:: Apa dan Bagaimana Workshop
Thomas Hanitzsch punya penelitian menarik tentang jurnalisme di Indonesia. Dia antara lain melihat bahwa tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalisme punya dunianya sendiri, sedangkan industri media berada pada dunia yang lain. Malangnya, hampir semua sekolah yang ada tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun disain grafis. Lebih dari itu, dari 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) di Indonesia, sekira 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga Jayapura, dari Maluku hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak punya sekolah jurnalisme. Ia melihat ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan Medan serta di kota-kota timur.
Hanitzsch adalah peneliti dari Universitas Ilmenau, Jerman, dan pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada. Pandangannya tentang jurnalisme Indonesia dituangkan ke sebuah riset berjudul “Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses” (diterbitkan jurnal Mediator Volume 2 Nomor 1 - 2001). Riset ini merekomendasikan betapa perlunya langkah-langkah pembaruan dilakukan. Usaha pembaruan bisa dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang diarahkan pada kemampuan praktis, salah satunya bidang penulisan.
Selalu terdapat kemungkinan peserta tidak dapat menerima transfer pendidikan secara maksimal pada saat berlangsung workshop. Oleh karena itu, Yayasan Pantau yang bertanggung jawab atas silabus, menyertakan sejumlah bacaan dan beberapa petunjuk praktis ke arah pengembangan kemampuan jurnalisme, yang dapat disimak peserta secara leluasa sepulang dari workshop.
:: Peserta
:: Sponsor
:: Fasilitator
:: Instruktur
:: Silabus Workshop
Sesi 2, Senin 2 Mei 2005, pukul 11.30 – 13.00
Kelas Paralel – Agus Sopian: Manajemen reportase komprehensif mulai pengenalan atas informasi pertama, liputan pendahuluan, wawancara, observasi lapangan hingga penulisan.
Sesi 4, Selasa 3 Mei 2005, pukul 09.30 – 11.00
Kelas Paralel – Andreas Harsono: Membangun database pribadi, mulai kronologi kasus sampai pembuatan daftar kontak sumber untuk keperluan penulisan.
Kelas Bersama: Diskusi liputan isu lokal mulai persoalan nasionalisme Indonesia sampai isu pemilihan kepala daerah. [Andreas Harsono]
:: Bacaan Workshop
● Sembilan Elemen Jurnalisme oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (Bagian 2 dan 4 tentang Kebenaran dan Jurnalisme Verifikasi).
● Resensi Sembilan Elemen Jurnalisme oleh Andreas Harsono
● Dari Thames ke Ciliwung oleh Andreas Harsono
● Indonesia Kilometer Nol oleh Andreas Harsono
● Asing di Tanah Aceh oleh Andreas Harsono
● Cermin Jakarta, Cermin New York oleh Andreas Harsono
● Taufik bin Abdul Halim oleh Agus Sopian
● Tikungan Terakhir oleh Agus Sopian
● Namaku Bre Redana oleh Linda Christanty
● Hikayat Kebo oleh Linda Christanty
● Kegilaan di Simpang Kraft oleh Chik Rini
● Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan oleh Alfian Hamzah
● It’s an Honour oleh Jimmy Breslin
● Journalism and the Scientific Tradition oleh Philip Meyer
● Reporting with Computers an interview Philip Meyer with Margareth Sullivan
:: Tentang Yayasan Pantau
Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia. Awalnya Pantau sebuah majalah yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada tahun 1999. ISAI dan Article XIX, sebuah organisasi kebebasan media dari London, bersama-sama memantau televisi dan menerbitkan penelitiannya lewat “newsletter” Pantau.
Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuatnya lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Maka, Maret 2001 Pantau diubah jadi majalah bulanan dengan liputan mendalam soal media dan jurnalisme. Pantau terbit rutin tiap Senin bulan pertama. Menurut survei Business Digest pada Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62 persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan mahasiswa.
Ali Alatas, mantan menteri luar negeri Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini. Liem Sioe Liong dari organisasi hak asasi manusia Tapol London menyebut majalah ini sebagai “majalah terbaik di Indonesia.” Muchtar Buchori, seorang legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post, menyebutnya “majalah investigasi.”
Pantau terbit dengan laporan-laporan panjang baik soal media, Aceh, terorisme, dan lain-lain. Isinya, sekitar 60 persen soal media dan 40 persen non-media. Pantau jadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia karena pertama kalinya media Indonesia diliput media lain dengan standar wajar –tanpa standar ganda karena khawatir saling mengganggu sesama wartawan. Pada Februari 2003, manajemen ISAI memutuskan menutup Pantau karena kesulitan cash flow.
Namun para kontributor Pantau merasa majalah ini harus diterbitkan lagi karena di Indonesia tak ada media yang menyajikan informasi dengan bercerita atau “story telling” macam The New Yorker atau The Atlantic Monthly. Riset dalam, referensi banyak, dan enak dibaca. Mereka ingin majalah ini terbit dengan isu luas: politik-cum-kebudayaan. Pantau manajemen baru terbit Desember 2003 dan kembali berhenti karena kesulitan cash flow. Pendanaan selalu menjadi persoalan krusial bagi Pantau, dan sesungguhnya persoalan ini pula yang membuat jurnalisme di Indonesia seperti jalan di tempat. Banyak media yang lebih memfokuskan diri pada penggalian laba, sementara pendidikan terhadap para wartawannya terabaikan.
Beberapa kontributor Pantau yang sebelumnya mendirikan Yayasan Pantau pada 2003, berinisiatif untuk menjalankan pelatihan-pelatihan wartawan dan diskusi terbatas demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.