Jalan Raya Ubud tergolong kecil, hanya cukup untuk dua jalur mobil, sehingga ramai apalagi di sana ada pasar, teater, warung internet, persewaan sepeda, dan bermacam kedai. Suasananya enak. Bau kemenyan terasa lembut. Dekat pasar terdapat sebuah museum penting bernama Puri Lukisan – tempat orang bisa merenung dan mengagumi karya-karya klasik seniman Bali.
Ada lukisan dinding karya I Gusti Nyoman Lempad. Ukurannya raksasa. Beberapa bagiannya rusak. Warnanya kalah melawan waktu. Di dalam ada karya Anak Agung Gede Meregeg, Bima mencari arwah ibu dan bapaknya (1939). Inilah Puri Lukisan. Ada mitologi Bali. Ada Bima. Garuda, Leak, dan bermacam cerita wayang. Tapi juga ada gambar gadis-gadis muda bertelanjang dada, mandi di kolam.
Menurut Jean Couteau, seorang peneliti-cum-sastrawan Prancis, dalam buku Museum Puri Lukisan, koleksi Puri Lukisan merupakan saksi mata pembaruan seni lukis dan seni patung Bali.
Pembaruan ini terjadi pada masa Hindia Belanda. Seniman Bali hingga abad ke-19 berkesenian untuk melayani keperluan ritual agama atau aristokrasi. Ketika kerajaan-kerajaan Bali ditaklukkan Belanda, maka pengaruh orang asing pun pelan-pelan masuk ke Bali. Kolonialisme membuat kesenian Bali berubah. Seni ini pun makin marak dengan berkembangnya turisme Bali pada 1920-an.
“Sekarang koleksinya lebih dari 200 lembar lukisan, patungnya mungkin ada 80-an,” kata Tjokorda Bagus Astika, direktur Museum Puri Lukisan. Koleksinya kebanyakan dikumpulkan Rudolf Bonnet. Bicara Puri Lukisan memang harus bicara tentang Bonnet, Walter Spies, maupun Tjokorda Agung Sukawati – tiga serangkai yang berperan besar dalam pembaruan seni rupa Bali.
Walter Spies kelahiran Moskow 1895 dari sebuah keluarga Jerman. Pada 1923 Spies pergi melihat Hindia Belanda dan sempat bekerja sebagai musikus di keraton Yogyakarta. Di sana Spies bertemu seorang pangeran dari Ubud bernama Tjokorda Raka Sukawati – anggota Volksraad yang pernah belajar di Paris dan beristrikan perempuan Prancis. Si pangeran mengundang Spies ke Ubud dan memperkenalkan adiknya, Tjokorda Gede Agung Sukawati. Merasa cocok, Spies memutuskan menetap di kota kecil ini.
Dalam beberapa tahun saja Spies dianggap sebagai orang non-Bali yang paling tahu soal Bali. Dia jadi kolektor serangga, pengarah musik, konsultan pembuatan film, menciptakan koreografi –termasuk tari Kecak – menulis artikel dan buku, serta membantu pengembangan seni rupa Bali.
Spies membuka pintu rumahnya untuk tamu mancanegara yang mulai berdatangan ke Bali. Seorang di antaranya Rudolf Bonnet dari keluarga Belanda keturunan Huguenot (orang Prancis beragama Protestan).
Kehadiran dua seniman Eropa ini membuat gerakan pembaruan seni Bali mendapat momentum besar. Spies dan Bonnet menyediakan materi dan teknik baru. Spies menjadikan rumahnya untuk melatih 12-15 anak muda Bali melukis. Tiga sekawan itu juga membantu pemasarannya.
Pada 1936 mereka mendirikan perkumpulan Pita Maha. Nama ini diambil dari bahasa Kawi kuno yang artinya “nenek moyang luhur.” Ketuanya Ida Bagus Putu dan komite artistiknya Tjokorda Agung, Bonnet, Spies, dan Lempad. Keanggotaannya tersebar pada semua sentra kesenian Bali: desa Peliatan, Padangtegal, Pengosekan, Mas, Nyuhkuning, Batuan, Sanur, Klungkung, dan Celuk. Anggotanya 120-150 seniman.
Tiap minggu pengurus bertemu di rumah Spies. Mereka menyelenggarakan pameran di Batavia, Bandung, Medan, Palembang, Surabaya, maupun Belanda, Paris, New York, Nagoya. Pendek kata, pembaruan seni Bali ini membuat publik kesenian dunia kagum – setara dengan kekaguman terhadap kesenian dari Cina, Jepang, maupun India. Kekuatan anatomis Lempad jadi termasyhur di seluruh negeri.
Perang Dunia II meletus. Spies dikeluarkan dari Pita Maha dengan tuduhan terlibat homoseksualisme. Bonnet protes dan mundur dari Pita Maha. Masuknya tentara Jepang membuat kegiatan Pita Maha berhenti. Beberapa seniman menghimpun diri dalam Golongan Pelukis Ubud. Pada 1942 Pita Maha dibubarkan.
Spies dan Bonnet ditahan pasukan Jepang. Malang nasib Spies, kapal yang membawanya pulang ke Jerman, tenggelam terkena torpedo Jepang dekat perairan Srilanka. Bonnet ditahan di Makassar tapi berhasil kembali ke Bali sesudah kemerdekaan Indonesia.
Masa revolusi dimanfaatkan Bonnet untuk riset, mendidik pelukis muda, dan mengumpulkan koleksi Pita Maha. Cita-cita membangun museum bersama Tjokorda Agung dihidupkan lagi.
Mereka membeli sebidang tanah dekat puri keluarga Sukawati. Pada 1953 terbentuklah Yayasan Ratna Wartha dengan tujuan membangun museum. Pada Januari 1954 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, yang kebetulan teman dekat Tjokorda Agung, datang ke Ubud dan meletakkan batu pertama pembangunan museum.
Donasi pun mengalir dari pemerintah Indonesia, lembaga kebudayaan Belanda Sticusa, serta Ford Foundation. Dua tahun kemudian museum itu diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Yamin. Nama "Puri Lukisan" yang artinya istana karya lukis, diciptakan Yamin.
Bonnet dan Tjokorda Agung meninggal pada 1978. Jenasah mereka di-ngaben-kan bersama pada 1979. Tapi Puri Lukisan maupun museum lain di Ubud tetap menarik minat seniman dari daerah lain, termasuk Affandi, S. Sudjojono, Dullah, maupun negara lain, untuk menggali ide serta belajar.
Adrien Le Mayeur (1880-1968): Bermain
Naskah saya ini dimuat, tanpa byline, dalam buku Menyambut Indonesia: Limapuluh Tahun bersama Ford Foundation 1953-2003. Saya bikin liputan di Ubud selama seminggu. Bahan-bahannya jauh lebih banyak dari yang bisa muncul dengan dua halaman buku. Musium lukisan Adrien Le Mayeur terletak di Sanur. Le Mayeur pindah ke Bali sejak 1932.
1 comment:
Menarik seklai tulisannya mas andreas, saya sendiir yang sering lewat sini belum pernah masuk museum ini jadi penasaran, terimaksih.
Post a Comment