Pantau, 2 February 2004
KETIKA Januari lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Koran Tempo bersalah karena mencemarkan nama baik pengusaha Tomy Winata, dengan hukum denda US$1 juta plus minta maaf secara publik lewat 14 media cetak dan 12 media elektronik, banyak orang geger karena merasa keputusan itu terlalu memberatkan si media.
Beberapa organisasi wartawan melancarkan protes. Mulai Aliansi Jurnalis Independen hingga Committee to Protect Journalists dari New York. “Ini putusan gendeng. Satu rupiah pun Tempo tidak mau bayar,” kata Fikri Jufri dari majalah Tempo.
Kalau dihitung-hitung, biaya iklan permintaan maaf ini sendiri bisa ratusan juta rupiah, bahkan mungkin lebih, tergantung jenis iklannya. Bisa dimaklumi bila Koran Tempo mengajukan banding. Pengacaranya, Todung Mulya Lubis, menganggap keputusan itu ceroboh dan “over killing.” “Kami bukan kalah tapi dikalahkan,” kata Lubis.
Sekadar menyegarkan ingatan, merek Tempo mulanya digunakan untuk majalah sejak 1971. Koran Tempo sendiri, berdiri pada 2001, anak perusahaan majalah Tempo. Mereka membuat operasi bersama yang dilayani Tempo News Room.
Ada kesan kuat, ketika kasus hukum Tempo belakangan ini dibicarakan, bayangan pertama sebagian orang jatuh pada soal pertikaian majalah Tempo versus Tomy Winata karena berita kebakaran pasar Tanah Abang. Padahal, vonis itu berasal dari perkara lain yang menimpa Koran Tempo, yang beritanya muncul lebih dulu ketimbang berita di majalah.
Ceritanya bermula ketika Dedy Kurniawan, koresponden Tempo News Room di Sulawesi Tenggara, meliput penandatanganan MOU antara Gubernur Ali Mazi dan Tomy Winata di Kendari. Tomy hendak berinvestasi di sektor pertanian, pertambangan, pariwisata, dan kehutanan.
Ketika mendapat kesempatan mencegat si gubernur, Dedy yang sebelumnya mendengar “desas-desus” bahwa Tomy juga akan buka bisnis judi, bertanya kepada Ali Mazi apakah dalam MOU juga disinggung sektor perjudian?
Ali Mazi menjawab, “Enggak benar itu. Dari mana Anda dapat berita itu?”
Bantahan itulah yang dikirim Dedy ke redaksi Tempo News Room di Jakarta. Menurut Dedy, koordinator daerah Wicaksono, sempat meneleponnya dua kali agar Dedy minta komentar Tomy sendiri. Dedy tak berhasil karena jadwal Tomy yang padat.
Keesokan harinya, 6 Februari 2003, berita itu pun turun dengan judul, “Gubernur Ali Mazi Bantah Tommy Winata Buka Usaha Judi” (ejaan nama yang benar seharusnya “Tomy”).
Laporan itu panjangnya 11 alinea plus sebuah kotak berisi sosok Gubernur Ali Mazi. Dedy menulis, “Hadirnya pengusaha Jakarta yang dipimpin Tomy pada acara pelantikan Ali Mazi, semakin menambah kencang desas-desus soal bisnis judi. Kabarnya, ada empat pulau yang akan dipilih sebagai lokasi perjudian, masing-masing Pulau Tomia dan Onemoba’a … Pulau Hari … dan Pulau Bokori.”
“Sumber Tempo News Room di Kendari menyebutkan, Tomy Winata sudah membeli lahan di desa Toronipa, kabupaten Kendari. Desa Toronipa ini merupakan wilayah terdekat untuk mencapai Pulau Hari atau Pulau Bokori. Pengusaha yang bermitra dengan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat ini juga disebut-sebut mengincar kawasan Pulau Seribu di utara Jakarta sebagai arena judi.”
Dua alinea inilah yang terutama bikin pihak Tomy berang. Tambah pahit lagi ketika sebulan kemudian, majalah Tempo menurunkan laporan, “Ada Tomy di Tenabang” pada edisi 3–9 Maret 2003. Berita ini mengutip sebuah sumber anonim yang mengatakan dia melihat ada proposal Tomy Winata untuk melakukan renovasi Pasar Tanah Abang.
Sisanya sudah jadi pengetahuan umum. Orang-orang Tomy menyerbu kantor Tempo, memaki-maki awak redaksi, bahkan memukul Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo maupun Koran Tempo. Media di Indonesia memberitakannya dengan seru.
Baik Tomy maupun Tempo memilih jalur hukum. Lalu terjadilah sidang demi sidang. Tomy menggugat Tempo. Sedang Tempo memperkarakan penyerbuan dan kekerasan. Tempo dan berbagai organisasi media merasa ancaman “premanisme” ini berbahaya untuk kebebasan pers di Indonesia. Mereka pun bikin kampanye media untuk melawan “premanisme” –lewat pemasangan logo bersama berupa bulatan warna hitam dengan gambar tangan memegang pulpen.
Menarik untuk tahu apakah informasi keempat pulau dan desa Toronipa itu benar adanya?
Hakim Zoeber Djajadi memutuskan, secara tersirat, bahwa informasi dari sumber anonim itu salah. Djajadi menerima argumentasi Tomy Winata bahwa dia tidak memilih keempat pulau itu sebagai lokasi perjudian. Dia juga tak punya rencana bikin bisnis judi –sesuatu yang ilegal di banyak tempat di Indonesia.
Dedy mengatakan “sumber” itu seorang birokrat pemerintah daerah Sulawesi Tenggara.
“Sumber itu mengatakan kepada saya, dua atau tiga hari sebelum ketemu gubernur. Dia melihat cetak biru rencana pembangunan di empat pulau itu. Dia termasuk orang dalam pemerintahan Sulawesi Tenggara. Ali Mazi kan punya tim tersendiri? Dia anggota tim itu. Tim inilah yang bekerja sama dengan pihak Artha Graha soal investasi dan macam-macam.”
Kasusnya hampir sama dengan Tanah Abang. Sumbernya sama-sama tunggal. Sumbernya sama-sama mengatakan melihat dokumen. Tapi sumbernya sama-sama tak memiliki dokumen. Hingga hari ini, keberadaan dokumen-dokumen itu, termasuk di Tanah Abang, belum bisa dibuktikan.
“Soal saya kaitkan keempat pulau itu untuk jadi kawasan judi, sampai hari ini memang belum ada buktinya. Mungkin disengaja, pihak TW (Tomy Winata) menyetop dulu,” kata Dedy, seraya menambahkan bahwa investasi Tomy di sektor lain juga tak berjalan sesuai rencana. Dedy mengatakan kini terbukti Tomy Winata benar membeli tanah di desa Toronipa. Tomy membangun sebuah villa di sana. Dedy melihatnya sendiri dan mengeceknya dengan pihak kecamatan.
Villa belum tentu tempat judi. Apa yang kebetulan belum tentu merupakan kebenaran. Mungkin inilah pelajaran berharga. Sebuah sumber anonim, yang keterangannnya tak diverifikasi secara independen dengan sumber kedua atau dokumen, bisa jadi awal maraknya gugatan terhadap media. Kali ini nilainya US$1 juta. Memang mahal!
No comments:
Post a Comment