Hari Jumat ini Yayasan Pantau mengadakan seminar kecil tentang jurnalisme di Kupang dengan spanduk besar warna merah berjudul, "Kermana Memajukan Katong Pung Jurnalisme?"
Seminar ini diadakan Pantau bersama CIS Timor dan Swisscontact di Studio Satu RRI Kupang. Pembicaranya, Dion DB Putra dari harian Pos Kupang dan saya sendiri dari Pantau.
Dion Putra bicara soal keadaan real media di Kupang. Misalnya, liputannya didominasi isu politik. Pos Kupang sering bikin liputan atau headline soal pemindahan pejabat ini atau pengangkatan pejabat itu. Alasannya, Nusa Tenggara Timur adalah "provinsi PNS, Bung!" --pegawai negeri sipil adalah profesi yang diidam-idamkan banyak orang tua untuk anak mereka. Pengangkatan pegawai negeri sering ditentukan siapa yang sedang jadi pejabat. Isu pemindahan pejabat, tentu saja, kebutuhan masyarakat Kupang. Media juga terbatas pada isu elite.
Ia mengkritik media, termasuk Pos Kupang, yang wartawannya kurang mau turun ke "kampung" dan memberikan berita dari lapangan. Putra juga bicara soal kesulitan finansial. Bikin berita mahal. Reportase mahal. Padahal suratkabarnya termasuk ukuran kecil. Sirkulasi hanya sekitar 20,000 eksemplar walau sudah cetak jarak jauh di Maumere dan Bajawa di Pulau Flores.
Kupang sendiri terletak di Pulau Timor. Pos Kupang adalah anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia. Saingannya adalah harian Timor Ekspres milik Kelompok Jawa Pos. Kupang sendiri merupakan metropolitan Nusa Tenggara Timur.
Peserta workshop sekitar 40 orang. Acara dibuat interaktif dimana peserta bisa bertanya atau menyatakan pendapat. Pesertanya, wartawan, mahasiswa maupun aktivis. Beberapa wartawan berusia lanjut juga datang pada acara ini. Tiga orang wakil Swisscontact pimpinan Etih "Eet" Suryati ikut hadir dalam seminar.
Eet mengatakan bahwa Swisscontact sejak 2003 membuat kantor di Ende, Pulau Flores, untuk melakukan upaya pengembangan usaha ekonomi kecil dan menengah. Kupang, tentu saja, juga tak lepas dari perhatian Swisscontact. Swisscontact bekerja sama dengan Pantau dengan harapan media ikut membantu proses perubahan ini.
Saya sendiri, sesuai permintaan Winston Rondo dari CIS Timor, menerangkan soal "Sembilan Elemen Jurnalisme" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Namun saya masuk lebih detail dengan menerangkan alasan mengapa suratkabar harus memakai byline. Di Jakarta, sudah mulai ada perubahan, namun ketiga harian Kupang --Pos Kupang, Timor Ekspres dan Kursor-- belum memakai byline semua.
Saya menganjurkan Dion Putra agar mulai memikirkan Pos Kupang pakai byline. Seruan ini juga berlaku untuk media lain di Nusa Tenggara Timur. Byline akan membuat wartawan accountable. Publik bisa mengetahui siapa wartawan yang menulis dengan baik dan siapa yang kurang.
CIS Timor adalah organisasi Kupang yang mulanya dibentuk untuk membantu pengungsi Timor Leste pada 1999. Namun ia berkembang jadi tempat anak muda bekerja --kebanyakan jadi volunteer di kamp-kamp pengungsi. Namun mereka juga tertarik pada isu media, politik, ekonomi dan sebagainya. Rondo seorang alumnus Universitas Cendana.
Rondo mengatakan ini pertama kalinya dalam sejarah seminar di Kupang dimana acara dibuat interaktif. Format kecil. Duduk melingkar. Suasana informal. Studio RRI juga sangat dingin.
Jumat malam, belasan relawan CIS Timor, rekan-rekan Swisscontact, Hasrul Kokoh dan saya dari Pantau, melepas lelah dengan mencicipi sirloin steak dan bir dingin di restoran Rotterdam di kawasan Jalan Walikota.
Kokoh adalah anggota Yayasan Pantau yang akan melanjutkan tahap berikutnya kerja kami dengan bikin pemetaan media di Kupang bersama lima rekan Kupang.
Dua hari penuh menelepon ulang peserta, meminjam pot bunga, memasang spanduk, mengatur disain ruang bahkan memindahkan ruang seminar pada malam terakhir, rasanya, cukup bikin penat. Mencicipi steak yang manis dan bir yang dingin rasanya cukup membantu lepas lelah.
Friday, July 22, 2005
Wednesday, July 20, 2005
Seminar Universitas Flores Ende
Rabu ini Yayasan Pantau bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Flores dan Swisscontact bikin seminar soal jurnalisme di Ende, Pulau Flores, bersama Frans Anggal dari harian Flores Pos dan saya, mewakili Yayasan Pantau.
Esti Wahyuni dari Pantau membantu persiapan seminar ini maupun memimpin penelitian media selama 45 hari ke depan.
Lumayan besar sambutan hari ini. Saya bicara pada sesi pertama, pukul 10:00 hingga 12:00, lalu makan siang, dan Anggal pada sesi kedua, pukul 13:00 hingga 15:00.
Kami senang karena peserta relatif bertambah. Bukannya berkurang. Mereka juga bertahan. Mungkin karena seminar beginian agak jarang diadakan di Ende. Ruangan sederhana. Ende bagaimana pun kota kecil untuk ukuran Pulau Jawa. Kampus Universitas Flores juga hanya berlantai semen. Kusen-kusen jendela dari kayu kasar.
Namun Universitas Flores merayakan Pesta Perak 25 tahun pada 19 Juli 2005 sehingga kegiatan ini tergabung dengan acara lain selama tiga minggu terakhir ini.
Kami mengirim undangan 30-an orang dan peserta yang datang ada 43 orang. Mereka beragam, dari mahasiswa hingga pengusaha koperasi, dari pegawai pemerintah hingga dosen dan wartawan. Tema diskusi ini, "Bagaimana Majukan Kita Orang Punya Jurnalisme?"
Saya lebih banyak bicara soal "Sembilan Elemen Jurnalisme" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Materi ini sering saya bawakan. Terkadang agak bosan juga tapi rekan-rekan minta saya tetap membawakan materi ini.
Frans Anggal bicara soal sejarah Flores Pos. Bagaimana harian ini didirikan pada 1999. Bagaimana ia berhasil mengangkat beberapa isu penting. Misalnya, pemindahan Komando Militer dari Dili ke Flores (mereka menolak) maupun pembentukan Flores sebagai satu provinsi (mereka advokasi satu provinsi).
Anggal juga mengatakan perubahan badan hukum, dari yayasan ke perseroan terbatas, serta kepemilikan Flores Pos oleh Ordo Katholik SVD (Society of the Divine World). Acara bersifat interaktif. Orang boleh bertanya dan membantah saat diskusi berjalan.
Etih Suryanti dari Swisscontact juga sempat presentasi soal program mereka di Nusa Tenggara Timur.Ada banyak usul dan kritik soal mutu jurnalisme di Ende maupun Jakarta. Kami menyebarkan lembar evaluasi. Hasilnya, lumayan banyak yang memuji, kebanyakan minta diadakan lagi.
"Ingatlah kami! Bantulah kami! Bangunkan kami! Beranikah kami! Angkatlah kami!" kata Afra Nyago dari Universitas Flores.
Tapi ada kekurangan. Misalnya, jumlah bacaan yang tersedia tak sesuai denganjumlah peserta. Ada peserta berpendapat "basic dan background" yang saya pakai, misalnya tentang Jakarta dan Amerika, "terlalu jauh ... yang tentu sulit untuk dimengerti oleh peserta secara umum." Ada juga yang berpendapat jumlah makanan terlalu banyak (Saya mencicipi rumpu rampe semacam sayur campur oseng-oseng ala Flores).
Kami belum melakukan evaluasi. Saya kira Etin, Esti dan Mansyur Abdul Hamid, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Flores, akan bikin evaluasi berdasarkan semua masukan itu.
Besok saya akan terbang ke Kupang menemui Hasrul Kokoh, rekan Pantau lain, yang menyiapkan acara serupa di Kupang. Kokoh bekerja sama dengan CIS Timor.
Lumayan capek juga karena baru tiba dari Jakarta hari Senin via Kupang. Selasa subuh ke airport untuk terbang ke Ende.
Saya kira sekian dulu. Sudah mulai siap makan malam nih. Besok subuh mau mendaki Gunung Meja.
Pelabuhan Ende di sore hari. Saya mengambil foto ini sesudah seminar selesai. Saya pakai sebagai screen saver. Kalau Anda mau, silahkan download, ukurannya 5 Mega Pixel.
Esti Wahyuni dari Pantau membantu persiapan seminar ini maupun memimpin penelitian media selama 45 hari ke depan.
Lumayan besar sambutan hari ini. Saya bicara pada sesi pertama, pukul 10:00 hingga 12:00, lalu makan siang, dan Anggal pada sesi kedua, pukul 13:00 hingga 15:00.
Kami senang karena peserta relatif bertambah. Bukannya berkurang. Mereka juga bertahan. Mungkin karena seminar beginian agak jarang diadakan di Ende. Ruangan sederhana. Ende bagaimana pun kota kecil untuk ukuran Pulau Jawa. Kampus Universitas Flores juga hanya berlantai semen. Kusen-kusen jendela dari kayu kasar.
Namun Universitas Flores merayakan Pesta Perak 25 tahun pada 19 Juli 2005 sehingga kegiatan ini tergabung dengan acara lain selama tiga minggu terakhir ini.
Kami mengirim undangan 30-an orang dan peserta yang datang ada 43 orang. Mereka beragam, dari mahasiswa hingga pengusaha koperasi, dari pegawai pemerintah hingga dosen dan wartawan. Tema diskusi ini, "Bagaimana Majukan Kita Orang Punya Jurnalisme?"
Saya lebih banyak bicara soal "Sembilan Elemen Jurnalisme" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Materi ini sering saya bawakan. Terkadang agak bosan juga tapi rekan-rekan minta saya tetap membawakan materi ini.
Frans Anggal bicara soal sejarah Flores Pos. Bagaimana harian ini didirikan pada 1999. Bagaimana ia berhasil mengangkat beberapa isu penting. Misalnya, pemindahan Komando Militer dari Dili ke Flores (mereka menolak) maupun pembentukan Flores sebagai satu provinsi (mereka advokasi satu provinsi).
Anggal juga mengatakan perubahan badan hukum, dari yayasan ke perseroan terbatas, serta kepemilikan Flores Pos oleh Ordo Katholik SVD (Society of the Divine World). Acara bersifat interaktif. Orang boleh bertanya dan membantah saat diskusi berjalan.
Etih Suryanti dari Swisscontact juga sempat presentasi soal program mereka di Nusa Tenggara Timur.Ada banyak usul dan kritik soal mutu jurnalisme di Ende maupun Jakarta. Kami menyebarkan lembar evaluasi. Hasilnya, lumayan banyak yang memuji, kebanyakan minta diadakan lagi.
"Ingatlah kami! Bantulah kami! Bangunkan kami! Beranikah kami! Angkatlah kami!" kata Afra Nyago dari Universitas Flores.
Tapi ada kekurangan. Misalnya, jumlah bacaan yang tersedia tak sesuai denganjumlah peserta. Ada peserta berpendapat "basic dan background" yang saya pakai, misalnya tentang Jakarta dan Amerika, "terlalu jauh ... yang tentu sulit untuk dimengerti oleh peserta secara umum." Ada juga yang berpendapat jumlah makanan terlalu banyak (Saya mencicipi rumpu rampe semacam sayur campur oseng-oseng ala Flores).
Kami belum melakukan evaluasi. Saya kira Etin, Esti dan Mansyur Abdul Hamid, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Flores, akan bikin evaluasi berdasarkan semua masukan itu.
Besok saya akan terbang ke Kupang menemui Hasrul Kokoh, rekan Pantau lain, yang menyiapkan acara serupa di Kupang. Kokoh bekerja sama dengan CIS Timor.
Lumayan capek juga karena baru tiba dari Jakarta hari Senin via Kupang. Selasa subuh ke airport untuk terbang ke Ende.
Saya kira sekian dulu. Sudah mulai siap makan malam nih. Besok subuh mau mendaki Gunung Meja.
Pelabuhan Ende di sore hari. Saya mengambil foto ini sesudah seminar selesai. Saya pakai sebagai screen saver. Kalau Anda mau, silahkan download, ukurannya 5 Mega Pixel.
Tuesday, July 19, 2005
Aceh Deal May Give Regional Parties a Chance
Analysis by Andreas Harsono
KUPANG, Indonesia, Jul 19 (IPS) - Devastating though it was, the Asian tsunami brought the proverbial winds of change to Indonesia by focusing international attention on the festering conflict in Aceh province and creating conditions for a political settlement that may yet instruct other ethnic groups.
Many would call the deal between the Indonesian government and the Free Acheh Movement (GAM), signed in Helsinki on Sunday a 'sell-out' but it is hard not to spot in it a model that could be replicated as Jakarta moves to deal with other regional movements in this far-flung archipelago.
Just about a week after the Dec. 26, 2004 tsunami struck the coasts of Aceh the first round of talks began to take place in Helsinki under the auspices of former Finnish president Martti Ahtisaari, government negotiators were surprised by GAM leaders saying they were ready to contest elections, rather than push for independence.
''It is only through the establishment of an open, democratic and plural process that we can guarantee a peaceful political future, facilitate post-tsunami reconstruction and enhance social and economic development in Aceh,'' said GAM spokesman Bakhtiar Abdullah.
Suddenly, for the first time in 30 years there was an end in sight to one of Southeast Asia's bloodiest conflicts, that had already consumed 15,000 lives, and the possibility of removing the paranoia of Javanese political leaders and intellectuals that Indonesia was about to disintegrate.
The idea itself is not new. About three or four years ago academics and intellectuals began suggesting that the way forward to end the armed conflict lay in tapping on the interest shown by GAM to form a regional political party based in Aceh at the northern tip of Sumatra island.
Donald K. Emmerson, a political scientist at Stanford University is among those who have suggested that the Indonesian government consider changing its Java-centric political system to accommodate regionalism as an option.
''It (allowing space for regional parties) has a tendency to moderate formerly radical positions. What if, in Algeria, the elections had been honoured? In Iran, the revolution is over. There is a movement toward the centre,'' said Emmerson.
Examples to support the view abound across Asia. It was refusal to honour the results of an election which would have seen Sheikh Mujibur Rahman, the leader of the Dhaka-based Awami League party as prime minister of a united Pakistan that led to civil war and the creation of Bangladesh in 1971.
In Indonesia, the idea was not seen kindly by the Jakarta-based media, in spite of the press freedom gained from the overthrow of the authoritarian Suharto regime.
Worse than that, well-known editors openly favoured an Aceh that is integral to the Unitarian State of the Republic of Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia or NKRI).
''We journalists should be red-and-white first and defend the NKRI,'' declared Derek Manangka, the news director of RCTI, Indonesia's largest private channel, while talking at a seminar on coverage of the war in Aceh. (The Indonesian flag is often referred to as red-and-white).
Suryopratomo, the chief editor of Kompas, the largest daily newspaper, said it was better that Indonesia's 'stubborn' territories remained within the republic even if human rights abuses and injustice takes place in Aceh, Papua and others. ''Still it is better to be united in this age of global competition,'' he said.
The idea, however, trickled into Stockholm, where most GAM leaders live in exile. GAM is the Malay acronym of the Free Acheh Movement (Gerakan Acheh Merdeka). They claimed that Indonesia had become a vehicle for a ''Javanese nation''.
Javanese form about 45 percent of Indonesia's population and are based on the island of Java where the national capital is located.
When Hasan di Tiro, the head of GAM, declared an independent 'Acheh' in 1976 he started out by using a different spelling 'Acheh' rather than 'Aceh' as a mark of distinct identity. Later, many Achenese, however that is spelt, realised that their land was resource rich and that much of its income was being siphoned away to Java and Jakarta.
Before long the Indonesian army cracked down hard on the rebels. Since the 1980s, human rights groups have been accusing the Indonesian army of executions, disappearances, torture, rape and collective punishment of civilians.
But the tsunami changed all that with thousands of foreigners pouring into flooded Banda Aceh as well as Aceh province's urbanised areas like Meulaboh, Sigli and Lhokseumawe.
Murizal Hamzah, an Acehnese journalist of the 'Sinar Harapan' newspaper, described the tsunami as ''a blessing in disguise,'' for it gave a chance for the Achenese cause to become internationalised.
As with the Tamil Eelam cause in Sri Lanka, the international community wanted reconstruction efforts to go hand in hand with the peace process.
Sunday's Helsinki pact could not have been an easy bargain for President Susilo Bambang Yudhoyono.
Under Indonesian law, parties must be headquartered in Jakarta and have branches in more than half of Indonesia's 33 provinces. Yudhoyono was reluctant to change the law to accommodate GAM, fearing similar demands from other ethnic or religious groups.
He offered instead to let GAM stand under the umbrella of existing political parties but nationalist legislators objected to even that as too big a concession. And they wanted the army to continue with repression.
Indonesian Information Minister Sofyan Djalil, although himself an Acehnese and a negotiator in Helsinki, rejected the GAM proposal for a ''national Aceh party.'' Djalil argued that Indonesia never had a place for ethnic or regional political parties.
Djalil was wrong. In Indonesia's first election in 1955, ethnic-based parties were accepted and contestants included the Daya Party which represented the Dayak tribes people on Kalimantan island.
''Such restrictions mean that Indonesia's political parties are controlled from Jakarta,'' Bakhtiar Abdullah said. "We reject such centralised control which does not and cannot reflect the wishes of the people of Acheh.''
''If the government of Indonesia really wants to preserve the unity of the state, it must meet the legitimate, democratic aspirations of its citizens,'' said Abdullah.
By the fifth round of talks in July, Abdullah's ideas had begun to take hold and Vice President Jusuf Kalla, persuaded his chief negotiator Hamid Awaluddin to push for an 18- month period during which preparations could be made for provincial elections and GAM agreed.
Liem Sioe Liong of the London-based 'Tapol' human rights group, which focuses its work on Indonesia, believes that a key factor in the settlement is the fact that the two politicians involved were ethnic Bugis and understood better the aspiration of groups outside Java Island.
Both Kalla and Awaluddin are Bugis from southern Sulawesi island at the eastern end of the archipelago. Yudhoyono, just like most Indonesian presidents, is Javanese.
''Maybe those Bugis politicians also thought that they might set up their own Bugis political parties if the Achenese are allowed to have one,'' said Liem.
But it is still a long way from peace as the Helsinki deal is to demand rigorous socialisation and implementation measures.
Will the Java-based political parties support the deal? Will the Jakarta media put aside its bias? How will Yudhoyono overcome his stubborn army? Only time can provide the answers to these questions. (END/2005)
KUPANG, Indonesia, Jul 19 (IPS) - Devastating though it was, the Asian tsunami brought the proverbial winds of change to Indonesia by focusing international attention on the festering conflict in Aceh province and creating conditions for a political settlement that may yet instruct other ethnic groups.
Many would call the deal between the Indonesian government and the Free Acheh Movement (GAM), signed in Helsinki on Sunday a 'sell-out' but it is hard not to spot in it a model that could be replicated as Jakarta moves to deal with other regional movements in this far-flung archipelago.
Just about a week after the Dec. 26, 2004 tsunami struck the coasts of Aceh the first round of talks began to take place in Helsinki under the auspices of former Finnish president Martti Ahtisaari, government negotiators were surprised by GAM leaders saying they were ready to contest elections, rather than push for independence.
''It is only through the establishment of an open, democratic and plural process that we can guarantee a peaceful political future, facilitate post-tsunami reconstruction and enhance social and economic development in Aceh,'' said GAM spokesman Bakhtiar Abdullah.
Suddenly, for the first time in 30 years there was an end in sight to one of Southeast Asia's bloodiest conflicts, that had already consumed 15,000 lives, and the possibility of removing the paranoia of Javanese political leaders and intellectuals that Indonesia was about to disintegrate.
The idea itself is not new. About three or four years ago academics and intellectuals began suggesting that the way forward to end the armed conflict lay in tapping on the interest shown by GAM to form a regional political party based in Aceh at the northern tip of Sumatra island.
Donald K. Emmerson, a political scientist at Stanford University is among those who have suggested that the Indonesian government consider changing its Java-centric political system to accommodate regionalism as an option.
''It (allowing space for regional parties) has a tendency to moderate formerly radical positions. What if, in Algeria, the elections had been honoured? In Iran, the revolution is over. There is a movement toward the centre,'' said Emmerson.
Examples to support the view abound across Asia. It was refusal to honour the results of an election which would have seen Sheikh Mujibur Rahman, the leader of the Dhaka-based Awami League party as prime minister of a united Pakistan that led to civil war and the creation of Bangladesh in 1971.
In Indonesia, the idea was not seen kindly by the Jakarta-based media, in spite of the press freedom gained from the overthrow of the authoritarian Suharto regime.
Worse than that, well-known editors openly favoured an Aceh that is integral to the Unitarian State of the Republic of Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia or NKRI).
''We journalists should be red-and-white first and defend the NKRI,'' declared Derek Manangka, the news director of RCTI, Indonesia's largest private channel, while talking at a seminar on coverage of the war in Aceh. (The Indonesian flag is often referred to as red-and-white).
Suryopratomo, the chief editor of Kompas, the largest daily newspaper, said it was better that Indonesia's 'stubborn' territories remained within the republic even if human rights abuses and injustice takes place in Aceh, Papua and others. ''Still it is better to be united in this age of global competition,'' he said.
The idea, however, trickled into Stockholm, where most GAM leaders live in exile. GAM is the Malay acronym of the Free Acheh Movement (Gerakan Acheh Merdeka). They claimed that Indonesia had become a vehicle for a ''Javanese nation''.
Javanese form about 45 percent of Indonesia's population and are based on the island of Java where the national capital is located.
When Hasan di Tiro, the head of GAM, declared an independent 'Acheh' in 1976 he started out by using a different spelling 'Acheh' rather than 'Aceh' as a mark of distinct identity. Later, many Achenese, however that is spelt, realised that their land was resource rich and that much of its income was being siphoned away to Java and Jakarta.
Before long the Indonesian army cracked down hard on the rebels. Since the 1980s, human rights groups have been accusing the Indonesian army of executions, disappearances, torture, rape and collective punishment of civilians.
But the tsunami changed all that with thousands of foreigners pouring into flooded Banda Aceh as well as Aceh province's urbanised areas like Meulaboh, Sigli and Lhokseumawe.
Murizal Hamzah, an Acehnese journalist of the 'Sinar Harapan' newspaper, described the tsunami as ''a blessing in disguise,'' for it gave a chance for the Achenese cause to become internationalised.
As with the Tamil Eelam cause in Sri Lanka, the international community wanted reconstruction efforts to go hand in hand with the peace process.
Sunday's Helsinki pact could not have been an easy bargain for President Susilo Bambang Yudhoyono.
Under Indonesian law, parties must be headquartered in Jakarta and have branches in more than half of Indonesia's 33 provinces. Yudhoyono was reluctant to change the law to accommodate GAM, fearing similar demands from other ethnic or religious groups.
He offered instead to let GAM stand under the umbrella of existing political parties but nationalist legislators objected to even that as too big a concession. And they wanted the army to continue with repression.
Indonesian Information Minister Sofyan Djalil, although himself an Acehnese and a negotiator in Helsinki, rejected the GAM proposal for a ''national Aceh party.'' Djalil argued that Indonesia never had a place for ethnic or regional political parties.
Djalil was wrong. In Indonesia's first election in 1955, ethnic-based parties were accepted and contestants included the Daya Party which represented the Dayak tribes people on Kalimantan island.
''Such restrictions mean that Indonesia's political parties are controlled from Jakarta,'' Bakhtiar Abdullah said. "We reject such centralised control which does not and cannot reflect the wishes of the people of Acheh.''
''If the government of Indonesia really wants to preserve the unity of the state, it must meet the legitimate, democratic aspirations of its citizens,'' said Abdullah.
By the fifth round of talks in July, Abdullah's ideas had begun to take hold and Vice President Jusuf Kalla, persuaded his chief negotiator Hamid Awaluddin to push for an 18- month period during which preparations could be made for provincial elections and GAM agreed.
Liem Sioe Liong of the London-based 'Tapol' human rights group, which focuses its work on Indonesia, believes that a key factor in the settlement is the fact that the two politicians involved were ethnic Bugis and understood better the aspiration of groups outside Java Island.
Both Kalla and Awaluddin are Bugis from southern Sulawesi island at the eastern end of the archipelago. Yudhoyono, just like most Indonesian presidents, is Javanese.
''Maybe those Bugis politicians also thought that they might set up their own Bugis political parties if the Achenese are allowed to have one,'' said Liem.
But it is still a long way from peace as the Helsinki deal is to demand rigorous socialisation and implementation measures.
Will the Java-based political parties support the deal? Will the Jakarta media put aside its bias? How will Yudhoyono overcome his stubborn army? Only time can provide the answers to these questions. (END/2005)
Saturday, July 09, 2005
Time Sheet Menulis Buku
Sabtu ini saya belajar sesuatu dari Widiyanto, seorang redaktur jurnal hukum Jentera dan alumnus kursus jurnalisme sastrawi, tentang bagaimana menjaga disiplin bekerja. Wiwid kebetulan lagi main ke tempat saya. Ia tanya soal bagaimana perkembangan buku saya?
Saya memang lagi mengerjakan buku soal mitos nasionalisme Indonesia. Ini political travelogue. Saya kerjakan sebagai cerita perjalanan dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Ndana. Miangas ada di kepulauan Talaud. Ndana terletak paling selatan Indonesia, dekat Pulau Rote.
Saya jawab bahwa ada banyak kesulitan menjaga disiplin bekerja, terutama menulis draft buku. Saya mengatakan bahwa perhatian saya banyak pecah dengan pekerjaan lain, mulai dari mengurus pekerjaan Pantau hingga meladeni tamu yang datang ke tempat saya. Saya juga masih harus mencari tambahan penghasilan dengan bekerja freelance. Ini sering bikin buku tersendat-sendat. Padahal deadline makin dekat: September (saya lagi usaha agar bisa dapat tambahan grant menulis).
Bukan mau menyalahkan orang lain. Saya sangat suka bekerja untuk Pantau. Organisasi ini adalah organisasi yang tujuannya mulia. Rekan-rekan Pantau juga menyenangkan. Saya sekaligus senang mengobrol dengan teman-teman ini maupun menjawab pertanyaan para mahasiswa. Hasilnya, juga tidak terlalu jelek. Saya kira, perlahan-lahan Yayasan Pantau mulai membayar utang-utangnya serta bekerja mengembangkan program baru.
Hasrul Kokoh dan Esti Wahyuni bulan ini akan mulai melakukan penelitian di Kupang dan Ende. Sejak April lalu, kita juga bekerja melatih wartawan-wartawan harian Bisnis Indonesia untuk memakai byline dan menulis lebih baik. Harapannya, 1 Agustus nanti mereka sudah mulai berubah (ukuran jadi delapan kolom). Kita juga lagi siap-siap dengan program Aceh pertengahan Agustus. Ini belum lagi persiapan program Papua. Budi Setiyono lagi membangun semangat mengerjakan buku antologi"Jurnalisme Sastrawi." Eva Danayanti membantu persiapan program pers mahasiswa di Pontianak dan Bandar Lampung. Saya cuma memimpin rapat tiap Senin tapi namanya juga ketua. Ada saja tanggungjawabnya.
Di sisi lain, kerewelan saya dalam menulis juga bukan barang baru. Mungkin agak "notorious." Rekan kita, Agus Sopian, sering mengolok-olok saya"terlalu banyak ritual" bila hendak menulis:
- harus mandi lebih dulu;
- harus sepi;
- harus sudah makan;
- harus rapikan meja kerja;
- suhu AC harus dingin dan sebagainya.
Ketika Yayasan Pantau kedatangan beberapa tamu dari Amerika Serikat bulan Mei lalu, Harriet Rubin, penulis buku "The Princessa: Machiavelli for Women," juga mengingatkan saya agar disiplin setiap hari menulis draft buku. Minimal empat jam sehari.
Alamak!
Saya sering bekerja tanpa disiplin. Hari ini membaca, besok menulis, lusa tak menyentuh buku sama sekali. Ini belum lagi terpotong oleh perjalanan ke Aceh, Papua, Timor dan sebagainya. Ini belum lagi rasa sakit hati bila membaca isu-isu yang bikin saya marah. Saya sering harus berhenti membaca karena merasa marah. Saya sering merasa kuatir bila bacaan saya tak lengkap. Kapan buku selesai bila terus begini?
Saya sering merasa down bila mengetahui ada isu baru yang seumur hidup belum pernah saya ketahui. Bayangkan saya sudah hidup di Indonesia 40 tahun tapi tak tahu misalnya soal plebisit di Pulau Madura atau pembunuhan 3000 lebih orang Tionghoa di Kalimantan Barat.
Saya juga punya anak, Norman, yang wajib saya perhatikan: makan,mandi, belajar, membaca buku, bermain dan sebagainya. Bulan lalu, Norman masuk rumah sakit karena pneumonia. Saya jaga dia di Siloam Gleneagles bersama ibunya. Beruntung, Norman cepat sembuh. Ia juga anak yang pengertian, yang selalu mengecilkan volume televisi bila saya mulai menjalankan "ritual." Norman mengerti kegelisahan saya pada buku ini.
Disinilah Wiwid memperkenalkan cara yang mungkin efektif untuk jaga disiplin. Ia usul agar saya membuat time sheet. Tiap hari saya mengisi time sheet itu. Hari ini kerja apa, berapa jam, membaca buku apa saja, melihat draft bab berapa dan seterusnya. Kelihatannya sederhana tapi time sheet ini sering berguna agar kitasenantiasa ingat pada pekerjaan. Dulu ketika sesekali bekerja sebagai konsultan untuk organisasi media internasional, saya memakai time sheet untuk hitung produktifitas.
Saya akan pakai cara ini dalam penulisan buku saya. Bagaimana pun, saya ingin buku soal mitos nasionalisme Indonesia ini bakal jadi "fire in my belly." Saya ingin ia jadi buku yang tak dinilai orang enteng karena saya tak membaca dengan benar. Saya hendak menulis buku yang mudah dibaca, menarik (engaging), dasarnya kuat sekaligus memperlihatkan orang bahwa saya tahu bacaan-bacaan sebelumnya. Saya ingin analisisnya dalam.
Saya akan membaca semua naskah klasik soal nasionalisme, mulai dari George Kahin hingga Jamie Davidson, dari Benedict Anderson hingga Gerry van Klinken, semua naskah penting soal pertikaian agama-etnik-bangsa di Indonesia.
Mudah-mudahan pembuatan time sheet ini membantu saya konsentrasi.
Saya benar-benar lagi berjuang dan bekerja keras menulis draft buku ini.
Tantangan terberatnya adalah mengalahkan diri sendiri.
Saya memang lagi mengerjakan buku soal mitos nasionalisme Indonesia. Ini political travelogue. Saya kerjakan sebagai cerita perjalanan dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Ndana. Miangas ada di kepulauan Talaud. Ndana terletak paling selatan Indonesia, dekat Pulau Rote.
Saya jawab bahwa ada banyak kesulitan menjaga disiplin bekerja, terutama menulis draft buku. Saya mengatakan bahwa perhatian saya banyak pecah dengan pekerjaan lain, mulai dari mengurus pekerjaan Pantau hingga meladeni tamu yang datang ke tempat saya. Saya juga masih harus mencari tambahan penghasilan dengan bekerja freelance. Ini sering bikin buku tersendat-sendat. Padahal deadline makin dekat: September (saya lagi usaha agar bisa dapat tambahan grant menulis).
Bukan mau menyalahkan orang lain. Saya sangat suka bekerja untuk Pantau. Organisasi ini adalah organisasi yang tujuannya mulia. Rekan-rekan Pantau juga menyenangkan. Saya sekaligus senang mengobrol dengan teman-teman ini maupun menjawab pertanyaan para mahasiswa. Hasilnya, juga tidak terlalu jelek. Saya kira, perlahan-lahan Yayasan Pantau mulai membayar utang-utangnya serta bekerja mengembangkan program baru.
Hasrul Kokoh dan Esti Wahyuni bulan ini akan mulai melakukan penelitian di Kupang dan Ende. Sejak April lalu, kita juga bekerja melatih wartawan-wartawan harian Bisnis Indonesia untuk memakai byline dan menulis lebih baik. Harapannya, 1 Agustus nanti mereka sudah mulai berubah (ukuran jadi delapan kolom). Kita juga lagi siap-siap dengan program Aceh pertengahan Agustus. Ini belum lagi persiapan program Papua. Budi Setiyono lagi membangun semangat mengerjakan buku antologi"Jurnalisme Sastrawi." Eva Danayanti membantu persiapan program pers mahasiswa di Pontianak dan Bandar Lampung. Saya cuma memimpin rapat tiap Senin tapi namanya juga ketua. Ada saja tanggungjawabnya.
Di sisi lain, kerewelan saya dalam menulis juga bukan barang baru. Mungkin agak "notorious." Rekan kita, Agus Sopian, sering mengolok-olok saya"terlalu banyak ritual" bila hendak menulis:
- harus mandi lebih dulu;
- harus sepi;
- harus sudah makan;
- harus rapikan meja kerja;
- suhu AC harus dingin dan sebagainya.
Ketika Yayasan Pantau kedatangan beberapa tamu dari Amerika Serikat bulan Mei lalu, Harriet Rubin, penulis buku "The Princessa: Machiavelli for Women," juga mengingatkan saya agar disiplin setiap hari menulis draft buku. Minimal empat jam sehari.
Alamak!
Saya sering bekerja tanpa disiplin. Hari ini membaca, besok menulis, lusa tak menyentuh buku sama sekali. Ini belum lagi terpotong oleh perjalanan ke Aceh, Papua, Timor dan sebagainya. Ini belum lagi rasa sakit hati bila membaca isu-isu yang bikin saya marah. Saya sering harus berhenti membaca karena merasa marah. Saya sering merasa kuatir bila bacaan saya tak lengkap. Kapan buku selesai bila terus begini?
Saya sering merasa down bila mengetahui ada isu baru yang seumur hidup belum pernah saya ketahui. Bayangkan saya sudah hidup di Indonesia 40 tahun tapi tak tahu misalnya soal plebisit di Pulau Madura atau pembunuhan 3000 lebih orang Tionghoa di Kalimantan Barat.
Saya juga punya anak, Norman, yang wajib saya perhatikan: makan,mandi, belajar, membaca buku, bermain dan sebagainya. Bulan lalu, Norman masuk rumah sakit karena pneumonia. Saya jaga dia di Siloam Gleneagles bersama ibunya. Beruntung, Norman cepat sembuh. Ia juga anak yang pengertian, yang selalu mengecilkan volume televisi bila saya mulai menjalankan "ritual." Norman mengerti kegelisahan saya pada buku ini.
Disinilah Wiwid memperkenalkan cara yang mungkin efektif untuk jaga disiplin. Ia usul agar saya membuat time sheet. Tiap hari saya mengisi time sheet itu. Hari ini kerja apa, berapa jam, membaca buku apa saja, melihat draft bab berapa dan seterusnya. Kelihatannya sederhana tapi time sheet ini sering berguna agar kitasenantiasa ingat pada pekerjaan. Dulu ketika sesekali bekerja sebagai konsultan untuk organisasi media internasional, saya memakai time sheet untuk hitung produktifitas.
Saya akan pakai cara ini dalam penulisan buku saya. Bagaimana pun, saya ingin buku soal mitos nasionalisme Indonesia ini bakal jadi "fire in my belly." Saya ingin ia jadi buku yang tak dinilai orang enteng karena saya tak membaca dengan benar. Saya hendak menulis buku yang mudah dibaca, menarik (engaging), dasarnya kuat sekaligus memperlihatkan orang bahwa saya tahu bacaan-bacaan sebelumnya. Saya ingin analisisnya dalam.
Saya akan membaca semua naskah klasik soal nasionalisme, mulai dari George Kahin hingga Jamie Davidson, dari Benedict Anderson hingga Gerry van Klinken, semua naskah penting soal pertikaian agama-etnik-bangsa di Indonesia.
Mudah-mudahan pembuatan time sheet ini membantu saya konsentrasi.
Saya benar-benar lagi berjuang dan bekerja keras menulis draft buku ini.
Tantangan terberatnya adalah mengalahkan diri sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)