Oleh Andreas Harsono
Beberapa hari lalu seorang teman kuliah, yang kini jadi seorang pengusaha, menelefon saya dan mengajak diskusi soal nilai tukar rupiah, para kandidat presiden, dan macam-macam isu politik lain. Kami bicara agak lama ketika ia mengejutkan saya dengan menanyakan mengapa Goenawan Mohamad, seorang wartawan terkemuka Indonesia, yang punya reputasi internasional, juga kenalan baik saya, memutuskan bergabung dengan tim sukses Amien Rais. "Ini apa tidak memengaruhi independensinya?" tanyanya.
Saya belum tahu dan berjanji akan mengeceknya. Selang sehari saya mengirim SMS kepada Goenawan, menanyakan apa benar ia bergabung dengan tim kampanye Amien Rais? Kalau benar, tidakkah keputusan itu akan memengaruhi independensinya sebagai wartawan?
Ia pun menjawab dengan SMS, "It will. But if you are committed to democratic change, you have to be prepared to be a normal citizen. In the election time partisanship is a sad duty."
Kurang lebih, ia mengatakan ia juga sedang menjadi "warga negara biasa" yang ingin melihat terjadinya perubahan politik secara demokratis di Indonesia. Sikap partisan memang akan memengaruhi independensinya sebagai wartawan dan tanggung jawab ini menyedihkan.
Saya kira Goenawan bukan satu-satunya wartawan Indonesia yang terlibat dalam politik pemilihan presiden. Alwi Hamu, misalnya, salah satu pemimpin Kelompok Jawa Pos, ikut bergabung dengan tim sukses Jusuf Kalla. Alwi mengerahkan banyak redaktur harian Fajar, salah satu surat kabar terbesar di Pulau Sulawesi, membantu duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Cyprianus Aoer, seorang wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan, jadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk anggota parlemen. Ia masuk urutan nomor satu calon PDIP untuk Flores dan April lalu lolos masuk Senayan. "Motivasi saya adalah memperjuangkan rakyat, masih banyak yang miskin di Flores sana," katanya.
Panda Nababan, dulu dikenal sebagai wartawan harian Sinar Harapan, kini salah satu orang kepercayaan Megawati. Wahyu Moeryadi kini bekerja untuk mingguan Tempo dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Contoh lain adalah Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia dan Metro TV. Surya menjadi calon presiden Partai Golongan Karya. Ketika berkampanye, Surya mengarahkan kedua media itu membantunya, "Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau tidak, apa lagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit."
Surya terang-terangan mungkin karena ia pemilik media. Tapi banyak wartawan yang namanya tak tercantum resmi namun sering membantu mengatur berbagai pertemuan antarpolitisi dan "bertugas" membuat agenda atau opini (maupun opini tandi-ngan) di media massa. Saya tahu ada tiga wartawan majalah Tempo juga masuk tim Jusuf Kalla. Mereka melakukannya diam-diam dan memakai nama samaran kalau menulis.
Pengusaha kenalan saya itu bertanya-tanya bagaimana wartawan-wartawan ini bisa independen saat bekerja? Wartawan memang sulit menjadi netral tapi mereka harus independen dari orang atau isu yang mereka liput sehingga bisa tetap kritis terhadap liputannya. Apa dampak dari wartawan yang ikut berpolitik terhadap medianya?
Bagaimanapun, wartawan termasuk warga negara biasa yang punya hak politik dan sering diharapkan ikut memimpin masyarakatnya. Mereka sah melakukannya. Aoer sangat prihatin karena warga Flores kurang diperjuangkan di Jakarta. Tidakkah pilihannya sah untuk terjun ke Parlemen?
Saya kira pertama-tama harus dibedakan juga antara mereka yang melakukannya secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Saya lebih menghargai wartawan yang terang-terangan masuk politik, termasuk Panda Nababan dan Cyprianus Aoer, walau saya kurang setuju dengan tindakan itu, daripada mereka yang diam-diam ikut rapat partai dan ikut mengatur strategi kampanye namun namanya tak diungkapkan kepada publik (seringkali mereka yang terang-terangan dulunya juga mulai dari diam-diam). Mereka yang sembunyi-sembunyi jelas menyalahi salah satu dasar intelektual dari verifikasi dalam jurnalisme, transparan kepada audiens.
Namun saya percaya keterlibatan wartawan dalam politik sebaiknya diberlakukan sebagai one-way ticket. Seorang wartawan boleh jadi politikus tapi jangan kembali jadi wartawan. Aoer boleh masuk parlemen tapi jangan kembali ke Suara Pembaruan. Alwi Hamu, Goenawan Mohamad dan Surya Paloh juga jangan kembali ke media mereka. Saham bisa dikelola orang lain bukan?
Bill Kovach, kurator Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard, salah satu guru wartawan yang paling dihormati dari Amerika Serikat, punya cerita yang penting untuk menerangkan isu ini.
Pada 1979, ketika baru menjadi kepala biro Washington New York Times, Kovach diajak mengobrol Presiden Jimmy Carter di Gedung Putih. Mereka bicara tentang makna informasi buat seorang politikus dan seorang wartawan.
Carter berkata, "Ketika Anda memiliki kekuasaan, Anda menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kepemimpinan Anda. Namun kalau Anda wartawan, Anda menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka sendiri."
"Carter benar sekali," kata Kovach. "Informasi yang sama dipakai untuk dua tujuan yang berbeda. Bahkan berlawanan."
Ini pula yang membuat Kovach mengambil sikap teguh untuk independen dari dunia politik maupun politisi. Kovach setia pada jurnalisme dan tak pernah mau menerima tawaran masuk ke dunia politik. Ia membuktikannya selama bekerja sebagai wartawan sejak 1959. Kovach tak pernah masuk ke partai, ikut kampanye atau menerima pekerjaan lain di luar jurnalisme.
Inilah salah satu elemen jurnalisme. Loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempatnya berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Independen baik dari institusi pemerintah, bisnis, sosial maupun politik. Wartawan bahkan harus independen dari pemilik media tempatnya bekerja.
Bila seorang wartawan masuk politik, ia akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap informasi, sehingga lebih baik bila ia tak kembali ke media. Praktik bolak-balik ini akan menimbulkan citra kurang baik dari masyarakat tehadap media Indonesia, apalagi pada masa demokratisasi sekarang ini, di mana warga butuh informasi yang bermutu untuk mengambil sikap terhadap berbagai isu penting di Indonesia. ***
Naskah ini muncul di harian Pikiran Rakyat di Bandung. Andreas Harsono adalah ketua Yayasan Pantau, yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia, menerima Nieman Fellowship dari Harvard pada 1999-2000.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.