The Medan Media Center with the sponsor of the Internews organized a two-day workshop for 30 journalists in Medan on 28-29 June.
They invited Bambang Bujono and me to help lead the workshop. Bujono is the chief editor of the now defunct D&R weekly magazine. Maskur Abdullah, a BBC Section Indonesia correspondent in Medan, also helped run a session. Maskur is also the coordinator of the Medan Media Center. It is a project of Medan's Alliance of Independent Journalists.
The participants were mostly Aceh journalists with only five coming from Medan. The workshop was designed to select 10 of them to conduct indepth reporting. Bujono had to evaluate all of their proposals and chose 10.
The Aceh reporters came from various places like Banda Aceh, Bireuen, Kutacane, Meulaboh, Lhangsa et cetera. They also worked for various media outlets such as Serambi Indonesia, Waspada, Analisa, Prima FM, Acehkita and others.
The workshop was organized at Hotel Novotel Soechi in Medan's business area. Bambang Bujono (brown shirt) and moderator Parlindungan Sibuea (black shirt) addressed the workshop. We had good meal, good hotel rooms and each participant got some perdiem money (I disagree with this practise but I did not know it until the last minute).
Wednesday, June 29, 2005
Friday, June 24, 2005
Bisnis Indonesia Gelombang Ketiga
Pada 13-24 Juni 2005, Yayasan Pantau mengadakan pelatihan wartawan dan redaktur Bisnis Indonesia gelombang ketiga. Agus Sopian dan saya menjadi instruktur kursus ini. Saya minggu pertama, Sopian minggu kedua.
Kami memakai materi yang kurang lebih sama: sembilan elemen jurnalisme, sumber anonim, pemakaian byline dan sebagainya. Cuma pada kursus ini, saya membuat perbandingan yang cukup menarik tentang Deep Throat alias Mark Felt dan sumber anonim Michael Isikoff dari Newsweek soal Monica Lewinsky serta skandal al Quran di Guantanamo.
Dibanding kelas pertama dan kedua, rekan-rekan sepakat bahwa kelas ketiga ini lebih serius dan lebih jarang bergurau, dan mengikuti kursus cukup pekat. Cuma peserta kali ini agak banyak yang terlambat. Mungkin mereka sibuk.
Saya ikut berpose bersama peserta kursus ini. Coba Anda kenali mereka?
Kami memakai materi yang kurang lebih sama: sembilan elemen jurnalisme, sumber anonim, pemakaian byline dan sebagainya. Cuma pada kursus ini, saya membuat perbandingan yang cukup menarik tentang Deep Throat alias Mark Felt dan sumber anonim Michael Isikoff dari Newsweek soal Monica Lewinsky serta skandal al Quran di Guantanamo.
Dibanding kelas pertama dan kedua, rekan-rekan sepakat bahwa kelas ketiga ini lebih serius dan lebih jarang bergurau, dan mengikuti kursus cukup pekat. Cuma peserta kali ini agak banyak yang terlambat. Mungkin mereka sibuk.
Saya ikut berpose bersama peserta kursus ini. Coba Anda kenali mereka?
Tuesday, June 21, 2005
Janet Steele dan 'Wars Within'
Janet Steele, dosen dari George Washington University, meluncurkan buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia tentang majalah Tempo, pada Senin 20 Juni ini, di Club Rasuna, sebuah club elite di daerah Kuningan, dengan hidangan cookies khas bikinan sendiri.
Ada banyak wartawan datang disini, dari Aristides Katoppo (Sinar Harapan) hingga Abdullah Alamudi (mantan Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post), Rahman Tolleng (mantan Suara Karya) serta banyak orang Tempo: Goenawan Mohamad, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Amarzan Loebis, Toriq Hadad, Zulkifli Arif, Seno Joko Suyono dan sebagainya.
Steele adalah instruktur kursus narasi Yayasan Pantau.
Steele foto dengan rekan-rekan Yayasan Pantau yang minta Goenawan Mohamad ikut mejeng juga (kiri ke kanan): Hasrul Kokoh, Eva Danayanti, Sarmini Yasmin, Goenawan, Steele, Widiyanto dan Yusranti Y. Pontodjaf. Sarmini, Widiyanto dan Pontodjaf pernah belajar dari Steele. Goenawan adalah redaktur pendiri majalah Tempo.
Steele juga gembira bertemu dengan Rahman Tolleng, mantan pemimpin redaksi suratkabar Mahasiswa Indonesia serta Suara Karya. Tolleng juga dikenal sebagai aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an bersama Abdurrahman Wahid dan Marsillam Simandjuntak.
Saya kenal Tolleng sejak akhir 1980-an sesudah membaca buku Francois Raillon soal suratkabar Mahasiswa Indonesia. Tolleng juga belakangan jadi nara sumber rutin saya untuk mengetahui sejara dan intrik kekuasaan di Indonesia.
Ia orang pertama yang memperkirakan bahwa Presiden Suharto akan jatuh dari kekuasaannya pada akhir 1997 ketika belum ada yang mengira Suharto bisa dipaksa mundur.
Keluarga Atmakusumah Astraatmadja juga datang pada pesta ini. Atmakusumah (ayah) , Sri Rumiati (ibu) dan Tri Laksmana Astraatmadja (anak) minta saya memotret mereka bersama Janet. Si anak bungsu Tri kini sedang menyelesaikan kuliah astronomi di Institut Teknologi Bandung. Ia juga senang memotret.
Astraatmadja seorang wartawan terhormat. Ia pernah bekerja untuk harian Indonesia Raya serta Lembaga Pers Dr. Soetomo. Ia diberi Hadiah Magsaysay dari Manila pada tahun 2000 karena jasanya terhadap pengembangan jurnalisme di Indonesia. Ini semacam hadiah Nobel khusus Asia.
Saya selalu ingat “Pak Atma” karena ia murah senyum dan tersenyum juga kalau kalau saya melancarkan kritik terhadap bengkak-bengkoknya jurnalisme di Jakarta.
Suatu malam, kami berdua pernah minum berdua di satu hotel Bangkok. Penyanyi bar elok membawakan lagu-lagu dansa. Astraatmadja menyatakan keinginannya “berdansa dengan Sri.”
Aduh, aduh, lalu ia pun cerita romancenya dengan Sri selama hampir 50 tahun. Atma orang Sunda-Banten. Sri gadis Jawa.
I will never forget this romantic story.
Aristides Katoppo, mantan redaktur harian Sinar Harapan, disebut Janet Steele sebagai “malaikat penjaga” Steele pada proses penulisan buku ini. Ketika Steele sedang susah, Katoppo selalu muncul dengan kata-kata yang membesarkan hati.
Saya pribadi kenal “Pak Tides” sejak 1988 ketika magang sebulan di harian Suara Pembaruan. Ketika Suharto pergi, Pak Tides bersama-sama H.G. Rorimpandey dan orang-orang Sinar Harapan lain, mendirikan lagi harian sore Sinar Harapan.
Saya sempat tidak percaya hingga ketemu langsung dengannya. Ia tersenyum dan bilang masih ada peluang menerbitkan Sinar Harapan lagi.
Katoppo seorang yang sabar. Orang Minahasa ini suka pesan bubur Manado.
Ada banyak wartawan datang disini, dari Aristides Katoppo (Sinar Harapan) hingga Abdullah Alamudi (mantan Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post), Rahman Tolleng (mantan Suara Karya) serta banyak orang Tempo: Goenawan Mohamad, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Amarzan Loebis, Toriq Hadad, Zulkifli Arif, Seno Joko Suyono dan sebagainya.
Steele adalah instruktur kursus narasi Yayasan Pantau.
Steele foto dengan rekan-rekan Yayasan Pantau yang minta Goenawan Mohamad ikut mejeng juga (kiri ke kanan): Hasrul Kokoh, Eva Danayanti, Sarmini Yasmin, Goenawan, Steele, Widiyanto dan Yusranti Y. Pontodjaf. Sarmini, Widiyanto dan Pontodjaf pernah belajar dari Steele. Goenawan adalah redaktur pendiri majalah Tempo.
Steele juga gembira bertemu dengan Rahman Tolleng, mantan pemimpin redaksi suratkabar Mahasiswa Indonesia serta Suara Karya. Tolleng juga dikenal sebagai aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an bersama Abdurrahman Wahid dan Marsillam Simandjuntak.
Saya kenal Tolleng sejak akhir 1980-an sesudah membaca buku Francois Raillon soal suratkabar Mahasiswa Indonesia. Tolleng juga belakangan jadi nara sumber rutin saya untuk mengetahui sejara dan intrik kekuasaan di Indonesia.
Ia orang pertama yang memperkirakan bahwa Presiden Suharto akan jatuh dari kekuasaannya pada akhir 1997 ketika belum ada yang mengira Suharto bisa dipaksa mundur.
Keluarga Atmakusumah Astraatmadja juga datang pada pesta ini. Atmakusumah (ayah) , Sri Rumiati (ibu) dan Tri Laksmana Astraatmadja (anak) minta saya memotret mereka bersama Janet. Si anak bungsu Tri kini sedang menyelesaikan kuliah astronomi di Institut Teknologi Bandung. Ia juga senang memotret.
Astraatmadja seorang wartawan terhormat. Ia pernah bekerja untuk harian Indonesia Raya serta Lembaga Pers Dr. Soetomo. Ia diberi Hadiah Magsaysay dari Manila pada tahun 2000 karena jasanya terhadap pengembangan jurnalisme di Indonesia. Ini semacam hadiah Nobel khusus Asia.
Saya selalu ingat “Pak Atma” karena ia murah senyum dan tersenyum juga kalau kalau saya melancarkan kritik terhadap bengkak-bengkoknya jurnalisme di Jakarta.
Suatu malam, kami berdua pernah minum berdua di satu hotel Bangkok. Penyanyi bar elok membawakan lagu-lagu dansa. Astraatmadja menyatakan keinginannya “berdansa dengan Sri.”
Aduh, aduh, lalu ia pun cerita romancenya dengan Sri selama hampir 50 tahun. Atma orang Sunda-Banten. Sri gadis Jawa.
I will never forget this romantic story.
Aristides Katoppo, mantan redaktur harian Sinar Harapan, disebut Janet Steele sebagai “malaikat penjaga” Steele pada proses penulisan buku ini. Ketika Steele sedang susah, Katoppo selalu muncul dengan kata-kata yang membesarkan hati.
Saya pribadi kenal “Pak Tides” sejak 1988 ketika magang sebulan di harian Suara Pembaruan. Ketika Suharto pergi, Pak Tides bersama-sama H.G. Rorimpandey dan orang-orang Sinar Harapan lain, mendirikan lagi harian sore Sinar Harapan.
Saya sempat tidak percaya hingga ketemu langsung dengannya. Ia tersenyum dan bilang masih ada peluang menerbitkan Sinar Harapan lagi.
Katoppo seorang yang sabar. Orang Minahasa ini suka pesan bubur Manado.
Saturday, June 11, 2005
Kursus Penulisan Narasi Kelas Delapan
Awal Juni ini Yayasan Pantau mengadakan kursus penulisan narasi atau biasa dikenal "jurnalisme sastrawi" angkatan kedelapan bersama tiga instruktur: Janet Steele, Yudhistira A.N.M. Massardi serta saya sendiri, untuk mengampu kursus dua minggu ini.
Peserta cukup beragam, dari Jayapura hingga Banda Aceh, Singapura hingga Kupang. Kursus ini berjalan terus-menerus sejak pertama kali diadakan oleh majalah Pantau pada Juni 2001.
Ia mulanya diadakan setahun sekali namun sekarang setiap semester karena permintaan yang cukup tinggi.
Peserta belajar tentang awal munculnya gerakan "Jurnalisme Baru" pada 1970-an ketika wartawan The New York Herald Tribune Tom Wolfe mencetuskan ide "The New Journalism."
Steele juga mengajak para peserta membahas karya-karya klasik dari Norman Mailler, Joseph Mitchel, Truman Capote, John Hersey dan sebagainya. Peserta juga berdiskusi entang bagaimana menyusun struktur karangan maupun menggunakan "mesin cerita" untuk membuat pembaca tetap lekat membaca karya kira.
Istilah "story engine" adalah temuan Tom French tentang teknik-teknik penulisan yang memikat.
Pantau mengatur agar setiap angkatan hanya diikuti 14-18 orang. Jumlah ideal per kelas, menurut Steele, adalah 15 orang agar setiap peserta punya kesempatan bicara dan diskusi. Namun Pantau terkadang bersikap luwes bila ada peminat yang memang tak bisa menunda kesertaannya.
Steele seorang sejarahwan dan dosen Universitas George Washington di Washington DC. Ia menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana (1993) serta akan meluncurkan buku keduanya, Wars Within, tentang majalah Tempo di Indonesia bulan ini.
Massardi seorang novelis dan redaktur senior majalah Gatra. Pada 1977, ia menulis novel Arjuna Mencari Cinta yang jadi best seller dan diangkat ke layar perak. Ia juga menulis novel-novel remaja lainnya.
Angkatan kali ini cukup beragam pesertanya. Ada Yuli Ahmada (reporter harian Surya di Surabaya), Muhammad Yamin Panca Setia (wartawan majalah Gatra di Bandar Lampung), Subro (aktivis Madura di Pontianak), Fahri Salam (wartawan majalah mahasiswa Himmah di Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta) maupun Ikram Putra (wartawan mahasiswa Boulevard, Institut Teknologi Bandung).
Subro bekerja bersama Mitra Sekolah Masyarakat, sebuah organisasi nirlaba di Pontianak, yang banyak bekerja memerangi rasialisme anti-Madura di seluruh Kalimantan.
Noor Huda Ismail, mantan asisten biro Jakarta harian The Washington Post, namanya mencuat belakangan ini karena sebagai alumnus pondok pesantren Ngruki, ia banyak menulis soal Jamaah Islamiyah. Kini ia tinggal dan bekerja di Singapura.
Winston Rondo, direktur Center for Internally Displaced People Services (CIS Timor) dari Kupang, juga ikut kursus ini. Rondo banyak bekerja membantu repatriasi para pengungsi Timor Timur dari Timor Barat. Ia juga mengelola buletin Lorosa'e Lian terbitan CIS Timor.
Asnawi Kumar (stringer Reuters di Banda Aceh), Cunding Levi (koresponden majalah Tempo di Jayapura), Saiful Haq (kolumnis dari Makassar yang juga aktivis hak asasi manusia) dan Robert Isidorus (koresponden harian Suara Pembaruan di Jayapura) juga datang dari tempat-tempat jauh itu ke Jakarta. Isidorus dan Levi juga bekerja untuk mingguan Suara Perempuan di Jayapura.
Ada lima peserta perempuan ikut kursus ini: Tarlen Handayani (penulis dan pengelola Toko Buku Kecil di Bandung), Firdanianti (redaktur khusus perbankan majalah Swa di Jakarta), Syafa'atun (periset dan penulis untuk organisasi riset hak asasi manusia Demos di Jakarta), Nani Afrida (koresponden harian The Jakarta Post di Banda Aceh) serta Emmy Fitri (wartawan The Jakarta Post di kantor Jakarta).
Steele mengatakan kelas ini sangat dinamis. Steele banyak dicecar pertanyaan. "Bahasa Indonesia saya sampai habis," katanya.
Kelas ini anggota-anggotanya sangat beragam, dari Aceh sampai Papua, dari daerah Islam hingga pulau-pulau Kristen, dari aktivis macam Subro dan Rondo hingga wartawan penuh waktu macam Nani Afrida dan sebagainya.
Saya kira mereka akan menyusul angkatan-angkatan sebelumnya yang menggunakan kesempatan kursus ini untuk isi baterai. Lalu kembali berjuang di lembaga dan daerah masing-masing.
KELAS KE DELAPAN (berdiri dari kiri ke kanan) Yuli Ahmada, Cunding Levi, Fahri Salam, Ikram Putra, Winston Rondo, Asnawi Kumar dan Noor Huda Ismail; (duduk dari kiri ke kanan) Tarlen Handayani, Firdanianti, Janet Steele, Syafa'atun dan Nani Afrida; (jongkok dari kiri ke kanan) Subro, Saiful Haq, Robert Isidorus dan Muhammad Yamin Panca Setia.
Peserta cukup beragam, dari Jayapura hingga Banda Aceh, Singapura hingga Kupang. Kursus ini berjalan terus-menerus sejak pertama kali diadakan oleh majalah Pantau pada Juni 2001.
Ia mulanya diadakan setahun sekali namun sekarang setiap semester karena permintaan yang cukup tinggi.
Peserta belajar tentang awal munculnya gerakan "Jurnalisme Baru" pada 1970-an ketika wartawan The New York Herald Tribune Tom Wolfe mencetuskan ide "The New Journalism."
Steele juga mengajak para peserta membahas karya-karya klasik dari Norman Mailler, Joseph Mitchel, Truman Capote, John Hersey dan sebagainya. Peserta juga berdiskusi entang bagaimana menyusun struktur karangan maupun menggunakan "mesin cerita" untuk membuat pembaca tetap lekat membaca karya kira.
Istilah "story engine" adalah temuan Tom French tentang teknik-teknik penulisan yang memikat.
Pantau mengatur agar setiap angkatan hanya diikuti 14-18 orang. Jumlah ideal per kelas, menurut Steele, adalah 15 orang agar setiap peserta punya kesempatan bicara dan diskusi. Namun Pantau terkadang bersikap luwes bila ada peminat yang memang tak bisa menunda kesertaannya.
Steele seorang sejarahwan dan dosen Universitas George Washington di Washington DC. Ia menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana (1993) serta akan meluncurkan buku keduanya, Wars Within, tentang majalah Tempo di Indonesia bulan ini.
Massardi seorang novelis dan redaktur senior majalah Gatra. Pada 1977, ia menulis novel Arjuna Mencari Cinta yang jadi best seller dan diangkat ke layar perak. Ia juga menulis novel-novel remaja lainnya.
Angkatan kali ini cukup beragam pesertanya. Ada Yuli Ahmada (reporter harian Surya di Surabaya), Muhammad Yamin Panca Setia (wartawan majalah Gatra di Bandar Lampung), Subro (aktivis Madura di Pontianak), Fahri Salam (wartawan majalah mahasiswa Himmah di Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta) maupun Ikram Putra (wartawan mahasiswa Boulevard, Institut Teknologi Bandung).
Subro bekerja bersama Mitra Sekolah Masyarakat, sebuah organisasi nirlaba di Pontianak, yang banyak bekerja memerangi rasialisme anti-Madura di seluruh Kalimantan.
Noor Huda Ismail, mantan asisten biro Jakarta harian The Washington Post, namanya mencuat belakangan ini karena sebagai alumnus pondok pesantren Ngruki, ia banyak menulis soal Jamaah Islamiyah. Kini ia tinggal dan bekerja di Singapura.
Winston Rondo, direktur Center for Internally Displaced People Services (CIS Timor) dari Kupang, juga ikut kursus ini. Rondo banyak bekerja membantu repatriasi para pengungsi Timor Timur dari Timor Barat. Ia juga mengelola buletin Lorosa'e Lian terbitan CIS Timor.
Asnawi Kumar (stringer Reuters di Banda Aceh), Cunding Levi (koresponden majalah Tempo di Jayapura), Saiful Haq (kolumnis dari Makassar yang juga aktivis hak asasi manusia) dan Robert Isidorus (koresponden harian Suara Pembaruan di Jayapura) juga datang dari tempat-tempat jauh itu ke Jakarta. Isidorus dan Levi juga bekerja untuk mingguan Suara Perempuan di Jayapura.
Ada lima peserta perempuan ikut kursus ini: Tarlen Handayani (penulis dan pengelola Toko Buku Kecil di Bandung), Firdanianti (redaktur khusus perbankan majalah Swa di Jakarta), Syafa'atun (periset dan penulis untuk organisasi riset hak asasi manusia Demos di Jakarta), Nani Afrida (koresponden harian The Jakarta Post di Banda Aceh) serta Emmy Fitri (wartawan The Jakarta Post di kantor Jakarta).
Steele mengatakan kelas ini sangat dinamis. Steele banyak dicecar pertanyaan. "Bahasa Indonesia saya sampai habis," katanya.
Kelas ini anggota-anggotanya sangat beragam, dari Aceh sampai Papua, dari daerah Islam hingga pulau-pulau Kristen, dari aktivis macam Subro dan Rondo hingga wartawan penuh waktu macam Nani Afrida dan sebagainya.
Saya kira mereka akan menyusul angkatan-angkatan sebelumnya yang menggunakan kesempatan kursus ini untuk isi baterai. Lalu kembali berjuang di lembaga dan daerah masing-masing.
KELAS KE DELAPAN (berdiri dari kiri ke kanan) Yuli Ahmada, Cunding Levi, Fahri Salam, Ikram Putra, Winston Rondo, Asnawi Kumar dan Noor Huda Ismail; (duduk dari kiri ke kanan) Tarlen Handayani, Firdanianti, Janet Steele, Syafa'atun dan Nani Afrida; (jongkok dari kiri ke kanan) Subro, Saiful Haq, Robert Isidorus dan Muhammad Yamin Panca Setia.
Narrative Reporting Course
Pantau organized a course on narrative writing this June with Janet Steele, Yudhistira M. Massardi and me co-teaching the two-week course.
The idea to have this course began in 1999 when Steele and me were having a discussion about Tom Wolfe’s New Journalism in Washington DC. We thought that we could introduce this genre in Jakarta.
Steele is an associate professor at the George Washington University. She is a historian but teaches this genre in her campus. She also writes The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana (1993) and is to launch her Wars Within on Indonesia’s Tempo magazine later this month.
Massardi is a novelist who wrote his best seller, Arjuna Mencari Cinta (Arjuna Seeks Love) in 1977. His novel was made into a movie with similar title.
We organized the first course with the Pantau magazine in June 2001, thinking that we might do it every year. It attracted quite an audience to the extend that we decided to do it every semester.
We had 17 people attending the eight class. From an Indonesian perspective, it is a diversified class with participants coming as far away as Aceh in western Indonesia to Papua in the easternmost. Some come from the predominantly Muslim areas while others come from predominantly Christian islands. Some come from national newspapers but some also represent student magazines.
They included (standing left to right) Yuli Ahmada (reporter for Surabaya-based Surya daily), Muhammad Yamin Panca Setia (Gatra magazine correspondent in Bandar Lampung), Subro (a Madurese activist of the Sekolah Mitra Masyarakat in Pontianak), Fahri Salam (student journalist in Jogjakarta), Ikram Putra (student journalist in Bandung), Noor Huda Ismail (former assistant correspondent of The Washington Post in Jakarta, now working in Singapore), Winston Rondo (the director of the Center for Internally Displaced People's Services (CIS) in Kupang), Asnawi Kumar (Reuters stringer in Banda Aceh) and Cunding Levi (Tempo magazine correspondent in Jayapura). Rondo is also the publisher of the Lorasa'e Laen newsletter in Kupang.
Those who sat on the sofa included (left to right) Tarlen Handayani (a writer and a book store owner in Bandung), Firdanianti (business editor of Swa magazine in Jakarta), Janet Steele, Syafa'atun (writer and researcher for the Demos human righsts research group in Jakarta) and Nani Afrida (The Jakarta Post correspondent in Banda Aceh) as well as (squating left to right) Saiful Haq (human rights activist in Makassar) and Robert Isidorus (Suara Pembaruan daily correspondent in Jayapura). Both Isidorus and Levi also work for the Suara Perempuan weekly tabloid in Jayapura.
Emmy Fitri, a feature writer for The Jakarta Post, was absent when this photo was taken.
The Ford Foundation, PT Freeport Indonesia, Fulbright Scholarship Program, Reuters, Surya daily and Swa magazine helped sponsor this course.
The idea to have this course began in 1999 when Steele and me were having a discussion about Tom Wolfe’s New Journalism in Washington DC. We thought that we could introduce this genre in Jakarta.
Steele is an associate professor at the George Washington University. She is a historian but teaches this genre in her campus. She also writes The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana (1993) and is to launch her Wars Within on Indonesia’s Tempo magazine later this month.
Massardi is a novelist who wrote his best seller, Arjuna Mencari Cinta (Arjuna Seeks Love) in 1977. His novel was made into a movie with similar title.
We organized the first course with the Pantau magazine in June 2001, thinking that we might do it every year. It attracted quite an audience to the extend that we decided to do it every semester.
We had 17 people attending the eight class. From an Indonesian perspective, it is a diversified class with participants coming as far away as Aceh in western Indonesia to Papua in the easternmost. Some come from the predominantly Muslim areas while others come from predominantly Christian islands. Some come from national newspapers but some also represent student magazines.
They included (standing left to right) Yuli Ahmada (reporter for Surabaya-based Surya daily), Muhammad Yamin Panca Setia (Gatra magazine correspondent in Bandar Lampung), Subro (a Madurese activist of the Sekolah Mitra Masyarakat in Pontianak), Fahri Salam (student journalist in Jogjakarta), Ikram Putra (student journalist in Bandung), Noor Huda Ismail (former assistant correspondent of The Washington Post in Jakarta, now working in Singapore), Winston Rondo (the director of the Center for Internally Displaced People's Services (CIS) in Kupang), Asnawi Kumar (Reuters stringer in Banda Aceh) and Cunding Levi (Tempo magazine correspondent in Jayapura). Rondo is also the publisher of the Lorasa'e Laen newsletter in Kupang.
Those who sat on the sofa included (left to right) Tarlen Handayani (a writer and a book store owner in Bandung), Firdanianti (business editor of Swa magazine in Jakarta), Janet Steele, Syafa'atun (writer and researcher for the Demos human righsts research group in Jakarta) and Nani Afrida (The Jakarta Post correspondent in Banda Aceh) as well as (squating left to right) Saiful Haq (human rights activist in Makassar) and Robert Isidorus (Suara Pembaruan daily correspondent in Jayapura). Both Isidorus and Levi also work for the Suara Perempuan weekly tabloid in Jayapura.
Emmy Fitri, a feature writer for The Jakarta Post, was absent when this photo was taken.
The Ford Foundation, PT Freeport Indonesia, Fulbright Scholarship Program, Reuters, Surya daily and Swa magazine helped sponsor this course.
Friday, June 10, 2005
Liputan Jawa Timur
Hari Kamis 9 Juni 2005, Norman dan aku kembali ke Jakarta naik Adam Air dari Surabaya. Badan capek sekali. Norman langsung tertidur begitu masuk mobil dari bandar udara Cengkareng.
Aku merasa puas. Selama dua minggu, aku keliling Jember, Kalisat, Kalibaru, Sukamade dan Surabaya, bertemu dengan orang-orang yang mengenal keluarganya atau mengenal aku pada masa kecil. Ini liputan tentang diri sendiri. Ini juga liputan tentang Jember yang penuh dengan perkebunan (tembakau utamanya).
Ada rasa sakit ketika tahu keluarga Ong ini banyak yang buruk tabiatnya (mabuk, main perempuan, egois dan sebagainya).
Engkong aku, Ong Kong Sie, datang ke Mojokerto dari Kang Tauw, sebuah kota kecil di distrik Hen Hwa, provinsi Hokkian (Fuchien) pada 1925. Kong Sie menyusul kakaknya, Ong Kong Siang, yang sudah lebih dulu menetap di Mojokerto buka bengkel sepeda. Pada 1932, ia pindah ke Jember, mengurus kongsi bengkel baru. Disinilah Ong Kong Sie memutuskan menetap.
Aku menelusuri riwayat hidup Kong Sie dan kedelapan anaknya, termasuk papaku, Ong Seng Kiat, dalam liputan ini. Aku lahir dengan nama Ong Tjie Liang pada 1965.
Aku pulang ke Jakarta dengan rasa sakit di dada. Ada perasaan rendah diri. Tapi aku tahu ini perlu untuk mengetahui siapa diriku sendiri. Aku kira pembahasan soal Jember dalam buku "From Sabang to Merauke" memiliki bahan-bahan yang menarik.
Tapi sekarang aku masih sibuk mengurus Norman. Makan, mandi, selimut, minyak kayu putih dan sebagainya. Kalimat pertama yang diucapkan Norman begitu menginjakkan kaki di Jakarta, "I hate Jakarta. The environment is polluted."
Aduh anakku, kalau aku bisa memindahkan kau ke kota lain, aku mau sekali.
Tuesday, June 07, 2005
Penyu, Sukamade dan Meru Betiri
Pada awal Juni 2005, aku pergi berlibur dengan anakku, Norman, dan Papa ke hutan lindung Meru Betiri. Kami pergi bersama Richard A. van Prehn, seorang guide dari Jember, yang ayahnya pernah jadi administrateur perkebunan di daerah Glenmore pada 1930-an hingga 1950-an.
Meru Betiri luasnya 56,000 hektar. Ia adalah tempat perlindungan satu-satunya harimau Jawa (Pantera tigris sondaica). Tapi banyak bacaan mengatakan harimau ini mungkin sudah punah. Kita tak tahu kepastiannya karena jejak terakhir diketahui lima tahun lalu. Disini juga ada 340 jenis tanaman yang banyak belum diketahui persis datanya.
Di pantai selatan Meru Betiri ada sebuah jazirah kecil bernama Sukamade. Selama ribuan tahun, Sukamade adalah tempat bertelur penyu-penyu raksasa dari Samudera Hindia dan Pacific. Jarak Jember-Sukamade 127 kilometer termasuk 15 km jalanan parah. Hanya kendaraan four wheel drive bisa masuk kesini.
Inilah pertama kali aku melihat penyu bertelur. Ini juga pengalaman penting untuk Norman untuk mulai mengenal alam. Ia terpesona lihat orang bikin gula kelapa. Ia juga melihat kebun coklat, kebun kopi, tanaman karet, pabrik karet dan sebagainya.
Wisma Sukamade milik PT Sukamade Baru, perusahaan perkebunan kopi dan coklat, milik PT Ledokombo. Kami tinggal selama semalam di wisma ini. Mereka menyediakan makan malam dan sarapan. Kami memakai Landrover 1968 milik Van Prehn (kaos biru). Van Prehn seorang Indo-Belanda. Kepribadiannya menyenangkan. Ia punya banyak sekali cerita. Kami tidur siang disini (terutama penting buat Norman). Pukul 19:00 makan malam dan berangkat ke pantai Sukamade naik Landrover.
Pantai gelap sekali. Senter dilarang dinyalakan agar tak mengganggu penyu. Penyu butuh waktu sekitar satu jam dari laut untuk menelusuri pantai Sukamade, mencari pasir empuk hangat buat meletakkan telur. Lalu ia butuh waktu satu jam lagi untuk bertelur, sekitar 100 butir, lalu menutupnya dengan pasir.
Satu jam lagi untuk menggali lubang tipuan. Saat menggali lubang tipuan inilah, para penjaga pantai memperbolehkan pengunjung datang, melihat dan mengambil foto. Ini penyu hijau (Chelonia mydas). Ada empat jenis yang biasa bertelur di Sukamade. Biasanya satu malam bisa ada dua hingga tiga ekor bertelur.
Teluk Damai di Sukamade. Ada beberapa teluk yang cantik di Meru Betiri. Teluk Damai termasuk yang sering saya lihat dalam buku-buku tentang Meru Betiri. Norman menikmati perjalanan dengan Landrover Van Prehn. "It's more dangerous than roller coaster," katanya. Jalanan memang ala hutan. Untung masih musik kemarau. Kalau musim hujan, licin dan sering terjebak lumpur.
Dalam perkebunan milik negara, yang dinasionalisasi dari perusahaan Belanda pada 1958, juga ada unit kecil produsen gula kelapa. Asalnya dari tangkai bunga kelapa yang ditampung getahnya (dengan tempat plastik). Sehari diambil dua kali. Lalu dimasak di kuali raksasa. Asap panas sekali. Lalu dibagi di plastik-plastik kecil. Produksi ini dikerjakan oleh keluarga-keluarga Jawa yang turun-temurun kerja disini sejak zaman Hindia Belanda.
Kalibaru dan Perkebunan
Saat liburan sekolah Juni 2005, aku mengajak Norman dan engkong-nya, pergi berlibur ke daerah perkebunan-perkebunan eks Hindia Belanda di sekitar Jember dan Banyuwangi. Kami keliling daerah Kalibaru, Kalisat, Ledokombo, Glenmore, Pesanggaran dan lain-lain.
Aku pergi ke daerah ini karena ingin tahu sejarah kolonialisme Belanda. Aku kira orang tak mungkin belajar kolonialisme Belanda tanpa melihat sejarah perkebunan zaman Hindia Belanda. Orang-orang Eropa datang ke kepulauan yang sekarang jadi Indonesia ini, terutama karena bisnis tanaman a.l. pala, cengkeh, kayu manis, coklat, kopi dan sebagainya.
Khusus untuk Jawa, mereka mendirikan banyak perkebunan, terutama setelah liberalisasi pada akhir abad XIX. Mereka membiarkan perusahaan-perusahaan swasta Belanda, Inggris, Belgia, Jerman, membuka dan mengelola kebun kopi, coklat, kelapa dan sebagainya.
Kami memilih menginap di Hotel Margo Utomo. Hotel ini terkenal karena menawarkan paket liburan perkebunan. Norman bisa belajar melihat sapi perah. Kami juga jalan lihat orang bikin pupuk kandang. Udara bersih sekali. Juga ada kolam renang yang airnya mulia!
Ruang depan Hotel Margo Utomo di Kalibaru. Hotel ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan turis Belanda yang ingin melihat-lihat perkebunan. Mereka datang untuk melihat "akar diri" mereka. Banyak yang kelahiran Surabaya, Semarang, Jember dan sebagainya. Mereka ingin melihat diri mereka, papa atau opa mereka.
Ia berada dalam suatu daerah perkebunan kecil milik pensiunan seorang administrateur PTP XII. Ia terletak persis depan stasiun kereta api Kalibaru. Ia punya 50 kamar. Suasana nyaman. Ada kandang sapi perah. Ada tempat bikin gula kelapa.
Margo Utomo memiliki 40 sapi perah produktif dan 10 yang non-produktif (karena baru melahirkan) serta banyak anak-anak sapi. Seekor sapi diperah dua kali sehari, pukul 6:00 dan pukul 15:00. Ada empat pemerah bekerja penuh waktu. Puting susu harus bersih. Setiap sapi rata-rata menghasilkan sekitar 20 liter per hari. Tukang bersih kandang lain lagi.
Sapi-sapi ini harus dituntun dari kandangnya untuk masuk ke ruang perah. Ekornya harus diikat dengan tali kecil agar tak mengibas-ngibas. Sesudah diperah, lucunya, si sapi bisa kembali ke kandangnya sendiri. Jarak sekitar 8 meter dari tempat pemerahan. Susu dimasukkan ke tanki sterilisasi. Lalu dibungkus dalam plastik-plastik kecil, masuk freezer, siap kirim ke Banyuwangi, Bali, Jember dan Surabaya.
Di Kalibaru aku juga wawancara beberapa orang Belanda. Satu di antaranya adalah Ronny van Dulken, kelahiran Salatiga pada 1949, beberapa bulan sebelum kedua orang tuanya terpaksa pergi ke Belanda karena "pengakuan kedaulatan" Indonesia. Van Dulken termasuk salah satu sumber yang sangat artikulatif bicara tentang masa lalu. Ia ingin menelusuri "masa lalu" dan "akar dirinya."
Ini perjalanan penting untuk mengunjungi kuburan kakek Van Dulken di Semarang. Ia juga mengajak isteri dan dua anak gadisnya beserta pasangan keduanya untuk datang ke Jawa. Mereka berpose untuk aku sebelum berangkat ke Bali (dari kiri ke kanan): Rovin Frankhuisen, Eva van Dulken, Eduard Blom, Meta van Dulken, Ronny van Dulken dan Xaveria.
Hotel juga punya sejumlah koleksi binatang langka dan dilindungi. Ada burung rangkong, kelelawar besar, burung nuri, rase dan sebagainya. Sebagian tamu tertarik memberi makan kelelawar dalam sangkar pada pagi hari. Sekitar pukul 10:00 kelelawar ini dikeluarkan dan dibiarkan bergelantungan dalam kebun. Malam hari dimasukkan kandang, kuatir terbang dan ditembaki anak-anak muda.
Papa dan Norman berpose dengan satu burung rangkong di Margo Utomo. Nama papa adalah Ong Seng Kiat. Ia kelahiran Jember pada 1941 dan mengganti namanya jadi "Harsono" pada 1971 --seperti kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia. Ia banyak main dengan cucunya, Norman Harsono, di Kalibaru. Berenang bersama dan makan bersama.
Norman sempat menantang engkong lomba renang. Maka tiga generasi ini --kakek, ayah dan anak-- berlomba renang. Aku tentu menang dari papaku, tapi Norman masih kalah dari engkongnya. Ia jengkel. Pada putaran ketiga, Norman menarik celana renang engkongnya ... sampai si engkong panik!
Aku pergi ke daerah ini karena ingin tahu sejarah kolonialisme Belanda. Aku kira orang tak mungkin belajar kolonialisme Belanda tanpa melihat sejarah perkebunan zaman Hindia Belanda. Orang-orang Eropa datang ke kepulauan yang sekarang jadi Indonesia ini, terutama karena bisnis tanaman a.l. pala, cengkeh, kayu manis, coklat, kopi dan sebagainya.
Khusus untuk Jawa, mereka mendirikan banyak perkebunan, terutama setelah liberalisasi pada akhir abad XIX. Mereka membiarkan perusahaan-perusahaan swasta Belanda, Inggris, Belgia, Jerman, membuka dan mengelola kebun kopi, coklat, kelapa dan sebagainya.
Kami memilih menginap di Hotel Margo Utomo. Hotel ini terkenal karena menawarkan paket liburan perkebunan. Norman bisa belajar melihat sapi perah. Kami juga jalan lihat orang bikin pupuk kandang. Udara bersih sekali. Juga ada kolam renang yang airnya mulia!
Ruang depan Hotel Margo Utomo di Kalibaru. Hotel ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan turis Belanda yang ingin melihat-lihat perkebunan. Mereka datang untuk melihat "akar diri" mereka. Banyak yang kelahiran Surabaya, Semarang, Jember dan sebagainya. Mereka ingin melihat diri mereka, papa atau opa mereka.
Ia berada dalam suatu daerah perkebunan kecil milik pensiunan seorang administrateur PTP XII. Ia terletak persis depan stasiun kereta api Kalibaru. Ia punya 50 kamar. Suasana nyaman. Ada kandang sapi perah. Ada tempat bikin gula kelapa.
Margo Utomo memiliki 40 sapi perah produktif dan 10 yang non-produktif (karena baru melahirkan) serta banyak anak-anak sapi. Seekor sapi diperah dua kali sehari, pukul 6:00 dan pukul 15:00. Ada empat pemerah bekerja penuh waktu. Puting susu harus bersih. Setiap sapi rata-rata menghasilkan sekitar 20 liter per hari. Tukang bersih kandang lain lagi.
Sapi-sapi ini harus dituntun dari kandangnya untuk masuk ke ruang perah. Ekornya harus diikat dengan tali kecil agar tak mengibas-ngibas. Sesudah diperah, lucunya, si sapi bisa kembali ke kandangnya sendiri. Jarak sekitar 8 meter dari tempat pemerahan. Susu dimasukkan ke tanki sterilisasi. Lalu dibungkus dalam plastik-plastik kecil, masuk freezer, siap kirim ke Banyuwangi, Bali, Jember dan Surabaya.
Di Kalibaru aku juga wawancara beberapa orang Belanda. Satu di antaranya adalah Ronny van Dulken, kelahiran Salatiga pada 1949, beberapa bulan sebelum kedua orang tuanya terpaksa pergi ke Belanda karena "pengakuan kedaulatan" Indonesia. Van Dulken termasuk salah satu sumber yang sangat artikulatif bicara tentang masa lalu. Ia ingin menelusuri "masa lalu" dan "akar dirinya."
Ini perjalanan penting untuk mengunjungi kuburan kakek Van Dulken di Semarang. Ia juga mengajak isteri dan dua anak gadisnya beserta pasangan keduanya untuk datang ke Jawa. Mereka berpose untuk aku sebelum berangkat ke Bali (dari kiri ke kanan): Rovin Frankhuisen, Eva van Dulken, Eduard Blom, Meta van Dulken, Ronny van Dulken dan Xaveria.
Hotel juga punya sejumlah koleksi binatang langka dan dilindungi. Ada burung rangkong, kelelawar besar, burung nuri, rase dan sebagainya. Sebagian tamu tertarik memberi makan kelelawar dalam sangkar pada pagi hari. Sekitar pukul 10:00 kelelawar ini dikeluarkan dan dibiarkan bergelantungan dalam kebun. Malam hari dimasukkan kandang, kuatir terbang dan ditembaki anak-anak muda.
Papa dan Norman berpose dengan satu burung rangkong di Margo Utomo. Nama papa adalah Ong Seng Kiat. Ia kelahiran Jember pada 1941 dan mengganti namanya jadi "Harsono" pada 1971 --seperti kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia. Ia banyak main dengan cucunya, Norman Harsono, di Kalibaru. Berenang bersama dan makan bersama.
Norman sempat menantang engkong lomba renang. Maka tiga generasi ini --kakek, ayah dan anak-- berlomba renang. Aku tentu menang dari papaku, tapi Norman masih kalah dari engkongnya. Ia jengkel. Pada putaran ketiga, Norman menarik celana renang engkongnya ... sampai si engkong panik!
Wednesday, June 01, 2005
Dua Sumber Jember Minta Anonim
Gua wis dua hari ada ndek kota Jember. Gua wis dua kali wawancara dengan dua sumber penting. Keduane nolak disebutkan namanya. Artinya, gua juga tak bisa memakai keterangan mereka (selain sebagai background information).Kedua sumber ini tergolong orang tua. Keduanya sekolah di zaman HindiaBelanda. Satu berumur 80 tahun. Satunya, 81 tahun. Satu perempuan, satunya laki-laki. Keduanya tergolong orang yang berhasil dalam hidup mereka.
Mereka relatif punya uang. Rumah besar dan terpelihara. Mereka telah melewati lika-liku kehidupan dan perubahan zaman. Dari zaman Hindia Belanda, lalu zaman Jepang, zaman Revolusi, zaman Sukarno, zaman Suharto dan sekarang. Jember dulu dikuasai oleh keluarga Bernie, keluarga Yahudi Belanda, yang memiliki perkebunan tembakau luas.
Gua mewawancarai mereka untuk tahu keadaan kota Jember sejak zaman Hindia Belanda. Tujuan wawancara ini adalah melengkapi isi buku gua, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nasionalism. Gua memilih Jember karena ia adalah kota kelahiran Gua. Tujuannya, bagian ini menjelaskan latar belakang gua kepada pembaca.
Satu sumber minta disebut sebagai "sumber yang layak dipercaya." Gua tertawa dalam hati. Gua menerangkan panjang lebar tujuh kriteria sumber anonim ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Baik soal resiko, soal keberadaan mereka di lingkaran satu, soal integritas dan sebagainya. Intinya, Gua menolak memberikan status anonim. Mereka tetap tak mau disebut namanya. Kami memang cerita panjang lebar, bahkan diajak makan siang, namun gua menjaga perjanjian kerja gua dengan tak mencatat juga.
Cerita mereka sebenarnya menarik. Sumber pertama cerita soalkehidupan sosial Jember. Ia besar dari keluarga kaya. Sempat berkenalan dengan keluarga Bernie. George Bernie mendapatkan kontrak guna usaha (arfpacht) selama 75 tahun pada 1870. Sumber ini tahu riwayat masjid lama Jember di Alun-alun kota. Harga tanahnya dibeli dari Bernie satu gulden.
Sumber kedua cerita tentang pembunuhan massal pada 1965. Ia cerita bahkan sampai hari ini, korupsi di Jember masih merajalela, dari polisi hingga pejabat sipil, termasuk tentara. Semua suka memeras.
Mereka beralasan, kalau buku ini terbit dan nama mereka tercantumdisana, bisa jadi buku ini bakal dipakai entah polisi atau tentara untuk memeras mereka. Bahkan kalau perlu dipenjara. Mereka juga bilang banyak wartawan tak bisa dipercaya. Media disini tak bisa disamakan dengan mutu media di Belanda.Kami hanya mengobrol biasa tanpa gua mencatat. Gua jauh-jauh dari Jakarta, mengirim surat, bikin janji dan sampai di Jember ternyata tak dapat kutipan.Ya beginilah duka seorang wartawan.
Mereka relatif punya uang. Rumah besar dan terpelihara. Mereka telah melewati lika-liku kehidupan dan perubahan zaman. Dari zaman Hindia Belanda, lalu zaman Jepang, zaman Revolusi, zaman Sukarno, zaman Suharto dan sekarang. Jember dulu dikuasai oleh keluarga Bernie, keluarga Yahudi Belanda, yang memiliki perkebunan tembakau luas.
Gua mewawancarai mereka untuk tahu keadaan kota Jember sejak zaman Hindia Belanda. Tujuan wawancara ini adalah melengkapi isi buku gua, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nasionalism. Gua memilih Jember karena ia adalah kota kelahiran Gua. Tujuannya, bagian ini menjelaskan latar belakang gua kepada pembaca.
Satu sumber minta disebut sebagai "sumber yang layak dipercaya." Gua tertawa dalam hati. Gua menerangkan panjang lebar tujuh kriteria sumber anonim ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Baik soal resiko, soal keberadaan mereka di lingkaran satu, soal integritas dan sebagainya. Intinya, Gua menolak memberikan status anonim. Mereka tetap tak mau disebut namanya. Kami memang cerita panjang lebar, bahkan diajak makan siang, namun gua menjaga perjanjian kerja gua dengan tak mencatat juga.
Cerita mereka sebenarnya menarik. Sumber pertama cerita soalkehidupan sosial Jember. Ia besar dari keluarga kaya. Sempat berkenalan dengan keluarga Bernie. George Bernie mendapatkan kontrak guna usaha (arfpacht) selama 75 tahun pada 1870. Sumber ini tahu riwayat masjid lama Jember di Alun-alun kota. Harga tanahnya dibeli dari Bernie satu gulden.
Sumber kedua cerita tentang pembunuhan massal pada 1965. Ia cerita bahkan sampai hari ini, korupsi di Jember masih merajalela, dari polisi hingga pejabat sipil, termasuk tentara. Semua suka memeras.
Mereka beralasan, kalau buku ini terbit dan nama mereka tercantumdisana, bisa jadi buku ini bakal dipakai entah polisi atau tentara untuk memeras mereka. Bahkan kalau perlu dipenjara. Mereka juga bilang banyak wartawan tak bisa dipercaya. Media disini tak bisa disamakan dengan mutu media di Belanda.Kami hanya mengobrol biasa tanpa gua mencatat. Gua jauh-jauh dari Jakarta, mengirim surat, bikin janji dan sampai di Jember ternyata tak dapat kutipan.Ya beginilah duka seorang wartawan.