Andreas Harsono
Jakarta, Agustus 2004
Kalau Anda lewat Jalan Kebon Sirih, satu blok dari Monumen Nasional di Jakarta, rasanya tak sulit untuk menemukan gedung Jakarta Media Center. Masuklah ke bangunan itu dan datangi lantai delapan. Di sana terletak antor Lembaga Pers Dokter Soetomo, sebuah sekolah wartawan, yang salah satu instrukturnya adalah Atmakusumah Astraatmadja.
“Pak Atma,” begitu saya memanggilnya, seorang lelaki periang, bersuara besar, rambutnya mulai menipis namun gondrong di bagian belakang. Dia wartawan yang dihormati banyak wartawan lain karena integritasnya. Sejak 1960-an, Pak Atma sudah bekerja untuk harian Indonesia Raya. Ia juga pernah jadi ketua Dewan Pers (1992-2003) serta menerima hadiah bergengsi Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature and Creative Communication Arts dari Filipina pada tahun 2000.
Kali ini, saya punya satu pertanyaan buat Pak Atma: Mengapa mayoritas surat kabar di Indonesia, dari Banda Aceh hingga Jayapura, dari Jakarta hingga Manado, tak menggunakan byline? Padahal byline kalau dipelajari sejarah penemuan dan pemakaiannya sejak abad XIX, dinilai berguna untuk meningkatkan mutu jurnalisme surat kabar yang memakainya.
Pak Atma merasa sulit menjawab pertanyaan ini. “Kurang keberanian,” katanya.
Harian The Jakarta Post termasuk yang berani karena memulai pemakaian byline sejak Oktober 2001. Namun, Raymond Toruan, pemimpin redaksi The Jakarta Post, pernah mengeluh karena banyak laporan reporternya yang disunting “cukup lumayan” sehingga jadi bagus, seolah-olah hasil dari orang yang namanya tercantum, padahal lebih banyak suntingan para redaktur.
Pak Atma mengatakan alasan Toruan bisa mengerti karena banyak reporter di Indonesia belum bisa menulis sesuai persyaratan standar jurnalisme, “Kalau mereka menyampaikan penulisan kepada redaktur masih butuh penyuntingan, butuh waktu, dari segi struktur, bahasa, isi, yang tidak jarang tidak lengkap, masih tidak jelas.” Namun kelemahan ini bisa diatasi dengan memasukkan nama si redaktur bersama nama si reporter.
Dalam bahasa Inggris, byline berasal dari kata “by” (oleh) dan “line” (baris) yang menunjukkan kepada baris dekat judul cerita di mana terdapat nama orang yang menulis cerita itu. Menurut kamus Merriam Webster’s Collegiate Dictionary, kata “byline” masuk ke perbendaharaan bahasa Inggris, artinya terekam pertama kalinya dalam perbendaharaan bahasa ini, pada 1938.
Byline dipakai pertama pada tahun 1880-an oleh Charles S. Taylor, seorang jendral yang jadi publisher harian The Boston Globe, sesudah perang saudara Amerika. Taylor waktu itu jengkel karena selama perang ada wartawan yang menulis dengan judul, “Berita Penting Jika Terbukti Benar.” Artinya, si wartawan tak mau bertanggung jawab mencari kebenaran beritanya sendiri. Repotnya, ketika itu, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan untuk keperluan internal. Banyak juga yang tanpa inisial. Taylor memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita The Boston Globe.
Pemakaian byline ini ternyata membuat wartawan-wartawan The Boston Globe lebih berhati-hati dengan laporan mereka. Inovasi Taylor pun perlahan-lahan ditiru oleh surat kabar lain di Amerika Serikat.
Pak Atma mengatakan, “Saya senang sebenarnya melihat byline, ini kebanggaan, juga memperkuat tanggung jawab masing-masing reporter. Wartawan yang bersembunyi di balik inisial --atau tagline-- kalau bertanya tidak benar, tidak akurat, atau tidak berimbang reputasi mereka akan tercoreng, karena rupanya tercantum di sana.”
Di Jakarta, katakanlah dengan memperhatikan harian Kompas, Media Indonesia, Republika, atau majalah Tempo, Gatra, Trust, byline bukan tradisi. Wartawan-wartawan mereka bersembunyi di balik inisial atau “tagline” nama para kontributor sebuah laporan yang biasanya terletak di bagian bawah laporan. Mereka tak memperlihatkan secara jelas siapa penulis akhir dari laporan-laporan itu.
Pak Atma, menyebut ada kekuatiran si wartawan bisa dipukul bila pakai byline. Namun, kekuatiran itu dibantahnya sendiri, dengan banyaknya wartawan Indonesia yang diserang orang walau tanpa byline sekalipun. Orang jahat bisa saja mencari tahu nama si wartawan.
Perlu ada riset untuk tahu seberapa besar manfaat byline, kebijakan The Jakarta Post bisa dijadikan bahan riset. Seberapa besar dampak pemuatan byline ini, baik terhadap wartawan maupun pembaca.
Namun, dia mengatakan, membuat riset pun tidak mudah karena di Indonesia, perdebatan soal byline tidak pernah ada. Selain itu, tak ada institusi di Indonesia seperti institusi jurnalisme di Amerika Serikat. Disana ada lembaga macam Columbia Graduate School of Journalism, yang punya publikasi yang bisa dijadikan pedoman.
"Di Indonesia kan tidak ada institusi yang sangat kuat pengaruhnya yang punya reputasi dan perlu diikuti sebagai pembimbing perkembangan standar profesi jurnalisme?” kata Pak Atma.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.