Oleh Linda Christanty
Sindikasi Pantau
Di warung tepi pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, saya duduk dekat sekelompok tentara. Mereka tengah mengaso. Seragam hijau loreng, senapan M16, rambut cepak. Mereka, para prajurit itu, menghirup kopi panas, mengunyah kacang goreng. Mereka tak banyak bicara. Mata tetap awas, meski gaya santai. Sepucuk M16 yang tersandar di dinding dekat pintu, menarik perhatian saya. Cahaya matahari dari luar menajamkan bentuknya. Hitam berkilap.
Mohamad Iqbal, fotografer dari Jakarta, mengajak saya ke Ulee Lheue sore itu. “Dulu pantai yang banyak dikunjungi,” katanya, membujuk. Semula kami hendak makan durian di Penayong, tapi berbelok ke Ulee Lheue. Kami mencegat becak mesin. Angkutan ini perpaduan becak dan kereta—sebutan orang Aceh untuk sepeda motor. Tarif Rp 15 ribu sekali jalan. Jarak tempuh setengah jam dari Simpang Lima. Gerimis mengiringi kami berangkat. Hujan deras menghantam di tengah jalan. Tapi di Ulee Lheue hujan kembali jadi gerimis.
Saya memotret apa saja. Pantai. Pelancong. Runtuhan jembatan. Tiang dermaga. Bekas sumur warga. Mercusuar. Kapal-kapal sandar. Menurut Iqbal, saya punya bakat memotret. Secara naluriah, saya tahu framing dan komposisi, katanya. Senang juga dianggap begitu. Dan kali ini saya ingin membidik tentara. “Boleh dipotret?” Mereka serempak menjawab, “Boleh, boleh…” Ada senyum. Ada tawa. Klik. Klik.
“Kalian seperti tumpukan daun, hijau semua!” seru saya, sambil terus melihat layar Nikon otomatis.
“Kakak menghina!”
“Masa’ kami dibilang daun?”
“Untuk dimuat di mana?”
“Di media mana?”
“Kak, saya mau dipotret berdua kakak, boleh?” celetuk seorang dari mereka. Ia langsung menghampiri saya, duduk bersisian. “Kak, boleh dipeluk sedikit ya?” pintanya. Saya mengangguk. Ia senang, lalu merangkul. Iqbal memotret kami. Klik. Prajurit itu berasal dari Maluku. “Untuk kenang-kenangan, kak.” Wajahnya cekung. Kulitnya gelap.
“Kalau saya dari Semarang,” ujar yang lain. “Tentara itu ‘kan multi etnis.” Nama prajurit yang bicara ini H. Christ. Tak jelas kepanjangan H maupun Christ. Saya jadi teringat tulisan orang tentang akronimisasi atau penyingkatan istilah di masa Suharto. Tindakan ini merusak kekayaan bahasa. Tentara dianggap pihak yang paling gencar membuat singkatan.
Mungkin H. Christ pemimpin kelompok prajurit ini. Ia kerap mengeluarkan uang dari dompet, membayari makan minum teman-temannya.
Sudah sepuluh bulan mereka di Aceh, tergabung dalam Yonif 400/Raider. Ini nama baru Yonif 401/Banteng Raider yang dibekukan dua tahun lalu. Markas batalyon tersebut di Semarang, Jawa Tengah.
Iqbal terkenang Alfian Hamzah yang dulu meliput tentara perang di Aceh untuk majalah Pantau. Alfian ikut serta saat pasukan menyergap orang-orang Gerakan Acheh Merdeka (GAM) atau menembak mereka.
“Nggak mungkin. Wartawan nggak boleh sampai ikut operasi,” kilah sang pemimpin. Alfian memang nekad, batin saya.
Mereka menamakan diri tentara plus. “Kami dididik Kopassus (Komando Pasukan Khusus),” celotehnya, bangga.
“Besok kami pulang. Kami inilah batalyon terakhir. Habis masa tugas. Sudah damai sekarang. Biar kita serahkan pada kawan di sini. Iya’ kan? Nanti kalau raportnya baik, kami nggak kembali. Kalau buruk, ya terpaksa ke sini lagi.” Kawan yang dimaksud adalah GAM.
Ia kemudian menanyakan kerja Iqbal, “Wartawan ya? Banyak ya, Mas, wartawan yang mati dalam konflik?”
Iqbal tak menjawab, sibuk menghisap rokok. Mungkin, ia waswas berdebat soal pelanggaran hak asasi dengan prajurit bersenjata. Tentara paling banyak melakukan tindak kekerasan di Indonesia. Menghajar mahasiswa. Menembak petani atau buruh. Memperkosa perempuan atau ibu-ibu. Menembak orang tua, anak-anak, dan bayi. Merampas harta-benda penduduk di zona konflik.
“Tapi tentara dan wartawan punya persamaan, sama-sama langganan sakit tipus dan lever,” kata si prajurit, tergelak.
Besok, 26 Desember 2005, peringatan 1 tahun tsunami akan berlangsung di Ulee Lheue. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal datang. Pengamanan sekitar lokasi sudah dimulai. Para prajurit ini ambil bagian.
Ulee Lheue termasuk daerah paling parah kena tsunami. Dari 2000 penduduk desa tinggal 350 orang yang hidup. “Dulu di sini pemukiman padat. Sekarang jadi laut,” kisah Nani Afrida, redaktur Ceureumen, tabloid dua mingguan yang berbasis di Banda Aceh. Ceureumen didanai Decentralization Support Facility, sebuah lembaga pendukung desentralisasi Aceh. Ketika itu ia dan temannya, Hotli Simanjuntak, fotografer paruh waktu, mengantar saya melihat-lihat Ulee Lheue di awal bulan.
Tak berapa lama para prajurit pun pamit. Si Maluku menyalami saya, “Kak, pamit dulu ya, mau istirahat.” Saya tak sempat mengetahui namanya.
“Jangan lupa ke 400 kalau ke Semarang nanti, cari saja saya pasti ketemu,” ujar Anjar, yang posturnya lebih mirip remaja belasan ketimbang tentara. Ia dari etnik Jawa. Saya berkali-kali memergokinya menatap saya.
“Mungkin melihat kamu dia ingat seseorang. Mungkin ingat anaknya. Jangan-jangan setelah perang ini mereka malah mempertanyakan kenapa harus ada perang, merasa sia-sia jadi tentara,” kata Iqbal, mirip psikolog.
Hujan tiba-tiba menderas di Ulee Lheue. Pikiran saya masih tertuju pada tentara.
Pada 31 Desember ini 14.700 prajurit non organik sudah harus mundur dari Aceh. Aceh Monitoring Mission atau disingkat AMM bebas tugas pada Maret 2006. AMM memantau proses perdamaian di Aceh. Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal Supiadin, menegaskan tugas AMM tak usah diperpandang. Padahal GAM ingin AMM aktif sampai Juni 2006.
Tiba-tiba Kuntoro Mangkusubroto, kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepulauan Nias, ingin mendatangkan 10 ribu prajurit untuk membantu rekonstruksi Aceh. Gagasan Mangkusubroto menimbulkan pro dan kontra. Sebagian orang cemas kalau kehadiran mereka dibonceng agenda politik. Bisa-bisa Aceh bergolak lagi seperti dulu.
Namun, Tjipta Lesmana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Pelita Harapan menyebut TNI atau Tentara Nasional Indonesia memang punya tanggung jawab politik. “Artinya, kalau masalah NKRI ini terserempet, kalau integritas negara ini dirasakan terancam, di sana TNI diundang atau tidak, harus masuk, harus intervensi,” kata Lesmana dalam sebuah wawancara di Radio Nederland. Wah… Tampaknya jalan menuju damai belum mulus benar.
No comments:
Post a Comment