PAGI INI aku naik ojek dari guest house Mitra Karya, belakang kedaton Ternate, ke pelabuhan Gamalama. Lalu naik speed boat Rp 20,000 ke Sidangoli di Pulau Halmahera. Mulanya bingung juga pilih speed. Aku bawa duffel bag besar.
Aku tersiksa dengan asap rokok Dji Sam Soe seorang penumpang. Hanya ada tujuh lelaki plus dua crew speed boat serta beberapa perempuan. Tapi tiga lelaki merokok terus. Udara tak cepat berganti karena udara dari luar tak bisa masuk ke dalam.
Sampai Sidangoli, para tukang becak naik ke speed boat dan berebut penumpang. Aku dikelilingi tukang becak dan calo mobil. Mereka menawarkan tumpangan ke Tobelo. Ongkos mobil ke Tobelo Rp 75,000 per orang. Aku bayar empat kursi sekaligus agar mobil segera berangkat.
Syaratnya, aku minta sopir tidak merokok. Capek deh dengan asap rokok.
Sepanjang jalan lihat bekas-bekas rumah dibakar. Namun juga banyak rumah-rumah baru bermunculan. Bentuknya seragam. Dari batako dan atap seng. Ukuran dan disainnya persis sama. Mungkin bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan.
Sepanjang jalan, dua orang penumpang, satu Kristen dan satu Muslim, bicara soal "motivasi" NGO internasional "membantu" biking rumah di Halmahera. Si Muslim kuatir ada motivasi tersembunyi. Si Kristen bilang hanya NGO macam World Vision yang bantu di Halmahera. Capek juga aku. Orang sudah hancur begini masih berdebat soal motivasi orang bantu biking rumah!
Di Malifut berhenti dan makan di rumah makan milik orang Bugis. Namanya, RM Malifut Indah. Ia terletak pada Jl. Adam Malik RT4, desa Tahane. Pemiliknya bernama H. Badawi Saleh. Wakil Presiden Adam Malik pada 1982 mengunjungi daerah ini. Mungkin alasan inilah yang menyebabkan jalan dinamai Adam Malik.
Para waiter rumah makan gadis-gadis Makian. Aku tahu bahwa orang Makian dulunya hendak diusir dari Halmahera. Ini memang daerah yang dulu jadi sengketa awal Kao-Makian. Pada 1975, sebanyak 16 desa dari Pulau Makian dipindahkan kesini karena pemerintah kuatir gunung disana akan meletus. Banyak orang yang menolak pindah tapi tentara main paksa saja.
Gadis-gadis ini bekerja keras dan riang sekali. Rosdiana Din, kasir rumah makan, memberi aku informasi tempat menginap. Tak ada hotel disini. Juga tak ada listrik. Sinyal telepon juga tak ada.
Ini perjalanan aku kedua di Halmahera. Juli tahun lalu, Donald K. Emmerson dari Stanford University dan aku juga makan di rumah makan ini. Ini juga berguna sebagai tempat istirahat. Buang air. Cuci muka. Minum dan makan. Bedanya, tahun lalu Emmerson mengajak kembali ke Ternate, tak sampai Tobelo. Kali ini, aku meneruskan perjalanan ke Tobelo.
Perlu waktu tiga hingga empat jam dari Sidangoli ke Tobelo. Pulau ini sepi sekali. Namun perjalanannya menyenangkan, banyak pemandangan alam hijau.
Di Tobelo, aku menginap di Villahermoza, sebuah hotel kecil, dengan enam kamar milik orang Tionghoa bermarga Tan. Ini hotel para NGO. Cuma Rp 100,000 semalam. Bersih sekali dan pakai AC. Hotel ini baru dibangun tiga tahun lalu. Tobelo nuansa kekristenannya kuat. Tak terdengar azan maghrib disini. Gantinya, mobil-mobil umum mengeluarkan musik-musik disco halelluyah diputar kencang-kencang. Bir dijual bebas. Salib terlihat dimana-mana.
Aku mengenal Tobelo ketika membaca buku Ibu Maluku: The Story of Jeanne van Diejen karya Ron Heynneman. Van Diejen seorang perempuan Belgia yang menikah dengan seorang administratur perkebunan Belanda di Tobelo. Ia tinggal di Tobelo antara 1920 dan 1942.
Ceritanya sangat memikat, membuat aku jadi ingin melihat tempat-tempat dimana Van Diejen pernah bekerja dan membangun perkebunan kelapa.
Sorenya, aku beli "besi putih" buatan Morotai di depan supermarket Galaxy, toko terbesar di Tobelo. Besi putih adalah terminologi untuk besi bekas pesawat terbang Perang Dunia II di Pulau Morotai. Pihak Sekutu menjadikan Morotai sebagai pangkalan militer mereka guna menduduki Filipina. Dari Filipina, mereka lompat kodok ke Jepang. Bangkai pesawat terbang terserak di Morotai. Penduduk mengambilnya terus-menerus, selama 60 tahun lebih, dijadikan bahan perhiasan yang terkenal.
Pihak Angkatan Laut Jepang, sebaliknya, membangun pangkalan militer mereka di Teluk Kao. Aku sempat lihat bangkai-bangkai kapal perang muncul dari permukaan laut. Salah satu haluan kapal bahkan ditumbuhi pohon kelapa. Halmahera adalah pulau strategis tampaknya sehingga dikuasai Sekutu dan Jepang.
Di Tobelo, aku perkirakan separuh kota rusak. Masih banyak sisa bangunan terbakar. Heri Manonata, manajer Villahermoza, cerita bagaimana dia sekeluarga lari dari Tobelo. Mereka lihat orang bawa kepala orang. Dua hingga tiga minggu tak bisa keluar dari Tobelo.
Mereka akhirnya naik KM Cahaya Bahari ke Manado pada Januari 2000. Dari Manado, dua malam kemudian, mereka naik pesawat ke Jakarta, tinggal di rumah keluarga di Teluk Gong. Total ada 14 orang mengungsi di Jakarta.
1 comment:
i hope tobelo grow more mature in the sonnest future,and all the investor can return. those investor came tobelo and invested their capital, not all about profit. They came with vission and mission.to all, be real for better life
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.