Thursday, November 17, 2005
Gambar Uang Rp 1,000
Coba kau lihat gambar uang Rp 1,000 dan baca caption gambar dua buah gunung disana. Kau akan baca nama Pulau Maitara dan Pulau Tidore. Kau tahu letaknya bukan? Ia ada di daerah utara Kepulauau Maluku. Ini daerah Ternate dan Tidore. Pada uang Rp 1,000 itu, Pulau Maitara terlihat lebih kecil dan rendah sedang Pulau Tidore lebih tinggi.
Aku coba cari sudut pengambilan gambar itu ketika mengunjungi Ternate November ini. Mulanya aku jepret kamera dari daerah Ngade –ada tiga restoran disini dengan seafood yang lumayan. Tapi hasilnya kurang cocok, Matiara terletak di sebelah kanan Tidore, tak sama dengan gambar uang.
Dua hari kemudian, aku pergi ke kampus Universitas Sultan Khairun di daerah Gambesi, alhasil, aku menemukan angle pengambilan gambar uang Rp 1,000.
Gunung di Pulau Tidore itu bernama Kiematubu (1,730 meter). Dalam bahasa Tidore, “kie” artinya “gunung.”
Senang juga menemukan sudut gambar uang itu. Aku sering memakai dan melihat uang Rp 1,000 tapi baru kali ini tahu dimana sudut pengambilan gambarnya. Kau juga begitu bukan? Orang-orang Ternate, bila bertemu pendatang baru, sering bangga mengajak si pendatang melihat sudut ini ... tapi kebanyakan dari Ngade. Tapi sambil makan-makan toh.
Di Pulau Ternate ada Gunung Gamalama (1,721 meter) yang terkenal karena ada pohon-pohon cengkeh berumur 300 tahun. Juga ada kuburan seorang sultan Ternate dekat puncak Gamalama.
6 comments:
Akhirnya, foto yang disajikan dalam posting kali ini di edit dulu.
Nah, gitu dong mas, jadinya tampilan gambar gak kegedean, sehingga ketika baca postingan jadi enak.
Apa fotonya boleh ditransfer ke komputer saya?
Soalnya, ada satu teman yang saya kasih uang seribu rupiah itu.
Jadi kalo seandainya ada foto aslinya sepertinya bagus untuk menambah pengetahuan kepada temanku itu.
Dengan hormat,
Tentu saja boleh. Saya malah senang foto ini berguna untuk orang lain. Terima kasih.
Pak Andre,
I was literally wept when I saw the picture. Tapi yang jelas tangis bahagia karena bisa melihat kembali tanah ibu saya. Kebetulan saya produk blaster Jawa-Tidore. Ibu saya berasal dari SoaSiu dan nenek dari daerah Halmahera. Saya sendiri lahir di Ambon (1978) dan kemudian pindah ke Lampung thn 1990 karena ayah dipindahtugaskan ke salahsatu insititut kesehatan di bandar lampung. Terakhir ke Maluku (Ambon dan Soasiu) tahun 1994. Sejak tahun 1997 tidak berani lagi kembali ke Maluku selain karena sanak keluarga pindah ke Menado (rumah habis dibakar di Soasiu), juga karena kondisi yang suka naik turun. Tapi keinginan untuk bisa melihat kembali tanah tempat dilahirkan tetap besar apalagi saya bersuamikan Belanda yang masih memiliki darah Saparua (hehehe jatuhnya semua pada blasteran). Terimakasih yah pak buat postingannya!!! Ditunggu edisi berikutnya apalagi kalau tentang ambon dan maluku!! :)
Dian di Belanda,
Saya ikut simpati dengan perasaan Anda. Saya kebetulan tahu daerah-daerah Kristen yang dibakar di Soasiu. Menyesakkan sekali. Kita ini hidup di negara yang makin hari makin kacau. Hitungan saya, sesuai dengan analisis Benedict Anderson, Daniel Lev, Herbert Feith dan sebagainya, perubahan sosial di Jawa merosot sejak 1950an. Padahal Jawa adalah denominator tentang "Indonesia." Ideal tentang "Indonesia" mulai hilang di Jawa sejak akhir 1950an. Apalagi hari ini.
Saya kini masih bekerja keras mengerjakan bab Maluku dalam buku saya. Berpikir ulang tentang Soasiu, Ternate, Tobelo, Sidangoli, Ambon dan sebagainya.
Mas Andre, kalo mau berwisata budaya ke Ternate (maluku Utara) please visit my blog : http://www.busranto.blogspot.com
Tukar link yuk...!
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.