Hari Jumat ini Yayasan Pantau mengadakan seminar kecil tentang jurnalisme di Kupang dengan spanduk besar warna merah berjudul, "Kermana Memajukan Katong Pung Jurnalisme?"
Seminar ini diadakan Pantau bersama CIS Timor dan Swisscontact di Studio Satu RRI Kupang. Pembicaranya, Dion DB Putra dari harian Pos Kupang dan saya sendiri dari Pantau.
Dion Putra bicara soal keadaan real media di Kupang. Misalnya, liputannya didominasi isu politik. Pos Kupang sering bikin liputan atau headline soal pemindahan pejabat ini atau pengangkatan pejabat itu. Alasannya, Nusa Tenggara Timur adalah "provinsi PNS, Bung!" --pegawai negeri sipil adalah profesi yang diidam-idamkan banyak orang tua untuk anak mereka. Pengangkatan pegawai negeri sering ditentukan siapa yang sedang jadi pejabat. Isu pemindahan pejabat, tentu saja, kebutuhan masyarakat Kupang. Media juga terbatas pada isu elite.
Ia mengkritik media, termasuk Pos Kupang, yang wartawannya kurang mau turun ke "kampung" dan memberikan berita dari lapangan. Putra juga bicara soal kesulitan finansial. Bikin berita mahal. Reportase mahal. Padahal suratkabarnya termasuk ukuran kecil. Sirkulasi hanya sekitar 20,000 eksemplar walau sudah cetak jarak jauh di Maumere dan Bajawa di Pulau Flores.
Kupang sendiri terletak di Pulau Timor. Pos Kupang adalah anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia. Saingannya adalah harian Timor Ekspres milik Kelompok Jawa Pos. Kupang sendiri merupakan metropolitan Nusa Tenggara Timur.
Peserta workshop sekitar 40 orang. Acara dibuat interaktif dimana peserta bisa bertanya atau menyatakan pendapat. Pesertanya, wartawan, mahasiswa maupun aktivis. Beberapa wartawan berusia lanjut juga datang pada acara ini. Tiga orang wakil Swisscontact pimpinan Etih "Eet" Suryati ikut hadir dalam seminar.
Eet mengatakan bahwa Swisscontact sejak 2003 membuat kantor di Ende, Pulau Flores, untuk melakukan upaya pengembangan usaha ekonomi kecil dan menengah. Kupang, tentu saja, juga tak lepas dari perhatian Swisscontact. Swisscontact bekerja sama dengan Pantau dengan harapan media ikut membantu proses perubahan ini.
Saya sendiri, sesuai permintaan Winston Rondo dari CIS Timor, menerangkan soal "Sembilan Elemen Jurnalisme" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Namun saya masuk lebih detail dengan menerangkan alasan mengapa suratkabar harus memakai byline. Di Jakarta, sudah mulai ada perubahan, namun ketiga harian Kupang --Pos Kupang, Timor Ekspres dan Kursor-- belum memakai byline semua.
Saya menganjurkan Dion Putra agar mulai memikirkan Pos Kupang pakai byline. Seruan ini juga berlaku untuk media lain di Nusa Tenggara Timur. Byline akan membuat wartawan accountable. Publik bisa mengetahui siapa wartawan yang menulis dengan baik dan siapa yang kurang.
CIS Timor adalah organisasi Kupang yang mulanya dibentuk untuk membantu pengungsi Timor Leste pada 1999. Namun ia berkembang jadi tempat anak muda bekerja --kebanyakan jadi volunteer di kamp-kamp pengungsi. Namun mereka juga tertarik pada isu media, politik, ekonomi dan sebagainya. Rondo seorang alumnus Universitas Cendana.
Rondo mengatakan ini pertama kalinya dalam sejarah seminar di Kupang dimana acara dibuat interaktif. Format kecil. Duduk melingkar. Suasana informal. Studio RRI juga sangat dingin.
Jumat malam, belasan relawan CIS Timor, rekan-rekan Swisscontact, Hasrul Kokoh dan saya dari Pantau, melepas lelah dengan mencicipi sirloin steak dan bir dingin di restoran Rotterdam di kawasan Jalan Walikota.
Kokoh adalah anggota Yayasan Pantau yang akan melanjutkan tahap berikutnya kerja kami dengan bikin pemetaan media di Kupang bersama lima rekan Kupang.
Dua hari penuh menelepon ulang peserta, meminjam pot bunga, memasang spanduk, mengatur disain ruang bahkan memindahkan ruang seminar pada malam terakhir, rasanya, cukup bikin penat. Mencicipi steak yang manis dan bir yang dingin rasanya cukup membantu lepas lelah.
No comments:
Post a Comment