Pada 1 Agustus 2005, harian Bisnis Indonesia di Jakarta melakukan perubahan. Ia mengubah ukurannya jadi lebih kecil. Disain juga berubah. Ia juga mencantumkan byline (nama penulis), tagline (nama kontributor) dan alamat email penulis berita. Sebulan sebelumnya, harian Kompas dan Sinar Harapan juga bikin perubahan walau detail tak sama.
Linda Tangdialla, redaktur pelaksana Bisnis, minta saya bikin analisis, tapi saya juga ingin tahu bagaimana para awak Bisnis menilai perubahan pada diri mereka. Perubahan ini relatif besar untuk ukuran suratkabar dari Banda Aceh sampai Merauke (Sabang belum punya suratkabar). Mereka kebanyakan tak pakai byline apalagi mencantumkan email sehingga analisis ini juga bisa jadi pegangan suratkabar lain yang ingin pakai byline.
Caranya? Saya bikin survei terhadap wartawan Bisnis. Sample diambil dari wartawan yang karyanya jadi headline halaman satu pada bulan Agustus. Tidak setiap hari tapi pada tanggal 1, 6, 11, 16, 21, 26 dan 31 Agustus.
Hasilnya, ada enam wartawan yang namanya jadi byline serta 12 orang dalam tagline dari total wartawan 80 orang. Ada 17 orang yang mengembalikan kuesioner. Ada seorang redaktur pelaksana namun juga banyak reporter. Jumlah laki dan perempuan juga kurang lebih mencerminkan perbandingan jenis kelamin di ruang redaksi Bisnis.
Saya sudah mengecek daftar pertanyaan survei dengan Eriyanto dari Lembaga Survei Indonesia. Semuanya memenuhi syarat. Artinya, survei ini bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Eriyanto seorang kenalan lama saya. Ia menulis buku Metodologi Polling: Memberdayakan Suara Rakyat.
Mungkin ada yang bertanya tidakkah sebulan tak cukup panjang untuk melihat perubahan ini? Saya kira sebulan memang terlalu pendek namun analisis ini justru dilakukan untuk mencatat reaksi paling awal terhadap perubahan tersebut. Ia kelak bisa jadi bahan bandingan dengan masa depan.
Mayoritas responden mengatakan Bisnis jadi lebih praktis (88 persen). Separuh lebih menilai perubahan disain lebih enak dibaca (10 responden atau 58 persen). Lima orang mengatakan “sama saja” (29 persen). Namun tak ada satu pun yang mengatakan disain Bisnis jadi makin kurang enak dibaca. Jadi secara umum mereka berpendapat perubahan ini baik.
Mereka juga mengatakan naskah jadi lebih pendek (76 persen) dan 12 persen mengatakan panjang naskah sama (2 orang). Saya duga, pengalaman setiap orang memang berbeda-beda. Mungkin ada yang tetap merasa tulisannya sama panjang. Saya sendiri berpendapat ruang naskah jadi lebih pendek –sesuatu yang kurang baik untuk keperluan membuat naskah yang lebih analitis.
Soal byline, separuh responden bilang pencantuman nama mereka tak mengubah cara kerja redaksi. Hanya 37.5 persen (6 orang) berpendapat dimuatnya nama wartawan dalam setiap berita membuat cara bekerja ikut berubah.
Saya agak ragu terhadap jawaban ini. Mungkin saja suasana kerja dan mekanisme redaksi --dari perencanaan liputan ke rapat redaksi, lalu reportase, editing hingga produksi—tak mengalami perubahan namun secara substansial mulai terjadi perubahan cara wartawan memandang bagaimana mereka bekerja.
Buktinya? Ketika saya tanya apakah mereka menerima komentar setelah pencantuman byline dan email? Mayoritas atau 82 persen menjawab “ya.”
Siapa yang mengirim komentar? Pembaca (35 persen) dan nara sumber (35 persen). Logikanya, pembaca maupun nara sumber lebih sulit memberikan komentar bila sebuah laporan cuma diberi kode. Coba deh Anda membayangkan siapa nama orang dibalik kode “M-02”? Tapi Anda lebih mudah membayangkan siapa di belakang sebuah laporan bila ia diberi nama “Anugerah Perkasa.”
Jumlah komentar yang masuk –lewat SMS, telepon, email maupun pertemuan langsung—juga beragam. Dua responden mengatakan “lupa jumlahnya.” Lima responden mengatakan dapat feedback dua sampai empat kali dalam sebulan. Ada juga yang dapat feedback hingga 10 kali dalam bulan Agustus. Sebagai sesama wartawan, saya bisa merasakan, betapa senangnya bila kita dapat reaksi dari pembaca. Bahkan seorang responden bilang ia dapat feedback “lebih dari 10 kali.” Ini jumlah yang besar.
Reporter Fahmi Achmad menulis, “Ada sumber yang memberi komentar dengan menelepon langsung paginya tapi ada juga beberapa praktisiyang mengirim email, sekedar kenalan atau memberi apresiasi terhadap tulisan.”
Kebanyakan komentar disalurkan lewat email (29.4 persen) namun juga banyak yang lewat telepon (24 persen), SMS (24 persen) dan pertemuan langsung (24 persen). Saya duga, komentar via SMS datang dari orang yang kenal si wartawan karena ia tahu nomor telepon seluer yang bersangkutan. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara Bisnis Indonesia dan komunitas pembaca dan sumbernya jadi lebih tinggi. Ini gejala positif ketika televisi dan internet sudah menyerbu pasar media. Suratkabar bisa bertahan bila ia ikut mengubah diri, dari sekedar sebuah organisasi suratkabar (yang komunikasi searah) menjadi sebuah organisasi media (yang bisa interaktif).
Tapi apa sih isi dari feedback itu? Jangan-jangan caci maki? Jangan-jangan cuma basa-basi? Ternyata responden saya memberikan jawaban yang beragam. Jumlah tertinggi berupa kritik (25 persen). Sisanya berupa pujian (17 persen), basa-basi (12.5 persen), minta data tambahan, ajakan diskusi, saran dan sebagainya.
“Satu telepon dari PT Taspen dan langsung ditindaklanjuti dengan permintaan wawancara khusus, empat SMS dari praktisi asuransi serta dua telepon langsung dari praktisi multifinance,” jawab Fahmi Achmad.
Bagaimana reaksi wartawan terhadap email atau telepon masuk? Apakah mereka suka kritik? Apakah mereka suka menerima saran? Jawabannya, 62.5 persen menyatakan “suka” dengan komentar apapun dari pembaca mereka. Namun 25 persen menyatakan “biasa saja.”
Pencantuman email dan masuknya komentar-komentar ini membuat 41 persen responden lebih berhati-hati dalam bekerja. Mereka juga bilang email bikin wartawan lebih komunikatif (24 persen). Tapi ada juga yang bilang email dan komentar ini “menambah kerjaan” (6 persen). Saya kira semua jawaban ini benar, lagi-lagi, tergantung dari mana kita melihatnya. Wartawan memang tertambah beban kerjanya –dengan membaca dan mungkin membalas email—namun ia juga lebih berhati-hati karena nama dan emailnya terpampang jelas di setiap berita.
Dulu identitas dan saluran komunikasi wartawan tak dibiarkan terbuka sehingga masukan untuk wartawan cenderung hanya lewat satu pintu: sekretaris redaksi atau pemimpin redaksi. Kini saluran dibuka. Identitas dibuka. Wartawan memang “tambah kerjaan” tapi sekaligus bekerja lebih “berhati-hati” dan “komunikatif.”
Memang salah satu alasan pencantuman byline adalah akuntabilitas wartawan. Dalam bahasa Inggris, byline berasal dari kata "by" (oleh) dan "line" (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita dimana terdapat nama orang yang menulis cerita itu. Menurut kamus Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, kata ini masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Inggris pada 1938.
Byline dipakai pertama kali pada 1850-an oleh Charles S. Taylor, publisher harian The Boston Globe. Inovasi itu membuat wartawan-wartawannya lebih berhati-hati bekerja. Ketika itu, sama dengan suratkabar-suratkabar Indonesia hari ini, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan. Inovasi Taylor perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain di Amerika Serikat.
Ketika saya tanya pada responden, bagaimana mereka menilai pencantuman byline? Saya agak senang bahwa lebih dari separuh menjawab memang mereka jadi lebih accountable (53 persen) tapi 41 persen menjawab “sama saja, dulu juga accountable.” Saya kira yang 41 persen ini akan segera mengerti bahwa suratkabar dan cara kerja mereka sedang mengalami perubahan besar.
Akhir kata, saya menanyakan apa yang perlu diperbaiki dari perubahan ini? Jawabannya riuh rendah. Ada yang bilang editor cenderung mengambil kredit penulisan. Ada yang protes, “Tidak ada yang berubah! Pola reportase masih ‘katanya,’ ‘katanya’ dan lain-lain. Investigasi, pendalaman data, riset amat terbatas.”
Istilah “katanya” mengacu pada kebiasaan wartawan yang menulis hanya bersumber dari omongan orang. Bukan pengamatan langsung. Biasanya omongan pejabat atau pemimpin perusahaan. Katanya ini anu, katanya itu anu. Ini kebiasaan buruk. Ia tidak disukai wartawan. Kebiasaan ini tampaknya juga belum hilang dari Bisnis.
Mereka juga mengkritik makin pendeknya tempat untuk penulisan berita. Mereka juga kurang puas dengan editor yang kurang memberi tempat pada analisis. Ada juga yang mengeluh soal disain –agak kuno. Saya juga melihat pola penugasan yang kaku. Banyak reporter mengeluh karena harus meliput beat (tempat penugasan) tanpa henti sehingga tak ada waktu untuk membaca buku dan bikin analisis.
Mungkin Bisnis bisa belajar dari The Jakarta Post –suratkabar pelopor byline di Indonesia sejak 1 Oktober 2001-- yang senantiasa mendahulukan feature di halaman depan mereka. Kalau sidang redaksi Bisnis sepakat dengan satu feature setiap hari di halaman depan, mungkin keinginan para wartawan ini bisa ditampung.
Secara umum, saya memang menangkap, para wartawan ini berharap Bisnis Indonesia lebih menghasilkan laporan-laporan yang lebih mendalam, lebih analitis, lebih lengkap, lebih akurat, prosedur kerja lebih berimbang, dan menariknya, “tetap rendah hati.” Saya kira harapan ini indah sekali. Tampil lebih baik namun tetap rendah hati. Amin.
Andreas Harsono adalah ketua Yayasan Pantau, ikut mempersiapkan Bisnis Indonesia melewati perubahan dengan serangkaian pelatihan April-Juli 2005.
-- Bisnis Indonesia, 14 Desember 2005
4 comments:
Setelah Bisnis Indonesia, koran mana lagi yang layak byline? media Palmerah di luar JP atau Rakyat Merdeka?
Please deh....
''KOMPAS'' memang sudah mulai menerapkan by line, sejak berubah format. Tapi sering tak konsisten. Berita headline kadang pakai by line, kadang kembali ke bentuk awal cuma kode wartawan saja. Bagaimana tanggapan Bang Andreas?
Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post, sesaat sesudah perubahan Kompas 28 Juni lalu, Suryopratomo mengatakan bahwa byline dipakai Kompas bila naskah tergolong baik, feature atau analisis. Suryopratomo adalah pemimpin redaksi harian Kompas.
Mungkin ini sumber dari inkonsistensi Kompas. Suryopratomo masih berpikir dengan paradigma lama. Byline hanya diberikan kepada naskah yang baik. Artinya, byline diberikan sebagai "reward" atau "pahala."
Padahal, teori dan sejarah byline sejak 1850-an mengatakan ia diberikan sebagai masalah "accountability." Ia bukan pahala. Ia adalah keharusan agar wartawan jadi accountable.
Suryopratomo, saya kira, keliru menafsirkan byline sebagai pahala. Kekeliruan ini jamak terjadi pada banyak redaktur.
Ekstrimnya, byline diberikan justru agar wartawan yang menulis dengan buruk bisa diketahui identitasnya! Bukan yang menulis baik saja yang perlu diketahui identitasnya.
MODEL BARU BISNIS DI INDONESIA PENTING UNTUK PERUSAHAAN2 YANG BERGERAK DALAM BIDANG CSR ( CORPORATE SOCIAL RESPOSIBILITY
Post a Comment