Kami melewati Pulau Matiara. Tiba di pelabuhan Rum, lihat-lihat ibu-ibu jual nasi jaha. Ini beras campur ketan, dibungkus daun, dimasukkan ke bambu lalu dibakar. Mungkin kalau di Minangkabao, bisa disetarakan dengan lemang pulut bakar.
Rum dulunya ibukota kesultanan Tidore. Namun belakangan dipindah ke Soasiu. Kalau Rum menghadap Pulau Ternate, Soasiu justru sebaliknya, terletak di sisi lain pulau. Entah mengapa dipindahkan ke sisi yang jauh dari Ternate?
Aku naik angkot ke Soasiu dan berhenti depan rumah adat Tidore. Kotanya kecil, sepi, bersih dan rapi sekali. Sayang trotoarnya dibuat naik turun sehingga pejalan kaki kesulitan jalan.
Aku juga lihat Masjid Sultan. Ketika jalan, bertemu dengan seseorang bernama Bambang Muhammad, yang ramah menawari aku jalan-jalan. Bambang mengajak aku jalan dengan sepeda motornya. Kami melihat "bangkai" gereja Maranatha di Jalan Ahmad Yani.
Ini gereja satu-satunya di Tidore. Ia dibangun pada awal 1960an ketika Tidore dijadikan ibukota sementara Irian Barat. Saat itu banyak sekali orang berkantor di Tidore. Gubernur Irian Barat adalah Zainal Abidin Syah, yang juga merupakan sultan Tidore ke-35 (1947-1961).
Waktu itu, banyak sekali orang datang ke Soasiu untuk bekerja dalam kampanye merebut Irian Barat. Zainal Abidin pun mengganti nama daerah dimana banyak pendatang tinggal dari "Goto" menjadi "Indonesiana."
Sesudah Zainal Abidin, Tidore tak mengangkat sultan baru hingga tahun 1999, ketika pada salah puncak ketegangan Ternate-Tidore, diangkatlah Sultan Jaffar Syah sebagai sultan ke-36.
Bambang Muhammad bilang ketika gereja Maranatha dihancurkan pada 3 November 1999, "Malam itu kita tidak kenal orang-orang."
Bekas gereja ditumbuhi rumput tinggi. Tempat salib sudah patah. Tidore kini tak punya satu gereja pun. Malam itu, orang-orang membunuh sembilan orang Kristen serta mengusir semua orang Kristen dari Tidore (800 orang). Namun Bambang bilang bisa diterima untuk bangun "gereja ini lagi."
Menurut Muhammad Amin Faaroek, seorang tetua Tidore, baik orang Kristen maupun orang Islam, sama-sama membangun gereja Maranatha.
Faaroek banyak cerita soal sejarah Tidore. Dia juga bicara soal malam dimana semua orang Kristen diusir dari Tidore dan Pendeta Arie G. Risakotta dibunuh. Gara-garanya, ada surat palsu dari Gereja Protestan Maluku soal rencana pengusiran orang-orang Islam dari Pulau Halmahera.
Bambang Muhammad bilang ketika gereja Maranatha dihancurkan pada 3 November 1999, "Malam itu kita tidak kenal orang-orang."
Bekas gereja ditumbuhi rumput tinggi. Tempat salib sudah patah. Tidore kini tak punya satu gereja pun. Malam itu, orang-orang membunuh sembilan orang Kristen serta mengusir semua orang Kristen dari Tidore (800 orang). Namun Bambang bilang bisa diterima untuk bangun "gereja ini lagi."
Menurut Muhammad Amin Faaroek, seorang tetua Tidore, baik orang Kristen maupun orang Islam, sama-sama membangun gereja Maranatha.
Faaroek banyak cerita soal sejarah Tidore. Dia juga bicara soal malam dimana semua orang Kristen diusir dari Tidore dan Pendeta Arie G. Risakotta dibunuh. Gara-garanya, ada surat palsu dari Gereja Protestan Maluku soal rencana pengusiran orang-orang Islam dari Pulau Halmahera.
"Tandatangannya saya kenal bukan Pendeta Sammy Titaley," kata Faaroek.
Namun surat kaleng itu menyebabkan salah paham dan akibatnya fatal.
Kami juga makan masakan Tidore di rumah makan Ratu Sayang. Aduh, enak sekali, makan pakai sagu serta ikang. Aku makan sampai tak bisa goyang lagi. Rakus sekali. Orang-orang senang lihat aku menikmati makanan mereka.
Dari Soasiu, aku mencoba menemui komandan Pasukan Jihad Tidore Abu Bakar Wahid al-Banjari. Rumahnya terletak antara Rum dan Soaaiu. Sayang, waktunya tak cukup. Kalau sudah malam, aku harus sewa speed boat sendirian, yang harganya lebih mahal daripada naik bersama orang lain.
Hari sudah gelap, petang hari, ketika tiba di Rum dan naik speed ke Ternate, istirahat di Mitra Karya.
Namun surat kaleng itu menyebabkan salah paham dan akibatnya fatal.
Kami juga makan masakan Tidore di rumah makan Ratu Sayang. Aduh, enak sekali, makan pakai sagu serta ikang. Aku makan sampai tak bisa goyang lagi. Rakus sekali. Orang-orang senang lihat aku menikmati makanan mereka.
Dari Soasiu, aku mencoba menemui komandan Pasukan Jihad Tidore Abu Bakar Wahid al-Banjari. Rumahnya terletak antara Rum dan Soaaiu. Sayang, waktunya tak cukup. Kalau sudah malam, aku harus sewa speed boat sendirian, yang harganya lebih mahal daripada naik bersama orang lain.
Hari sudah gelap, petang hari, ketika tiba di Rum dan naik speed ke Ternate, istirahat di Mitra Karya.
1 comment:
Pak Andreas, Makasih yach..udah mampir di Tidore. ada beberapa pertanyaan yang bapak ungkapkan di dalam komentar bapak dan saya akan mencoba menjawabnya..;
Ibukota kesultanan Tidore yang di pindahkan dari kota RUM ke kota Soasio terjadi pada masa kepemimpinan Sultan SAIFUDDIN alias JOU KOTA. Beliau lah yang memindahkan ibukota tersebut guna menghindari persaingan antara kedua kesultanan pada saat itu(Tidore-Ternate). Kesiagaan Militer laut yang ditingkatkan oleh Ternate di perbatasan Ternate Tidore tepatnya di belakang Pulau Maitara memberikan kekecewaan tersendiri bagi JOU KOTA dalam menjalin hubungan baik dengan Ternate. Bagi beliau,Ternate yang di motori Belanda saat itu terlalu antusias dan berlebihan dalam mencurigai Tidore dalam hubungan perdagangan antara kedua kesultanan tersebut. Hingga pada akhirnya ibukota di pindahkan ke bagian Selatan Tidore dan ibukota tersebut di beri nama Soasio atau LIMAU TIMORE yang berarti "Cahaya timur" maklum posisi ibukota berposisi dengan posisi matahari terbit.Dan KEDATON Kesultanan (istana) bernama Kadato SALERO.
Tidore berada pada puncak keemasan pertama ketika Belanda mengakui kedaulatan Tidore saat itu. Pengakuan ini terukir dari kesepakatan bersama Belanda-Tidore yang menghasilkan Kesepakatan SPEELMAN-SAIFUDDIN (Baca;Arsip belanda)yaitu "Tidore menghargai kedudukan Belanda di Moloku Kieraha (Maluku Utara)dan bekerjasama dalam urusan perdagangan APABILA Belanda mengakui kedaulatan Tidore atas wilayah-wilayahnya (Seram timur,Halmahera Timur,dan Papua)sebagai wilayah otonomi dari Kesultanan Tidore."
Dengan kesepakatan antara Gubernur Belanda SPPELMAN dan Sultan SAIFUDDIN tersebut,hal ini memberikan nilai positif bagi Tidore dalam membenahi infrakstruktur pemerintahan dan meluaskan kekuasaannya serta mengembalikan stabilitas perekonomian Tidore yang belum pulih sejak Portugis dan Spanyol mengangkat kakinya dari Kepulauan Maluku ini. Hal ini dilakukan sama oleh Sultan NUKU (keturunan Saifuddin) yang mencoba memperingatkan kembali Belanda akan perjanjian yang pernah dicetuskan oleh Leluhurnya dan di sepakati oleh Belanda Namun Belanda beralasan perjanjian itu hanyalah kesepakatan pribadi antara SAIFUDDIN dengan SPEELMAN,bukan kepada pemerintahan Kerajaan Belanda.Dengan kemunafikan Belanda inilah yang pada akhirnya membawa Belanda terusir dari wilayah Tidore dan Tidore kembali seperti pada masa kejayaannya.
Mungkin hanya itulah sejarah yang dapat saya ceritakan, Menyesal lah bagi kita bila kita tidak mengetahui kesejarahan kesultanan Tidore dahulu. Karna Bung Karno aja bilang "Kalo bukan Tidore,mungkin nggak ada lagu yang namanya DARI SABANG SAMPAI MERAUKE" He..he..3x Thank's
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.