Setiap bulan, walau sedikit, ia bayar rekening telepon, listrik, air serta petugas.
Ia percaya pada Yayasan Pantau. Ia menawarkan Pantau untuk memakainya. Ia hendak menunggu hingga Januari. Kalau Pantau tak hendak memakai, ia akan mempertimbangkan menjual villa itu.
Persoalannya, untuk apa? Kalau kantor Pantau pindah ke Cibodas, saya kira, kami terlalu jauh dari Jakarta. Kalau dipakai untuk istirahat akhir pekan, juga terlalu sedikit orang Pantau yang bisa memanfaatkannya.
Kebanyakan para kontributor Pantau bahkan tinggal jauh dari Jakarta. Kami juga tampaknya punya perasaan bersalah bila istirahat akhir pekan di sebuah villa. Mungkin semangat anti borjuasi kami cukup besar ya?
Saya sempat punya ide. Bagaimana bila villa ini diatur untuk membantu orang yang mau menulis buku dengan serius?
Soalnya, saya sering lihat dan juga mengalami sendiri, kesulitan menulis serius di Jakarta. Negeri ini kurang menghargai cendekiawan yang mau menulis. Ia tak punya institusi yang secara lumayan memberi dukungan kepada orang yang mau menulis. Baik ilmuwan, wartawan, seniman atau apapun. Hasilnya, kebanyakan buku dibuat seadanya.
Coba deh datang ke toko buku, bandingkan karya internasional dan lokal. Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal secara bergurau bilang "non-book book" karena kebanyakan isinya kumpulan karangan pendek.
Menulis sebuah buku beda dengan menulis karangan pendek.
Sebuah feature atau esei memiliki satu atau dua atau tiga ide. Sebuah buku punya ide banyak. Ia butuh waktu dan perenungan. Ia butuh riset panjang. Ia butuh wawancara banyak. Ia butuh pengetesan. Ia butuh sparing partner. Ia butuh editor. Ia butuh perpustakaan. Ia juga butuh suasana.
Saya pribadi sejak Juli 2003 menulis sebuah buku tentang nasionalisme Indonesia, From Sabang to Merauke. Aduh, susahnya setengah mati. Rekan sesama Pantau, Linda Christanty, juga ingin menulis novel. Alamak, tidak jalan atau setengah jalan. Mau mampus rasanya!
Ini bicara soal buku serius ya. Buku serius bukan harus susah dibaca tapi isinya dalam. Bukan "non-book book."
Uang tak cukup, waktu habis buat mencari uang, suasana tak mendukung, kesibukan mengalir terus, buku terbatas dan lain-lain. Ini belum lagi kalau urusan domestik bermunculan. Belum lagi urusan jaga disiplin. Belum lagi lawan tanding diskusi. Padahal lawan tanding penting untuk menjaga mutu penulisan.
Pendek kata, menulis buku serius sulit sekali di negeri ini.
Saya berpikir, bagaimana kalau kita ciptakan program penulisan di villa Cibodas ini? Pantau bisa menyediakan sparing partner, perpustakaan kecil dan tempat menyepi.
Bagaimana bentuknya, saya belum tahu. Siapa yang bisa diterima? Siapa panitianya? Bagaimana duitnya? Apa kerja sama dengan penerbit buku? Saya juga belum tahu.
Saya hanya ingat pengalaman dulu diundang The Aspen Institute untuk duduk dan berpikir di sebuah rumah peternakan luas di Maryland. Ada perpustakaan. Ada ruang diskusi. Ada suasana terbuka. Jakob Oetama dari Kompas dan pastor Y.B. Mangunwijaya juga pernah diundang kesana. Mereka bahkan menghasilkan banyak seminar penting dari rumah pertanian itu.
Mungkin secara kecil-kecilan dan murah ide itu bisa dipakai di Cibodas? Nah, bagaimana pendapat Anda? Bantu kasih ide dong.
2 comments:
Villa-nya cukup bagus, dan sepertinya menunjang untuk para penulis yang mencari ide2 baru.
Aku pikir, mas terima saja tawaranan kawan yang baik hati itu. Villa itu dibuat untuk tempat diskusi, atau pelatihan yang diampu oleh Pantau.
Jika pelatihan Pantau dilakukan seminggu, maka sehari atau dua hari -pada wkt yg tak sibuk-, para peserta diajak ke villa itu.
Lebih santai dan menyenangkan. Diskusi jauh lebih menarik, daripada cuman dilakukan di ruang rapat kantor yang pengap dan tak berprikemanusiaan AC-nya *_*
mmm,
Saya rasa saya sepakat dengan komentar angin. Ambil saja tawaran itu. Tinggal bagaimana memakmurkan villa itu sebagai tempat semedi para penulis. Barangkali sebelum berkembang ide-ide tentang workshop/lokakarya di tempat itu, perpustakaan kecil sudah bisa dimulai.
Salam,
syam asinar radjam
Post a Comment