To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, October 18, 2005 4:56 PM
Subject: [pantau-komunitas] Re: Confessions of A Freelance Mujahid
Halo Andreas...
Apa komentar Anda sendiri tentang artikel ini? Setuju?
Bukankah Anda punya standar tinggi tentang sumber anonim dan bagaimana wartawan menggunakan sumbernya?Artikel panjang dan serius ini dibangun melalui sumber yang berat sebelah dan setidaknya dua sumber anonim: Lima perwira polisi diwawancara untuk artikel ini. Satu pengamat Sidney Jones, dan dua sumber anonim. Tidak satupun orang yang dituding di situ diwawancara secara langsung.
1. Bali Police Chief, Inspector-General I Made Mangku Pastika
2. Surakarta Police Chief, Sr. Comr. Abdul Madjid
3. Police Commissioner Pulau Rote, Marten Raja
4. Sidney Jones
5. dua sumber anonim
Statement-statement terpenting dalam tulisan itu (termasuk rencana pembunuhan Uli Abshar Abdalla) dikutip dari polisi yang lain: Senior Commissioner Saut Usman Nasution.
salam,
fgaban
From: "Andreas Harsono"
Date: Tue Oct 18, 2005 10:25 pm
Subject: Re: [pantau-komunitas] Re: Confessions of A Freelance Mujahid
Untuk Farid Gaban di Jakarta,
Terima kasih untuk pertanyaannya. Saya tetap percaya bahwa pemakaian sumber anonim harus memenuhi tujuh syarat yang dijabarkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku "Warp Speed" dalam bab "The Rise of Anonymous Sourcing."
Kalau saya mengirim sebuah posting macam laporan Tempo tersebut, dengan isi sumber anonim, bukan berarti saya mendukung isinya. Selama jadi moderator mailing list selama lima tahun ini, rasanya saya meloloskan puluhan kalau tidak ratusan posting, yang ditulis dengan sumber-sumber anonim.
Saya mengirimkannya karena saya nilai ia kemungkinan besar berguna untuk anggota mailing list ini. Seringkali saya mengirimkan posting yang isinya saya tidak setuju. Tapi apalah arti opini saya? Saya lebih suka menyimpan analisis saya untuk saya sendiri atau teman dekat. Saya kurang suka mengeluarkan opini saya --kecuali kalau memang harus menulis esai atau "news analysis."
Bagaimana menilai laporan dengan sumber anonim?
Pegangannya ada tujuh, sebagai berikut:
1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama "peristiwa berita" yang kita laporkan. Artinya, dia menyaksikan sendiri, atau terlibat langsung, dalam peristiwa tersebut. Dia bisa merupakan pelaku, korban atau saksi mata, tapi dia bukanlah orang yang mendengar dari orang lain. Dia bukan pihak ketiga yang melakukan analisis terhadap peristiwa itu.
2. Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita buka. Unsur "keselamatan" itu secara masuk akal bisa diterima akal sehat audiens kita.
Artinya, entah nyawanya yang benar-benar terancam atau nyawa anggota keluarga langsungnya yang terancam (anak, istri, suami, orang tua, saudara kandung). Kalau sekedar "hubungan sosial" yang terancam, misalnya pertemanan, maka ia tak termasuk faktor "keselamatan."
3. Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. Kita harus mengukur apa motivasi si sumber memberikan informasi. Banyak kasus di mana si sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menghantam lawan atau orang yang tak disukainya. Banyak juga kasus dimana informasi anonim diberikan karena hal itu menguntungkan si sumber tapi ia mau sembunyi tangan.
4. Integritas sumber harus Anda perhatikan. Orang yang sering mengarang cerita atau terbukti pernah berbohong atau pernah menyalahgunakan status sumber anonim, tentu saja, jangan diberi kesempatan jadi sumber anonim Anda lagi.
5. Harus seizin atasan Anda. Pemberian sumber anonim harus dilakukan dengan sepengetahuan dan seizin atasan Anda. Bagaimana pun juga, editor Anda yang harus bertanggungjawab kalau ada gugatan terhadap kinerja jurnalistik kita.
6. Ingat aturan Ben Bradlee. Bradlee adalah redaktur eksekutif harian The Washington Post zaman skandal Watergate. Bradlee pernah mengeluarkan sebuah aturan yang terkenal tentang pemakaian sumber anonim. Dia hanya mau meloloskan sebuah keterangan anonim kalau sumbernya minimal dua pihak yang independen satu dengan yang lain.
7. Bill Kovach sendiri menambahkan satu syarat lagi. Kita harus membuat sangat jelas dengan calon sumber anonim kita bahwa perjanjian keanoniman akan batal dan nama mereka akan kita buka ke hadapan publik, bila kelak terbukti si sumber berbohong atau sengaja menyesatkan kita dengan informasinya.
Saya kira sekian dulu. Terima kasih.
Andreas Harsono
From: "Farid Gaban"
Date: Tue Oct 18, 2005 11:40 pm
Subject: Re: Confessions of A Freelance Mujahid
Dear Andreas,
Maaf, yang saya tanyakan bukan opini Anda tentang isunya sendiri. Tapi, assesment Anda terhadap liputan Tempo ini.
trims
fgaban
From: Farid Gaban
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, October 19, 2005 6:36 PM
Subject: [pantau-komunitas] Re: Confessions of A Freelance Mujahid (agar lebih jelas)
Halo Andreas,
Saya menghormati hak Anda untuk tidak beropini. Meski ada pertanyaan serius dalam kaitan opini ini.
Sejak bom meledak kedua kali di Bali, Anda setidaknya mengirim dua posting relevan ke sini.
Pertama, dari The New York Times (Friday, October 7, 2005) "Bali Suicide Bombers Said to Have Belonged to Small Gang"
Kedua, dari Tempo (Oct 18-24, 2005) "Confessions of A Freelance Mujahid"
Ada ratusan, mungkin bahkan ribuan, liputan tentang bom Bali II. Tapi, tentu ada pertimbangan khusus kenapa Anda memilih dua liputan itu untuk diposting ke sini. Apakah gerangan? Atau saya keliru?
Anda sedang beropini tanpa beropini?
Tapi, oke lah, itu bisa dilupakan...
Kembali ke pertanyaan saya: apa penilaian Anda terhadap liputan Tempo itu (juga The New York Times)? Sesuaikah dengan standar dan prosedur jurnalistik?
Saya memandang pertanyaan ini relevan, sebab dulu, dalam kasus Tempo vs Tomy Winata setahu saya Anda memberi opini tentang liputan Tempo juga.
Bukankah dalam tulisan Tempo yang Anda posting sekarang, problem tak hanya menyangkut sumber anonim, tapi juga pilihan seluruh sumbernya?
Dalam kasus Tomy Winata bahkan Tempo masih mewawancara Tomy dan sumber yang mendukungnya.
Tidakkah liputan Tempo dalam "Confession of A Freelance Mujahid" ini LEBIH BURUK dari dalam "Ada Tomy di Tenabang?"
Membaca judul tulisan itu tadinya saya kira benar-benar ada "pengakuan". Ternyata saya keliru... yang benar "klaim polisi tentang sebuah pengakuan".
Saya tetap menunggu jawaban Anda, jika tak keberatan.
salam,
fgaban
From: "Andreas Harsono"
Date: Fri Oct 21, 2005 11:57 am
Subject: Farid Gaban dan "Andreas Harsono Watcher"
Farid Gaban yang baik,
Terima kasih untuk tiga posting Anda yang terus-menerus menanyai saya soal bagaimana saya menilai laporan Tempo edisi Inggris, "Confessions of A Freelance Mujahid" tentang bom Kuta babak kedua.
Secara bergurau, saya mengatakan kepada beberapa teman, "Well, I have an Andreas Watch now." Farid Gaban bahkan sampai meneliti semua isi posting saya soal bom Bali untuk menanyai saya mengapa dan mengapa? Kini bukan hanya esai atau cerita dengan byline saya yang bisa diamati tapi bahkan posting internet :-)
Begini Farid.
Saya bukan orang yang suka mengeluarkan opini. Saya sering merasa geli kalau membaca komentar-komentar ramai di internet. Saya selalu berpikir soal kemungkinan muncul gugatan bila terlalu cepat beropini. Gugatan bisa muncul lewat naskah di media mainstream namun internet juga bisa jadi awal gugatan. Sudah terlalu banyak wartawan yang reputasinya tercemar gara-gara internet.
Ketika saya mengeluarkan tujuh kriteria sumber anonim dari buku "Warp Speed" untuk menilai naskah Tempo soal Tomy Winata, saya melakukannya dalam sebuah seminar. Ia diadakan oleh Jasa Riset Indonesia pada 12 November 2003 sambil meluncurkan buku "Tomy Winata Dalam Citra Media." Dalam sebuah seminar, tentu saja, kita dituntut untuk melakukan analisis.
Sebuah posting tak berada pada tataran yang sama. Saya mengirim posting dengan asumsi isinya berguna untuk para pelanggan mailing list ini. Saya mengirim posting karangan Raymond Bonner soal Jemaah Islamiyah namun juga soal Brigade Manguni. Saya mengirim paper yang berat macam milik Thomas Hanitzsch namun juga terkadang joke ringan. Ada beberapa posting yang dikirim dengan cepat --bahkan sering saya tak baca seluruh isinya. Namun juga ada yang butuh pemikiran berhari-hari karena file terlalu berat. Saya benar-benar tak suka membebani pelanggan mailing list ini dengan file berat. Ketika mengirim paper Hanitzsch, saya butuh waktu dua minggu lebih, kirim atau tidak, kirim atau tidak ....
Saya memutuskan mengirim karena isinya, soal survei wartawan amplop, kemungkinan besar berguna buat kita semua. Dugaan ini benar ketika ada beberapa peserta yang "digest" --tak menerima attachment-- mengirim email dan minta dikirimi lagi secara pribadi. Penilaian saya bukan hanya pada isinya namun aspek teknik juga.
Posting "Confessions of A Freelance Mujahid" saya kirim lebih karena pada kalimat pertama ada nama Ulil Abshar-Abdalla. Kok ada rencana pembunuhan terhadap Ulil?
"Wah, informasi menarik ini."
Anda tahu bukan bahwa Ulil Abshar-Abdalla adalah orang yang menciptakan nama majalah Pantau? Ulil pula orang yang punya ide bikin majalah khusus memantau media. Kini Ulil lebih kita kenal karena urusan soal "Islam." Kita sering tak tahu bahwa Ulil juga suka pada urusan media dan jurnalisme. Saya kira tak berlebihan bila ada cerita rencana pembunuhan pada pencetus nama majalah, thus juga mailing list ini, saya kirim kepada audiensnya.
Soal "Bali Suicide Bombers Said to Have Belonged to Small Gang" juga menarik karena ia karya Raymond Bonner. Kebetulan awal Agustus lalu, saya bertemu Bonner di London, ketika ia bikin reportase soal pemboman 7 Juli terhadap beberapa bus dan "The Tube" (nama khas London untuk kereta bawah tanah). Bonner praktis berada di Iraq, Afghanistan, Beirut, Bali dan sebagainya sejak bom New York dan Washington. Ia khusus menulis soal bom. Jadi, laporannya menarik perhatian saya.
Saya kenal Bonner sejak 1988 ketika ia menulis soal Indonesia dan korupsi putra-putri plus kroni Presiden Soeharto. Laporan Bonner bahkan jadi inspirasi saya untuk mempelajari majalah The New Yorker. Kalau Anda sempat baca buku "Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat," Anda bisa membaca resensi buku karya saya soal The New Yorker. Intro resensi itu adalah Raymond Bonner.
Banyak pengalaman pribadi saya yang hendak saya share kepada para pelanggan mailing list ini.
Kematian Endon Mahmood, istri Abdullah Badawi, juga menarik perhatian saya karena kebetulan saya merasa kenal Badawi. Saya pernah wawancara Badawi. Saya juga tahu kisah percintaan Endon dan Badawi. Kematian seorang isteri yang punya kisah cinta panjang dengan suaminya, apalagi berjuang melawan kanker, sangat menarik perhatian saya. Saya pernah bertemu Badawi ketika ia sedang berjuang membagi waktu bersama isteri atau mengerjakan pekerjaan pemerintahan Malaysia.
Saya ingin "sharing" apa yang menarik kepada para pelanggan mailing list ini. Mulai dari isu serius macam nasionalisme dan peperangan hingga isu yang lebih serius lagi soal asmara :-)
Saya kira sekian dulu. Sekarang setiap kali mau mengirim posting, saya selalu mengingatkan diri saya bahwa ada "Andreas Watch" yang akan menilainya. Kelak isi mailing list ini mungkin akan lebih banyak kisah
asmaranya :-)
Terima kasih banyak.
Andreas Harsono
From: "Farid Gaban"
Date: Sat Oct 22, 2005 1:17 am
Subject: Re: Farid Gaban dan "Andreas Harsono Watcher"
Andreas, my dear friend
Jangan terganggu untuk mengirim posting yang bermanfaat ke sini. Saya sama sekali tidak keberatan dengan posting-posting Anda, yang manapun, termasuk dua posting yang saya sebut.
(Dan apalah artinya saya sekadar sebagai anggota milis ini, bukan?)
Apa yang saya tanyakan masuk kategori kritik media--suatu hal yang saya kira relevan dengan milis ini. Atau saya keliru?
Pertanyaan saya sederhana kok: apa penilaian Anda berkaitan dengan standar dan prosedur jurnalistik yang dipakai Tempo dalam artikel itu?
Saya kira, sudah saatnya masing-masing kita mengakui ada bias di balik apa yang kita katakan dan kita tulis (atau bahkan kita posting).
Saya punya bias, dan Anda punya bias.
Bias seperti itu sangat jamak. Kita semua datang dari latar-belakang berbeda: etnis, agama, pendidikan, bahan bacaan dan sebagainya.
Bahkan dalam satu etnis atau agama tertentu kita menemukan perbedaan cara melihat. Sekali lagi, ini soal yang jamak; soal yang manusiawi.
Dan justru karena itulah pentingnya ada standar dan prosedur jurnalistik (agar kita tidak terjebak pada relativisme nihilistik).
Justru karena itulah "Sembilan Elemen Jurnalisme" menjadi relevan dibicarakan. Bukankah begitu?
Standar dan prosedur jurnalistik adalah satu platform bagi kita yang datang dari beranekaragam latar-belakang untuk bicara dalam "bahasa yang sama", menyepakati etos yang sama.
Penjelasan Anda panjang lebar ini hanya bisa saya simpulkan dalam jawaban ringkas: "Saya tak mau menjawab pertanyaan Anda."
Well, tidak selalu pertanyaan saya harus dijawab memang.
Trims
fgaban
From: "Farid Gaban"
Date: Sat Oct 22, 2005 6:46 pm
Subject: "Andreas Harsono Watcher" - Tips buat Anggota Milis
Salam,
Saya mengakses milis ini via web. Dan di situ ada fasilitas "search" sederhana. Dengan fasilitas itu kita bisa melacak posting (nomor posting, kapan, siapa penulis dan apa isinya) one click away, tanpa kita harus memelototi setiap posting, tanpa kita harus menjadi "watcher" bagi siapapun.
fgaban
No comments:
Post a Comment