulis lebih dari 15,000 kata dalam satu cerita? Kebanyakan wartawan di negara baru yang didirikan dari Hindia Belanda ini tumbuh hanya dengan batas 1.000 atau 2.000 kata per cerita. Apalagi pada zaman Orde Baru.
Saya menulis bahwa di Indonesia genre ini tak berkembang karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media kecil yang memberikan kesempatan menulis panjang, itu pun kebanyakan esei, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Namun ukuran mereka relatif kecil, bukan media mainstream, dan isinya lebih banyak esei yang kering (kecuali mungkin Intisari), plus catatan kaki, daripada narasi yang bisa dinikmati orang banyak. Apakah jurnalisme sastrawi tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena zaman rezim Presiden Soeharto belum memungkinkan gaya begitu?
“Saya tidak tahu jawabnya secara persis,” kata saya.
Keisengan itu ternyata mendapat reaksi. Dari mailing list penerima beasiswa Fulbright Scholarship, ada jawaban dari tiga mahasiswa Indonesia yang sedang studi lanjut di Amerika: Fadjar I. Thufail, Biranul Anas, dan Wicak Sarosa. Dari mailing list Institut Studi Arus Informasi, saya mendapat jawaban dari Yosep Adi Prasetyo, Alip Kusnandar, Nirwan Dewanto, maupun Atmakusumah Astraatmadja.
Yosep Adi Prasetyo kritis mempertanyakan genre ini, “Saya kuatir penamaan-penamaan jurnalisme ini tak bermakna apa-apa, kecuali hanya ingin menandai serta membedakan karya yang satu dari karya yang lain.” Alip Kusnandar dari Makassar mempertanyakan apa sebenarnya ciri-ciri genre ini? Apa yang membedakannya dari jurnalisme biasa?
Fadjar Thufail mengatakan, “Menurut saya, kuncinya justru terletak pada Anda, atau kawan-kawan di sektor media, untuk mulai bereksperimen dengan segala macam kemungkinan genre penulisan. Saya yakin, sekali ada yang mulai, pasti nantinya kita paling nggak punya satu majalah semacam itu....”
Nirwan Dewanto menulis, “Penerbitan majalah yang bisa menyelenggarakan jurnalisme sastrawi (seperti The New Yorker) memang harus diusahakan atau kita usahakan bersama …. Namun, kalau berpikir tentang pembaca dan pasar, sampeyan pasti gemetar juga untuk membuat majalah ala The New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?” kata Nirwan.
Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, pesimis pada proposal Fadjar Thufail karena genre ini “tidak mungkin” berkembang di Indonesia. Pasalnya? Kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Para pengasuhnya, termasuk wartawan, sangat sedikit jumlahnya.
Astraatmadja memberi contoh. Harian Tifa Papua (Jayapura) hanya diasuh lima wartawan. Ada harian Palu dan Kendari yang hanya diasuh oleh kurang lebih tiga wartawan saja. Jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi. Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta, paling-paling wartawan bertambah menjadi 8.000-10.000. Bandingkan dengan Jerman, misalnya, yang 90.000, termasuk 40.000 wartawan freelance. Jadi ada kekurangan wartawan.
“Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurangnya tenaga wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk lebih memusatkan perhatian pada, misalnya: peliputan penyidikan (investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme baru,” kata Astraatmadja, maka tak mungkin penulisan narasi bisa berkembang di Indonesia.
Debat itu sangat menarik. Ia berjalan hingga dua bulan. Saya puas dengan jawaban-jawaban yang muncul. Kesimpulan diskusi, tak mungkin bikin media dengan narasi di Jakarta. Negeri ini ditakdirkan bernasib malang!
ROBERT VARE seorang lelaki paruh baya. Rambutnya memutih. Dia biasa datang Jumat siang ke Lippmann House, Cambridge, naik mobil sedan warna hijau. Lippmann House adalah rumah petani yang diubah jadi kantor, perpustakaan, dan ruang kelas milik Nieman Foundation di Harvard. Nama Lippmann, tentu saja, diambil dari teoritikus jurnalisme terkenal Walter Lippmann, penulis Public Opinion, buku babon jurnalisme awal abad ke-20. Harvard sengaja menamakan rumah itu untuk menghormati Lippmann.
Robert Vare pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones. Dia mengajar kelas narasi saya. “Kelas” mungkin pengertian yang agak kaku karena kami lebih sering diskusi di ruang yang hangat. Makan. Minum. Ruang kelas, pakai karpet tebal. Penerangan warna kuning hangat. Kursinya macam-macam. Ada sofa, ada kursi Victorian, terkadang malah tiduran. Seringnya, para murid membaca bergantian. Lalu saling memberi komentar. Ketika musim dingin, perapian dinyalakan.
Setiap Jumat, Robert membawa daftar bacaan. Truman Capote. Tom Wolfe. Joan Didion. Jimmy Breslin. Joseph Mitchell. John McPhee. Juga generasi baru. Mark Kramer. Susan Orlean. Andrian Nicole LeBlanc. Joseph Nocera. Mark Singer. Mark Bowden. Kami sampai “mabuk” karena tiap minggu membaca karya demi karya. Hampir semuanya bikin saya tercengang.
Menurut Vare, ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak menulis narasi.
Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.
Jurnalisme sastrawi bukan, bukan, sekali lagi bukan, reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sering orang salah mengerti. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak puitis. John Hersey menulis “Hiroshima” layaknya laporan suratkabar. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.
Saya sering ditanya apakah kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Adjidarma Saksi Mata masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi? Adjidarma cerita soal pembunuhan orang-orang Timor Leste oleh tentara-tentara Indonesia pada November 1991. Ceritanya memukau. Tapi karya itu fiktif. Nama-nama diganti. Tempat tak disebutkan jelas. Adjidarma membuat cerita fiksi justru karena dia tak bisa menuliskan fakta. Harap maklum, rezim Soeharto dengan anjing-anjing penjaganya melarang media bercerita bebas soal pembantaian Santa Cruz 1991.
Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat bikin narasi, Anda sebaiknya pikir berapa besar sengketa yang ada?
Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antarkelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap, cendekiawan Papua, mengembangkan kesenian dan nasionalisme Papua berbuntut ketegangan dengan tentara Komando Pasukan Khusus dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati. Banyak sekali cerita di Republik Indonesia yang mengandung sengketa. Dari Sabang sampai Merauke, isinya banyak berdarah.
Namun sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering jadi sengketa. Pendek kata, konflik unsur penting dalam narasi. Dalam fiksi, seluruh cerita terkenal dibangun di atas gugusan konflik. Bahkan lapis-lapis konflik. Tanpa elemen konflik, orang tak akan membaca Harry Potter, bahkan kisah Cinderella atau Putri Tidur dan Tujuh Kurcaci.
Ketiga, karakter. Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian menarik. Tak datar dan tak menyerah dengan mudah.
Pada 15 November 1958, di kota kecil Holcomb, Kansas, terjadi pembunuhan terhadap bapak, ibu, dan dua anak keluarga Clutter. Ini keluarga petani. Mereka ditembak dengan senapan laras pendek. Jaraknya, dekat dengan wajah mereka.
Wartawan The New Yorker Truman Capote mengikuti kasus ini selama enam tahun hingga pemuda Richard Hickock dan Perry Smith ditemukan polisi, diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum gantung karena kasus tersebut. Maka Capote pun menerbitkan serial In Cold Blood di majalah The New Yorker. Dick dan Perry adalah karakter dalam cerita Capote.
Keempat, akses. Anda seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.
Capote mengikuti kasus Dick dan Perry selama lima tahun, empat bulan, dan 28 hari. Capote menyaksikan penangkapan mereka. Pemeriksaan. Pengadilan. Hukuman. Capote juga menyaksikan ketika Dick dan Perry dihukum gantung. Serial itu dibukukan dan difilmkan. Capote punya akses yang luar biasa terhadap keduanya.
Kelima, emosi. Ia bisa rasa cinta. Bisa pengkhianatan. Bisa kebencian. Kesetiaan. Kekaguman. Sikap menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita Anda hidup. Emosi juga bisa bolak-balik. Mulanya cinta lalu benci. Mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan pemikiran. Capote menangkap emosi Dick dan Perry.
Di Indonesia, saya kira tidak susah mencari karakter dengan emosi. Mulai drama perlawanan orang-orang Acheh terhadap Jakarta hingga gerakan kemerdekaan di Timor Leste. Mulai diskriminasi terhadap orang Tionghoa –disuruh meninggalkan identitasnya, agamanya, namanya, dan dipaksa “berasimilasi”– hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang Madura di Kalimantan.
Keenam, perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Narasi macam video. Feature macam potret. Sekali jepret.
Vare menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik bagaimana agar pembaca tak bingung? Teknik-teknik ini diajarkan dan didiskusikan bersama selama setahun di ruang kelas yang hangat itu. Saya sangat menikmati masa dua semester bersama Vare.
Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. Cerita kehamilan bisa dibuat dalam sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun, dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang melahirkan.
Ketujuh, unsur kebaruan. Tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey mewawancarai dua dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, seorang penjahit, dan seorang pastor Jerman untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.
Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu cerita termasyhur dalam sejarah jurnalisme Amerika.
Pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli sejarah, wartawan, penulis, dan akademisi untuk memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat pada abad ke-20. Hasilnya, “Hiroshima” menduduki tempat nomor satu.
PADA Agustus 2000, saya kembali ke Jakarta dan mendapat kesempatan menyunting majalah Pantau –sebuah bulanan terbitan Institut Studi Arus Informasi yang isinya melulu soal media dan jurnalisme. Tujuannya, memantau perilaku media dan wartawan di kawasan ini. Alasannya, Presiden Soeharto ambruk kejeblok. Demokratisasi mulai maju jalan. Kebebasan media juga maju jalan. Harus ada orang media yang mengawasi media. Jangan orang pemerintah yang mengawasi media.
Debat itu pun membuat saya terdorong menyisihkan halaman dan dana majalah Pantau untuk reportase panjang. Kami minta bantuan Suzanne Siskel dari Ford Foundation serta Novalina Kusdarman dari United States Agency for International Development (USAID) untuk membantu pendanaan Pantau. Siskel berbaik hati dengan memberikan US$200,000 kepada Pantau. Kami juga dapat bantuan $60,000 dari Partnership for Governance Reform in Indonesia.
Maka pada Desember 2000-Februari 2001, majalah ini disiapkan dengan kebijakan baru. Ia misalnya melakukan sistem freelance di mana wartawan yang menulis untuk Pantau hampir semuanya bekerja secara freelance.
Kami juga memakai byline serta firewall –sesuatu yang asing dalam dunia persuratkabaran Indonesia walau sudah berjalan sekitar 100 tahun dalam praktik di banyak negara lain. Byline adalah penyebutan nama si penulis cerita pada awal suatu laporan jurnalistik (bedakan dari tagline di mana diletakkan nama-nama kontributor laporan). Firewall adalah garis tipis yang dicetak di antara semua iklan dan semua berita sebagai simbol bahwa iklan dan berita tak boleh dibuat samar.
Lima tahun sebelumnya, saya bekerja untuk harian The Nation di Bangkok. Saya mulai sadar bahwa standar jurnalisme Thailand beda dari di sini. Mereka pakai byline, pakai firewall, menugaskan wartawan jadi kolumnis, meliput media secara independen, dan sebagainya.
Di Jakarta, masih banyak alasan untuk menjadikan wartawan tidak accountable kepada publik. Byline sebagai wujud akuntabilitas wartawan, tidak dipakai. Iklan campur aduk dengan muatan redaksional (disebut advertorial, gabungan kata “advertisement” dan “editorial”) dan wartawan lebih dianggap kuli daripada orang kreatif.
Saya juga ingin ikut meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia. Ini juga kesempatan memperkenalkan jurnalisme sastrawi ke kawasan ini. Tanpa sadar, saya ternyata menjawab debat dengan Atmakusumah Astraatmadja, Nirwan Dewanto, dan lainnya dengan menciptakan sebuah majalah dengan narasi sebagai tulang punggungnya. Bisa gagal, bisa berhasil.
Maka laporan demi laporan muncul sejak Maret 2001. Liputan media. Adegan. Karakter. Byline. Pagar api. Kami mulai meliput media hingga jurnalisme. Saya tak membesar-besarkan kalau mengatakan bahwa kami memperkenalkan kali pertama liputan media yang independen terhadap media lain dalam sejarah jurnalisme di kawasan ini –sejak zaman suratkabar pertama Batavia Nouvelles terbitan 1745 di kota Batavia.
M. Said Budairy jadi ombudsman. Dia berhak memeriksa semua catatan wartawan bila ada keluhan terhadap Pantau. Budairy memantau si pemantau. Di Indonesia, memang belum ada praktik media memantau media lain. Pantau melakukannya. Maka ia pun harus mengadakan sistem agar dirinya juga dipantau. Tiap bulan Budairy menulis laporannya di halaman Pantau.
Honor laporan ditetapkan Rp 400 per kata. Ini tergolong tinggi untuk ukuran kantong kami. Ternyata ia juga tinggi untuk ukuran Jakarta.
Wisnu Tri Hanggoro dari Lembaga Studi Pers dan Informasi, Semarang, menulis di harian Suara Merdeka bahwa kami menghargai wartawan dengan “honorarium yang cukup tinggi untuk terbitan di Indonesia.”
“Begitu juga gambar-gambar kartun … atau foto-foto yang menghiasi beberapa halaman Pantau, bayaran yang diterima para kontributornya barangkali bisa dikatakan tertinggi dibanding yang pernah mereka terima dari media lain,” kata Wisnu.
Kami berpendapat wartawan harus dibayar layak. Kami tahu betapa banyak wartawan di Indonesia yang menerima amplop. Moral mereka rusak. Amplop sering diakibatkan gaji yang tak layak. Gaji mereka tak cukup. Maka amplop dan saudara-saudaranya sering dihalalkan. Tapi saya juga berpendapat gaji kecil bukan pembenaran terhadap korupsi.
Ide bertutur ini menarik perhatian Janet Steele, seorang dosen matakuliah narasi di Universitas George Washington. Steele usul Pantau bikin kursus menulis narasi. Kami suka ide itu. Pada Juli 2001, kursus ini diadakan kali pertama.
Steele menyusun silabus yang diadaptasi dari kelas serupa ampuannya di Washington DC. Sambutan baik. Janet mengajar bersama saya. Masing-masing seminggu. Kursus itu dijalan mulanya setahun sekali, lalu jadi satu semester sekali.
Tapi manajemen majalah ini ternyata tak setangguh ruang redaksinya. Ia berhasil menarik pelanggan hingga hampir 1.000 orang per bulan. Ia dicetak 3.000 eksemplar tiap bulan. Hingga pertengahan 2002, sekitar 2.000-2.500 terjual dan beberapa edisi malah habis. Ia juga menerima sponsor. Tapi itu baru menutup sekitar 40 persen biaya operasi yang rata-rata Rp 110 juta per bulan. Susah memang. Saya terkadang merasa tertekan.
Pada 11 Februari 2003, Institut Studi Arus Informasi mengumumkan penutupan Pantau karena masalah keuangan. “Saya berat sekali. Majalah ini majalah yang bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup dari perdagangan, harus disubsidi dan itu yang kita tak punya," kata Goenawan Mohamad, ketua Yayasan Institut Studi Arus Informasi.
Kami semua tercekat. Saya sedih tapi saya juga sadar kesulitan manajemen. Wisnu Tri Hanggoro, yang mengenal Pantau cukup dekat, mengatakan, “Yang tampaknya luput dari penanganan manajemen Pantau adalah faktor pemasaran majalah ini. Di dalam marketing theory, betapa pun tinggi kualitas suatu produk, bila tidak didukung kiat-kiat pemasaran yang jitu, secara tak terelakkan produk tersebut akan memenuhi gudang atau tempat-tempat penyimpanan barang, yang dalam perkembangannya justru akan menuntut biaya tambahan.”
Faktor pemasaran ini pula yang coba diperbaiki ketika sejumlah kontributor berusaha menghidupkan kembali majalah Pantau. Tidak lagi diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi tapi oleh Yayasan Pantau yang didirikan khusus demi tujuan memajukan jurnalisme di Indonesia. Titik lemah ini ternyata tak mampu juga ditangani dengan baik. Kami bahkan mengulang kesedihan yang sama. Pantau hanya mampu hadir dengan tiga edisi karena pemasaran yang buruk dan investor, yang dulu bilang tertarik menanamkan modalnya, ternyata tarik diri hanya dengan kata “minta maaf.” Atmakusumah benar. Media dengan genre ini sulit berkembang di Indonesia.
CHIK RINI seorang wartawan Banda Aceh. Dia bekerja untuk harian Analisa, Medan. Almarhum ayahnya, juga mantan wartawan Analisa. Rini orangnya agak pendiam. Dia berkerudung rapat yang terkadang disetel dengan blue jeans berkantong samping, macam celana naik gunung. Dia tak pakai kata “saya” atau “aku.” Ia mengacu dirinya sendiri dengan kata “Rini” –sehingga terkesan agak kekanak-kanakan tapi metode kerjanya sebagai wartawan tak diragukan lagi.
Suatu hari, dia datang ke Jakarta untuk mengobrol dan tukar pendapat. Dia terkesan pada naskah “Hiroshima” karya John Hersey. Kesan itulah yang mendorong Chik Rini mencari suatu isu yang bisa dituangkannya sebagai karya Herseyian. Maka Rini pun menggali pembunuhan orang-orang Acheh oleh tentara Indonesia di Simpang Kraft. Saya kagum pada karya tersebut.
Delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil kerja majalah Pantau antara 2001 dan 2004. Chik Rini salah satu dari delapan. Sisanya, Agus Sopian, Alfian Hamzah, Budi Setiyono, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, Linda Christanty, dan saya. Namun kami tak mau menyebutnya sebagai versi Indonesia dari jurnalisme sastrawi.
Kami tahu diri. Karya-karya ini belum layak disandingkan dengan karya legendaris John Hersey atau Truman Capote. Ini hanya percobaan. Mulai cerita Alfian Hamzah soal tentara-tentara Indonesia di Aceh hingga cerita Agus Sopian soal seorang warga Malaysia yang mengebom Atrium Senen –satu pusat belanja di Jakarta. Semuanya adalah karya coba-coba. Ada juga karya Budi Setiyono soal band Koes Bersaudara. Atau Linda Christanty yang menghidupkan kembali cerita seorang pemulung yang mati dibakar warga Jakarta.
Ada yang memuji. Ada yang mencela. Nani Afrida, koresponden The Jakarta Post di Banda Aceh, mengatakan bahwa karya Alfian “bagus” karena wartawan Acheh tak mungkin bisa mewawancarai tentara Indonesia sedalam Alfian.
Hasballah Saad, orang Aceh yang pernah jadi menteri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, mengatakan dia terpingkal-pingkal membaca “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan.”
Rini sengaja meniru struktur John Hersey. Linda “menghidupkan kembali” Kebo dengan menelusuri riwayat hidup pemuda itu. Dari desa hingga kematiannya di sebuah sudut panas kota Jakarta. Budi dan saya mencoba flask back.
Semua karya ini dipilih ramai-ramai lewat mailing list kami. Bukan pekerjaan mudah. Ada debat kiri dan kanan. Chik Rini punya karya lain soal kematian Panglima Gerakan Acheh Merdeka Teungku Abdullah Syafi'ie pada 22 Januari 2002. Naskah ini tak kalah bagus dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”
Intinya, kami mencari naskah yang isinya benar serta mencoba secara sadar meniru apa yang diajarkan Robert Vare. “Benar” bukan kriteria yang gampang. Minimal, kami mengukurnya dari reaksi publik. Di luar kedelapan naskah ini juga masih banyak karya Pantau yang layak dijadikan bahan diskusi.
Pertimbangan lain adalah komposisi. Budi Setiyono dan saya memilih isi cerita yang beragam, dari cerita soal wartawan, juga Acheh, juga terorisme, juga Ambon. Kami menyusunnya agar ia enak dibaca. Langsung maupun sendiri-sendiri.
Kami hanya mau belajar dari Tom Wolfe. Siapa proses belajar ini bisa berguna untuk wartawan atau penulis lain? Atmakusumah Astraatmadja menyebutnya, “Ini karya ibarat kawan lama datang bercerita.”
Pada 2004, John Dugdale dari harian Guardian menulis bahwa “jurnalisme baru” Tom Wolfe, “… lies behind much contemporary newspaper and magazine writing, from profiles to political reporting, and not just (as is often assumed) style journalism” (ia mempengaruhi kebanyakan penulisan suratkabar dan majalah belakangan ini, dari penulisan profil hingga reportase politik, dan bukan hanya (seperti banyak diasumsikan orang) pada jurnalisme yang bergaya.”
Tom Wolfe mungkin tak mengira bahwa gerakan pada 1970-an itu juga ditiru di Jakarta pada 2001-2004.
Jakarta, Januari 2006
2 comments:
Mas Andreas,
Ini pengantar buku antologi jurnalisme sastrawi kan? Kok sedikit berbeda ya.
Ikram,
Anda benar ia sedikit berbeda, lebih pendek, karena saya tidak menemukan file yang final. Pada kata pengantar buku "Jurnalisme Sastrawi," saya menambahkan bagian ending lebih panjang.
Namun kalau file tersebut saya temukan, saya akan upload ke situs ini. Saya kira ia lebih baik dari versi yang lebih pendek ini. Terima kasih.
Post a Comment