Ada banyak wartawan datang buat mengucapkan selamat kepada Steele, juga bersua dengan sesama wartawan, dari Aristides Katoppo (Sinar Harapan) hingga Abdullah Alamudi (mantan Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post), Rahman Tolleng (mantan Suara Karya) serta banyak orang Tempo: Goenawan Mohamad, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Amarzan Loebis, Toriq Hadad, Zulkifli Arif, Seno Joko Suyono dan sebagainya.
Saya juga ikut datang, minta tanda tangan dari Steele, juga kawan saya. Berbagai pidato, dari Steele maupun hadirin, bikin suasana akrab. Saya senang bertemu dengan begitu banyak wartawan yang memperjuangkan kebebasan pers dalam beberapa dekade di Indonesia.
Saya kenal Rahman Tolleng sejak akhir 1980-an sesudah membaca buku akademikus Perancis, Francois Raillon, soal suratkabar Mahasiswa Indonesia. Ini mungkin penerbitan mahasiswa paling besar dalam sejarah Indonesia. Sirkulasinya pernah mencapai 25,000 setiap terbit. Rahman juga belakangan jadi nara sumber rutin saya untuk mengetahui sejarah dan intrik kekuasaan di Indonesia.
Aristides Katoppo, mantan redaktur harian Sinar Harapan, disebut Janet Steele sebagai “malaikat penjaga” pada proses penulisan buku ini. Ketika Steele sedang susah, Katoppo selalu muncul dengan kata-kata yang membesarkan hati.
Saya pribadi kenal “Pak Tides” sejak 1988 ketika magang sebulan di harian Suara Pembaruan. Ketika Suharto pergi, Katoppo bersama-sama H.G. Rorimpandey dan orang-orang Sinar Harapan lain, mendirikan lagi harian sore Sinar Harapan.
Saya sempat tidak percaya hingga ketemu langsung dengannya. Ia tersenyum dan bilang masih ada peluang menerbitkan Sinar Harapan lagi.
Katoppo seorang yang sabar. Orang Minahasa ini suka pesan bubur Manado. Dia bilang makan bubur harus dari pinggir agar tak kepanasan. Maksudnya, jangan terburu-buru.
Saya pribadi kenal “Pak Tides” sejak 1988 ketika magang sebulan di harian Suara Pembaruan. Ketika Suharto pergi, Katoppo bersama-sama H.G. Rorimpandey dan orang-orang Sinar Harapan lain, mendirikan lagi harian sore Sinar Harapan.
Saya sempat tidak percaya hingga ketemu langsung dengannya. Ia tersenyum dan bilang masih ada peluang menerbitkan Sinar Harapan lagi.
Katoppo seorang yang sabar. Orang Minahasa ini suka pesan bubur Manado. Dia bilang makan bubur harus dari pinggir agar tak kepanasan. Maksudnya, jangan terburu-buru.
Keluarga Atmakusumah Astraatmadja juga datang pada pesta ini. Atmakusumah (ayah) , Sri Rumiati (ibu) dan Tri Laksmana Astraatmadja (anak) minta saya memotret mereka bersama Janet Steele. Si anak bungsu Tri kini sedang menyelesaikan kuliah astronomi di Institut Teknologi Bandung. Ia juga senang memotret.
Atmakusumah seorang wartawan terhormat. Ia pernah bekerja untuk harian Indonesia Raya serta mengajar jurnalisme di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Ia diberi Hadiah Magsaysay dari Manila pada tahun 2000 karena jasanya terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. Ini semacam hadiah Nobel khusus Asia.
Saya selalu ingat “Pak Atma” karena ia murah senyum. Dia tersenyum juga kalau kalau saya, sebagai orang yang lebih muda, melancarkan kritik terhadap bengkak-bengkoknya jurnalisme di Jakarta. Dia setuju dengan berbagai kritik saya terhadap praktek-praktek jurnalisme di Indonesia. Dia dorong saya buat menuliskannya.
Suatu malam, kami berdua pernah minum berdua di satu hotel Bangkok. Kami sama ikut sebuah pertemuan media Asia Tenggara. Penyanyi bar elok membawakan lagu-lagu dansa. Astraatmadja menyatakan keinginannya “berdansa dengan Sri.”
Aduh, aduh, lalu ia pun cerita romance-nya dengan Sri selama hampir 50 tahun. Atma orang Sunda-Banten. Sri gadis Jawa. Mereka berkenalan ketika sama bekerja buat Indonesia Raya.
I will never forget this romantic story.
Atmakusumah seorang wartawan terhormat. Ia pernah bekerja untuk harian Indonesia Raya serta mengajar jurnalisme di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Ia diberi Hadiah Magsaysay dari Manila pada tahun 2000 karena jasanya terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. Ini semacam hadiah Nobel khusus Asia.
Saya selalu ingat “Pak Atma” karena ia murah senyum. Dia tersenyum juga kalau kalau saya, sebagai orang yang lebih muda, melancarkan kritik terhadap bengkak-bengkoknya jurnalisme di Jakarta. Dia setuju dengan berbagai kritik saya terhadap praktek-praktek jurnalisme di Indonesia. Dia dorong saya buat menuliskannya.
Suatu malam, kami berdua pernah minum berdua di satu hotel Bangkok. Kami sama ikut sebuah pertemuan media Asia Tenggara. Penyanyi bar elok membawakan lagu-lagu dansa. Astraatmadja menyatakan keinginannya “berdansa dengan Sri.”
Aduh, aduh, lalu ia pun cerita romance-nya dengan Sri selama hampir 50 tahun. Atma orang Sunda-Banten. Sri gadis Jawa. Mereka berkenalan ketika sama bekerja buat Indonesia Raya.
I will never forget this romantic story.
Steele juga gembira bertemu dengan Rahman Tolleng, mantan pemimpin redaksi suratkabar Mahasiswa Indonesia (Bandung) serta Suara Karya (Jakarta). Rahman juga dikenal sebagai aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an bersama Abdurrahman Wahid dan Marsillam Simandjuntak.
Saya kenal Rahman Tolleng sejak akhir 1980-an sesudah membaca buku akademikus Perancis, Francois Raillon, soal suratkabar Mahasiswa Indonesia. Ini mungkin penerbitan mahasiswa paling besar dalam sejarah Indonesia. Sirkulasinya pernah mencapai 25,000 setiap terbit. Rahman juga belakangan jadi nara sumber rutin saya untuk mengetahui sejarah dan intrik kekuasaan di Indonesia.
Ruang kerja kami berdekatan ketika saya bekerja buat Institut Studi Arus Informasi dan dia bekerja buat PT Grafiti Pers, sebuah perusahaan penerbitan buku, di sebuah halaman di Utan Kayu, Jakarta. Jarak ruangan kami tak sampai 5 meter. Kami sering duduk bersama, saat makan siang di Kedai Tempo.
Dia orang pertama yang memperkirakan bahwa Presiden Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya pada akhir 1997 ketika belum ada yang mengira Soeharto bisa dipaksa mundur.
Dia orang pertama yang memperkirakan bahwa Presiden Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya pada akhir 1997 ketika belum ada yang mengira Soeharto bisa dipaksa mundur.
Steele adalah instruktur kursus narasi Yayasan Pantau. Steele foto dengan rekan-rekan Yayasan Pantau yang minta Goenawan Mohamad ikut mejeng juga (kiri ke kanan): Hasrul Kokoh, Eva Danayanti, Sarmini Yasmin, Goenawan, Steele, Widiyanto dan Yusranti Y. Pontodjaf. Sarmini, Widiyanto dan Pontodjaf pernah belajar dari Steele. Goenawan adalah redaktur pendiri majalah Tempo.
Acara peluncuran buku yang hangat, yang memberikan banyak harapan akan perjuangan soal kebebasan pers di Indonesia.
1 comment:
Sayang disayang aku tak (bisa) datang. SAlam hangat untuk Janet Steele ya Ndre...
Post a Comment