Rusman dari Yayasan Pena Samarinda mengundang aku bicara soal jurnalisme di Samarinda bersama Mediyatama Suryodiningrat dari The Jakarta Post dan Katamsi Ginano dari PT Newmont Pacific Nusantara pada 1 Oktober ini.
Kami bikin acara di sebuah hotel kecil di Samarinda. Pesertanya, sekitar 10 orang dari Tribun Kaltim milik Kelompok Kompas Gramedia, Kaltim Post dari Kelompok Jawa Pos, maupun wartawan lain.
Aku banyak bicara soal beberapa elemen jurnalisme ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel namun aku juga banyak bicara soal bias nasionalisme dalam "media Indopahit" --Indonesia keturunan Majapahit.
Aku menyinggung soal sejarah jurnalisme yang baru bebas dari sensor dan tekanan pada saat Jendral Suharto jatuh 1998. Artinya, kebebasan pers baru berumur enam tahun. Sayangnya, kebebasan yang singkat ini langsung didominasi konglomerat media.
Kami sempat diajak mampir ke kantor Tribun Kaltim di Balikpapan. Mereka minta aku menilai komposisi berita mereka. Bergurau aku mengatakan, "Kalian harus mengubah suratkabar ini dari Tribun Jawa jadi Tribun Kaltim. Beritanya didominasi dari Jawa."
Rusman membelikan tiket pesawat untuk anakku Norman sehingga ia bisa ikut ke Samarinda. Norman kebetulan juga lagi riset soal Kalimantan untuk tugas sekolahnya. Alhasil, ia lebih sering tidur di kamar hotel!
Aku juga baru sadar bahwa Samarinda dan Balikpapan dekat sekali, 120 kilometer, dan bandar udara terletak di Balikpapan.
7 comments:
Dear Mas Andreas,
Saya terpancing untuk memberi tanggapan tentang posting Anda ini, karena Anda menyebut Tribun Kaltim, tempat saya bekerja sekarang.
Hanya dengan sekali lihat, mungkin, Anda bisa mengatakan harian kami didominasi berita dari Jawa.
Saya berani memastikan bahwa itu TIDAK BENAR.
Koran kami terdiri 3 bagian (32 halaman).
- 1 bagian yang terdiri 12 halaman berisi berita dari 13 daerah TK II dan Provinsi Kaltim, hanya Kaltim.
- 1 bagian lagi terdiri dari 12 halaman berisi berita umum, ekonomi, opini, dan lapsus. Di sesi ini pun lebih 50 persen berita dari Kaltim.
- 1 bagian terakhir terdiri dari 8 halaman olahraga dan hiburan (50 persen dari luar negeri, 40 persen lokal, dan mungkin hanya 20 dari Jawa).
Yang satu bagian saja (12 halaman dari 32 atau hampir 40 persen) sudah PASTI 100 persen Kaltim.
Itu belum ditambah berita lokal Kaltim dari ekonomi (3 halaman), lapsus, olahraga, hiburan, dll..
So, bersediakan Anda meralat pernyataan Anda bahwa Tribun Kaltim didominasi oleh berita dari Jawa. (Kalau jurnalisnya sih, memang 80 dari Jawa, termasuk saya)
Terimakasih
Salam
Arif Er Rachman
Bung Arif,
Saya kira Anda benar. Ketika rekan-rekan Tribun Kaltim minta saya mampir ke kantor Anda di Balikpapan, saya memang mengatakan Tribun belum memahami arus pergerakan orang-orang di Kalimantan Timur, terutama ketidakpuasan orang Dayak, terhadap pemerintah, polisi, media dan seterusnya. Secara bergurau saya katakan, kalian harus menjadi benar-benar "Tribun Kaltim" --bukan "Tribun Jawa."
Saya kira itu penilaian kurang serius. Perlu studi mendalam untuk membuktikan bahwa orientasi pemberitaan, kebijakan redaksional, mekanisme kerja dan kepekaan Tribun lebih pada Pusat kekuasaan di Pulau Jawa daripada lokasinya di Balikpapan, Samarinda dan sekitarnya.
Diskusi itu hanya gurauan dengan Rusman, Bintang, Lia dan lain-lain. Namun saya bertanggungjawab terhadap "gurauan" itu. Saya mengatakan dalam diskusi di Samarinda bahwa kejadian di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit dan sebagainya, kemungkinan besar akan datang ke wilayah Anda.
Bintang tak percaya. Saya juga mengkritik cara kerja Tribun maupun saingan kalian, Kaltim Post, yang tidak peka terhadap dinamika masyarakat yang kalian layani. Ini persis pengalaman Pontianak Post, Equator dan sebagainya di Pontianak, maupun Kalteng Post dan Banjarmasin Post --apalagi tabloid Bebas-- di wilayah Banjamarmasin dan Palangka Raya.
Diskusi cukup panjang. Silahkan deh Anda tanya pada Bintang dan lainnya. Hari ini, Rusman tiba-tiba kirim SMS pada saya, karena orang Dayak menduduki kantor gubernur di Samarinda. Saya dan seorang rekan peneliti dari Singapura sudah memperkirakannya lebih awal. Kalau kalian memang "Tribun Kaltim" tidakkah kalian harusnya tahu lebih awal dari kami?
Mas Andreas...
Terima kasih atas penjelasan mengenenai kemungkinan konflik antar etnis di Kaltim. Sayang, saya tidak ikut diskusi waktu itu, yang pasti menarik.
Sebenarnya, sejak ikut mendirikan Tribun Kaltim, hampir 3 tahun lalu, saya sudah melihat tentang Dayak yang hampir tak mendapat banyak bagian di pemerintahan. Sebenarnya bukan Dayak saja, tapi juga warga "lokal" lain (Banjar, Bugis,Kutai, Pasir...)
Tapi, setahu saya -- terutama di Balikpapan -- mereka tidak begitu mempedulikan hal itu. Mereka lebih suka berdagang. Agar berdagang lebih nyaman, mereka tentu tidak ingin ada keributan. Demo pun tak pernah terjadi di Balikpapan, walau BBM naik hampir 3 kali lipat(memang beda dg Samarinda).
Dalam merekrut wartawan saja saya kesukaran mencari tenaga lokal. Meski saya merendahkan standar penerimaan bagi mereka, tetap saja tidak banyak yang memenuhi syarat. Akhirnya, memang ada beberapa wartawan lokal - itu pun lulusan Jawa --, tapi tetap saja mereka tidak se-qualified rekrutan dari Jawa.
Saya lalu mengambil kesimpulan seadanya (mungkin dangkal) bahwa orang "lokal" lebih suka berdagang.
Saya pernah setahun pertama sebagai Kepala Biro Tribun di Samarinda. Di sana memang tidak se-heterogen dan secuek Balikpapan. Tapi di Samarinda, penduduk terbanyak BUKAN orang Dayak. Bugis lebih dominan, meski sehari-hari mereka lebih banyak menggunakan bahasa Banjar.
Bahkan, di Kaltim, suku terbanyak berdasarkan data Pemprov adalah JAWA.
Warga Dayak lebih banyak bermukim di daerah yang masih sukar dijangkau, seperti di Kutai Barat (dua hari menggunakan kapal dari Samarinda). Di Balikpapan, boleh dikatakan hampir tidak ada warga Dayak.
Sungguh berbeda dengan komposisi penduduk di Kalbar dan Kalteng.
Karena itu, mungkin, saya tadinya tidak begitu khawatir orang Dayak bakal mengusir kami yang bukan Dayak.
Atau sekarang saya perlu khawatir dengan semakin banyaknya warga Dayak yang kini makin sadar dengan kemarjinalan mereka?
Oh ya, saya juga punya dilema: memberitakan atau meredam? Kalau saya memberitakan dan memasang foto besar-besar, si pendemo merasa mendapat dukungan dan bisa semakin Ge-er. Dan yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan kemudian ada yang memilih memihak. Itu mengkawatirkan.
Kalau saya tidak memberitakan, saya tentu tidak nyaman dengan kejurnalisan saya
Saya tahu Mas Andreas mungkin akan meminta saya tetap memberitakan dengan mendudukkan persoalan sebenarnya, boleh jadi dengan Jurnalisme Damai.
Tapi, sungguh, saat ini Tribun tidak memiliki reporter yang menurut saya memenuhi syarat untuk menulis dengan metode itu.
Untuk turun sendiri, saya terkendala pekerjaan rutin harian yang sebenarnya unbelievable: merancang pemberitaan (khususnya halaman utama), mengeditnya, menentukan layoutnya, dan menjadi filter akhir(ini yang lebih mengerikan) 32 halaman sebelum naik cetak. Itu saya lakukan sendirian. Seharusnya saya dibayar mahal untuk ini.
Di Tribun, seorang redaktur sedikitnya menjaga 3 halaman! Dan seorang reporter minimal menyetor 3 berita. Bandingkan ketika Mas Andreas bekerja untuk the Nations.
Ah, saya menjadi teringat posting Anda tentang perbandingan jumlah wartawan di RI dan di luar negeri.
Saya benar-benar exhausted meski tidak sick and tired untuk menjadi jurnalis. Untuk berkesenian pun seperti yang saya lakukan di Surabaya ( jelek-jelek begini, saya di Surabaya termasuk seniman) saya tidak sempat. Posting ini saja saya tulis pukul 2.30 dini hari.
Wah, maaf, saya jadi berkeluh kesah...
Saya sungguh butuh usul Mas Andreas yang saya harap tentu saja disesuaikan dengan kondisi yang kami hadapi, bukan kondisi ideal.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan, tapi tubuh saya sudah sangat lelah dan maafkan kalau banyak salah ketik.
Oh, ya, saya termasuk anggota "Andreas Watch" ha ha.. sejak ikut milis Aji beberapa tahun lalu, kalau ada posting dari Anda pasti saya baca dan dulukan.
Saya banyak belajar dari Anda meski tanpa Anda ketahui. Saya belum sempat berterimakasih untuk itu.
Apakah saya boleh ikut milis yang Anda moderatori, meski saya belum pernah menulis di Pantau.
email saya: arif_er_rachman@yahoo.com
Terimakasih..
Salam
Arif Er
Sahrudin di Samarinda,
Saya membaca blogspot Anda. Saya tertarik sekali dengan kejujuran Anda. Jarang ada orang yang mau bicara soal Tatik --gadis yang Anda kenal dan pertama kali bersetubuh. Lebih jarang lagi orang yang mau menulis bahwa ia bermaksud pindah agama namun ditolak halus oleh pastor.
Saya kira, dengan bekal kejujuran ini, kalau Anda mampu konsisten jujur dan mengawinkannya dengan reportase, saya kira karya-karya Anda akan jadi dahsyat. Reportase itu tidak mudah lho. Tapi saya percaya Anda mampu melakukannya. Saya terus-terang jarang membaca orang yang bisa menulis memikat. Saya kira Anda salah satunya.
Sahrudin,
Kalau Anda mau, bisa mulai berlatih pelan-pelan melakukan reportase untuk Sindikasi Pantau. Kami belum punya orang yang bisa kami percaya untuk menulis macam Linda Christanty dan Chik Rini (Banda Aceh) atau Agus Sopian (Bandung).
Sindikasi ini hasilnya diterbitkan oleh lebih dari selusin suratkabar, di Pulau Jawa maupun luar Jawa, macam mingguan Modus (Aceh), Gatra, Playboy, Rolling Stone (Jakarta), Suara Perempuan Papua (Jayapura), Radar Timika, Flores Pos (Ende), Kursor (Kupang), Suara Timor Lorosae (Dili) dan sebagainya.
Tapi Anda harus benar-benar melakukan reportase. Kalau Anda sering klik macam-macam link dalam situs blog saya, Anda tentu, berbagai standar yang dipakai oleh Pantau. Kuncinya, kejujuran dan transparansi. Itu saja.
semoga masih sempat terbaca...
saya belum ingin jadi jurnalis ... saya hanya ingin menulis... bisakah ada review dari Bang Andreas tentang tulisan-tulisan saya di bagian http://timpakul.hijaubiru.org/tag/urai/ ?
terima kasih sebelumnya
Mas Andreas, dari jember yah?
Salam kenal ya. Saya alumnus SMAN 1 Jember (lulus thn 1991).
join komunitas anak jember dong.
salam
Ratih
ratihchrist@yahoo.com
Post a Comment