Thursday, July 10, 2003
Nasionalisme dan Jurnalisme
Jumat malam lalu saya diundang Metro TV untuk muncul dalam siaran bincang-bincang dengan Hersubeno Arief tentang Aceh dan jurnalisme. Ini semacam pendidikan publik. Saya menjelaskan prinsip-prinsip yang dikenal sebagai "sembilan elemen jurnalisme" ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Seorang wartawan harus bisa mewawancarai sebanyak mungkin pihak. Dalam masalah Aceh, seorang wartawan harus mewawancarai baik pihak tentara maupun gerilyawan.
Saya merasa terganggu dengan banyaknya halangan yang diciptakan pemerintah terhadap media. Banyak juga warga yang minta wartawan bersikap "nasionalis" atau "merah putih." Banyak telepon masuk. Saya dinilai tidak nasionalis. Chik Rini, rekan saya dari Aceh, yang menonton program ini, geli mendengar tuduhan itu pada diri saya.
Hersubeno Arief, pembawa acara ini, tanya apa saya tak takut kalau dituduh tidak nasionalis? Tidakkah wartawan Indonesia harus membela "Indonesia" dan tak mewawancarai pihak Aceh Merdeka?
Saya jawab, "Nggak apa-apa dituduh tidak nasionalis. Tugas saya adalah menyajikan kebenaran kepada para warga agar mereka bisa mengambil keputusan yang benar tentang Aceh."
Pelayanan ini akan bisa bermutu bila wartawan bisa mendekati sebanyak mungkin sumber. Kalau seorang wartawan diminta memperhatikan status dirinya sebagai seorang "anak bangsa" dalam liputan Aceh, saya kuatir, wartawan-wartawan kita tak bisa bekerja dengan baik.
Implikasi dari permintaan ini adalah kita juga harus membela kelompok-kelompok lain di mana kita dianggap berada di dalamnya. Misalnya, saya warga Indonesia keturunan Tionghoa, lahir dalam keluarga Kristen Protestan, besar di sekolah-sekolah Katholik, belajar dan percaya pada sosialisme, saat pemilihan umum mencoblos atau tidak mencoblos partai tertentu, bahkan pernah belajar di Amerika Serikat. Apakah ini artinya, saya juga harus membela siapa pun yang dianggap Tionghoa? Apakah saya juga harus membela apa yang disebut "Kristen"? Apakah saya juga harus bias terhadap ideologi tertentu? Membela partai politik tertentu? Membela Amerika Serikat? Kalau permintaan itu ditururi, saya kira, jurnalisme tidak akan jalan! Kristen yang mana? Tionghoa yang mana? Partai politik pun punya banyak faksi? Apalagi apa yang disebut sebagai "Indonesia"? Amerika Serikat apalagi?
Saya percaya jurnalisme justru berkembang ketika ia mengembangkan metode di mana bias seorang wartawan --entah etnik, agama, pendidikan, kewarganegaraan-- bisa diatasi lewat prosedur dan mekanisme kerja a.l. cover both sides, verifikasi dan sebagainya. Kok sekarang wartawan malah disuruh memperlihatkan bias kebangsaannya dalam liputan Aceh?
Keputusan Gustav Roberto dari Indosiar, Anggi Mulya Makmur dari TV-7, Orin Basuki dari Kompas, dan Imam Wahyudi dari RCTI untuk mewawancarai Erza Siregar dan rombongan mereka adalah salah satu cerminan prosedur kerja ini. Mereka masuk hutan dan cari berita. Ini bukan tindakan yang salah. Kenapa mereka malah diinterogasi polisi?
Bill Kovach mengatakan wartawan bisa disamakan dengan kerja dokter di medan pertempuran. Kalau si dokter merawat gerilyawan GAM tak berarti si dokter bukan warga negara Indonesia yang baik bukan? Dokter ini justru menjalankan tanggungjawabnya sebagai warga negara Indonesia dengan sebaik-baiknya ketika dia mengabdi pada tanggungjawabnya sebagai dokter.
Atau pengacara yang membela terdakwa teroris macam Amrozi, Abdul Azis, Mukhlas, Abubakar Ba'asyir, dan sebagainya. Mereka justru menjalankan tugas mereka sebagai pengacara, sekaligus juga jadi warga negara yang baik, tanpa perlu dituduh berpihak pada teroris yang ingin menggantikan negara Republik Indonesia ini dengan "Daulah Islamiyah." Contoh sama terjadi pada Yap Thiam Hien ketika membela Soebandrio pada 1966. Padahal Partai Komunis Indonesia dianggap bertanggungjawab hendak menjatuhkan rezim Presiden Soekarno. Bayangkan kalau para pengacara dinilai tak nasionalis?
Saya ingin sedikit sumbang pikiran. Tanggungjawab kita sebagai wartawan kini memang sedang berat-beratnya. Kita bisa disalahmengerti. Kita bisa dituduh macam-macam. Tapi bagi seorang wartawan, dia harus mendahulukan jurnalisme. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.