Kelas kedua pelatihan harian Bisnis Indonesia berlangsung antara 9 sampai 20 Mei 2005. Agus Sopian dan aku kembali melatih 18 wartawan Bisnis. Materi kurang lebih sama: Jimmy Breslin “It’s an Honor,” Bill Kovach soal sembilan elemen jurnalisme maupun laporan-laporan kami sendiri.
Aku memakai contoh soal “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah maupun karyaku sendiri soal privatisasi PAM Jaya. Kami membahas ramai esai soal bias media Jakarta terhadap liputan tsunami, “Indonesian Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh.” Ini esaiku sendiri yang dimuat Nieman Reports.
Kami juga sempat diskusi mengapa perubahan di harian ini rasanya lambat sekali. Kami sudah mengajar dua bulan namun model penulisan masih kering, masih sedikit feature, masih dominan piramida terbalik.
Kami juga kuatir dengan banyaknya pemakaian sumber anonim dengan istilah "sumber Bisnis." Aku kira sudah saatnya praktek sumber anonim ini dilihat ulang secara menyeluruh. Martin Sihombing, salah seorang redaktur, bahkan mengajak kami diskusi soal kasus Newsweek yang melaporkan ada interogator Guantanamo memasukkan Quran ke lubang toilet. Ia juga berasal dari satu sumber anonim.
Mereka menjelaskan bahwa perubahan ini menunggu sampai keempat kelas selesai ikut pelatihan semua.
2 comments:
Mas,
sedalam apapun, sesering apapun pelatihan yang diberikan pada BI atau koran lain yang sudah punya format baku dan kaku, tak akan berhasil jika sistemnya tidak diubah.
Ini masalah sistem yang diterapkan oleh manajemen, khususnya para petinggi BI. Petinggi BI selalu bangga mempunyai style sendiri. Tapi jadi aneh ketika mereka juga kegerahan dan panik saat koran lain mengubah formatnya.
Jadi, kalau masih lambat dan kering bukan karena wartawannya gak bisa nulis dengan style yang soft dan jauh dari kata kaku.
Namun lebih dari sistem dan para redaktur yang selalu membabat habis 'bunga-bunga' yang ditulis anak buah. Alasannya.... apalagi kalau gak menghemat space ;-p
Dear Andreas,
Tulisan saya yang buruk pernah dibahas dalam pelatihan penulisan naratif BI yang lalu, sebalum hari ini. Judulnya 'TNI AU beli suku cadang dari pasar gelap'.
Saya diberitahu bahwa ada kritik terhadap tulisan itu karena sumbernya masih belum kuat, hanya berdasarkan dokumen yang saya baca sehingga sangat riskan jika timbul gugatan secara hukum.
Kemudian, diperbandingkan dengan kasus Tomy Winata dan Tempo, yang menurut metode penulisan, 'bang' Ahmad Taufik [dia mentor aku waktu pelatihan jurnalistik di Lembaga Pers Mahasiswa Black Post ISTN,Jakarta]kurang memenuhi standar jurnalistik karena hanya memperoleh dari sumber ketiga, bukan sumber pertama.
Sya setuju sekali bahwa tulisan saya,yang menyebut informasi berasal dari dokumen yang sempat saya baca, masih kurang kuat u dijadikan sumber.
Seharusnya memang dokumen itu saya miliki. Tapi bagaimana jika pemilik dokumen tidak mau memberi?
Kalau soal 'akurasi'. Saya bisa jamin 100 persen ada pernyataan TNI AD beli suku cadang dari black market. Saya punya bukti rekaman orang pertama di TNI AU saat ini menyatakan hal tersebut. jadi sumbernya adalah orang pertama, sayangnya off d record.
Dari itu semua, saya cuma mau bilang bahwa kasus 'TNI AU beli suku cadang dari pasar gelap' tidak bisa dibandingkan lurus dengan 'Ada Tomy di Tenabang'.
Tapi saya dapat pelajaran positif dari Andreas. Saat ini saya tengah mengumpulkan dokumen dan bukti-bukti pendukung berita tersebut.
Trims.
peserta pelatihan narasi BI hari ini.
PS: saya memang memilih anonymus sebagai identity di title u menggelitik bahwa 'sumber' bisa jadi punya data yang akurat. Layaknya Deep Throat.
Post a Comment