Wimar Witoelar: Selamat bertemu kembali para penonton Wimar Show di stasiun kesayangan anda. Di bulan Mei ini, mau nggak mau, kita tidak bisa lupa, pada tragedi yang besar belasan tahun lalu yaitu Tragedi Mei 1998. Kita teringat bahwa masalah hak asasi itu tidak banyak kemajuannya.
Karena itu kami undang sekarang Andreas Harsono, yang boleh dikatakan seluruh hidup dewasanya dipersembahkan kepada masalah human rights. Saya membaca artikel dari kecil saja Anda sudah tertarik, bisa mulai dari situ. Apa yang mendorong anda bisa sustainable, bisa konsisten sekian tahun dalam human rights dan sekarang Anda ngapain?
Andreas Harsono: Saya ini orang Tionghoa, ketika jaman Orde Baru, orang Tionghoa didiskriminasi, masuk sekolah sulit, nama dipaksa ganti, bahkan identitas pun di ganti, agama juga dilarang. Konghucu dilarang. Jadi ketika kecil saya merasakan betul bagaimana orang itu didiskriminasi. Saya kagum dengan Yap Thiam Hien, Mochtar Lubis, yang menurut saya, berani bersuara untuk orang minoritas. Saya kira menarik bila dewasa, kita memperjuangkan hal-hal yang baik itu.
Orang didiskriminasi bisa punya dua pilihan. Pertama, dia bisa melakukan diskriminasi terhadap orang lain.
Diteruskan begitu?
Ya. Saya kira saya melawan, saya menolak. Makin saya tua tentu interest saya juga makin banyak. Saya bahkan praktis jarang sekali menyentuh isu diskriminasi Tionghoa, tapi lebih banyak kepada, Timor Timur, Aceh, Ahmadiyah, Syiah, Papua dan seterusnya
Kira-kira tahun berapa Anda mulai aktif dalam perjuangan hak asasi ini?
Mula-mula saya menjadi wartawan Jakarta Post setahun, setelah itu harian The Nation Bangkok, karena saya dilarang kerja di di sini.
Oh iya iya. Itu tahun 1990an barangkali?
Tahun 1994 setelah mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Saya mulai menulis buat The Nation (1995), lantas ada krisis moneter, banyak sekali kekerasan. Begitu Presiden Soeharto jatuh, Aceh hampir 20.000 ribu orang mati, setelah itu Kalimantan ada orang Madura 6,500 orang dibunuh, pindah ke Sulawesi sekitar Danau Poso, pindah ke Ambon 25,000 orang --Ambon dan Ternate-- Papua, Timor Timur, di Jawa juga. Saya kira itu periode dimana terjadi banyak pembunuhan massal. Ironisnya tidak banyak orang yang ditangkap, diadili dan dihukum.
Saya akan masuk ke dalam detail itu nanti. Kalau kita balik kepada tahun 1990an, waktu itu Anda hidup dalam masyarakat yang tertekan atau Soeharto diskriminasi Tionghoa, kemudian sesudahnya banyak perbaikan dalam soal-soal itu ya. Mungkin ada euphoria bahwa akhirnya masalah hak asasi manusia akan diangkat. Ada menteri hak asasi manusia dan sebagainya. Tapi menurut Anda bagaimana assestment itu? Apa kita masih maju atau kita sedang mundur lagi?
Ada beberapa kemajuan yang signifikan. Misal ada pemilihan umum, mencoblosnya bebas gitu, tidak ada represi, lantas tidak ada organisasi tunggal. Kalau dulu kan buruh tunggal, semua tunggal. Namun tentu banyak hal yang tidak dilakukan terutama keadilan. Mengadili orang-orang yang bersalah. Praktis ada budaya inpunitas di Indonesia. Paling besar tentu kasus 1965-66. Selama kasus 1965-66 --ibunda dari seluruh kekerasan di Indonesia-- tidak dibereskan,impunitas akan tetap ada.
Jadi ada benang merah dari 65 sampai kepada sekarang?
Oh iya. Misalnya, ada film The Act of Killing ...
Itu dilarang atau bagaimana?
Belum jelas sampai sekarang.
Oh iya..iya.
Elite yang berkuasa sekarang ini adalah keturunan dari elite yang berkuasa tahun 1965 --anaknya, cucunya bahkan ...
Menantunya!
Kalau menantu ya ... ha ha ha.
Jadi mereka berkepentingan untuk tidak membiarkan (kebenaran dan keadilan) terjadi dan ini tidak hanya di Jakarta. Kita pindah ke Padang, pindah ke Pontianak, kita pindah ke Kupang … tetap sama. Elite yang berkuasa adalah elite yang orang tuanya berlumuran darah.
Tapi apa ada tanda bahwa elite itu akan digantikan? Nanti kita akan telusuri. Kita akan break sebentar. Kita kembali setelah berikut ini, jangan pindah channel ya.
Acara ngomong-ngomong ini juga disiarkan lewat Youtube. Anda tinggal search Wimar Show dan akan keluar puluhan wawancara Wimar Show. Kalau di Youtube ya nggak usah suruh jangan kemana-mana.
Percakapan dengan Andreas Harsono ini agak mencekam. Kita merasa tahun 1997, 1998, 1999 dengan beberapa kemajuan hak asasi. Pada waktu pemerintahan Gus Dur ada penghilangan resmi diskriminasi rasial terus ada pengangkatan beberapa issue hak asasi yang kemudian tidak berkelanjutan. Jadi ada perasaan bahwa ya itu maju tapi kemudian ada perasaan bahwa itu berhenti kembali. Apa ada sesuatu yang tidak dimanfaatkan di masa itu?
Ada infrastructure hukum yang memang sampai sekarang belum diganti misal untuk kitab hukum pidana militer tidak ada kategori penyiksaan.
Jadi dalam undang-undang nggak ada ya?
Tidak ada. Jadi kalau ada aparat keamanan itu menyiksa orang, dibakar kemaluannya, disiksa bahkan sampai mati, kalau dihukum tidak ada torture, tidak ada penyiksaan, dia hanya dihukum tidak disiplin atau tidak taat perintah atasan. Hukumannya hanya paling hanya beberapa bulan.
Itu dimaksud dengan extraordinary crime gitu bukan?
Di dalam human rights itu ada dua kategori besar: crimes against humanity dan kedua genocide. Kalau crimes against humanity itu kekerasan terhadap orang sipil
Satu-satu gitu?
Satu-satu
Kalau genocide harus banyak?
Genocide itu besar. Ada syarat bahwa itu harus intentional. Sekarang itu ada perdebatan apakah Papua itu genosida atau tidak? Ada yang bilang itu tidak disengaja walaupun banyak orang Papua disingkirkan kebudayaannya tetapi mereka mengatakan tidak disengaja, ini tidak by design hanya by product. Hanya rasialisme oleh kalangan pejabat Indonesia.
Anda mulai sebagai wartawan, memang selalu tema human rights ada pada diri Anda. Terus mendirikan majalah Pantau, sekarang Yayasan Pantau itu apa kegiatannya? Anda sudah tidak disitu?
Saya sudah tidak menjadi direkturnya. Saya hanya duduk di yayasannya. Kegiatan Pantau itu melatih wartawan, melatih orang menulis. Kami percaya bahwa menulis itu adalah membela diri, memberdayakan orang. Pantau juga membuat riset media, selalu urusannya jurnalisme, media, wartawan.
Ah … jurnalisme faktor kunci. Okay saya masih mengejar dimana kita itu salah belok. Media misalnya dibebaskan, semua suka, tapi terus ah … media terlibat soal-soal lain. Kalau bicara soal konflik. Di Indonesia itu kan ada tiga jenis konflik. Pertama, konflik lahan. Dua konflik SARA. Ketiga konflik politik. Yang dirumuskan di media itu konflik politik yang kecil-kecil tapi issue besar tidak. Media disangsikan sekarang perannya untuk membersihkan masyarakat. Betul atau tidak pendapat itu?
Itu betul. Persoalan paling utama media di Indonesia ada thesis bagus dari Ahmad Adam, juga Benedict Anderson. Media di Indonesia itu terkonsentrasikan di Jakarta. Ada penelitian Merlyna Lim, ada 13 kelompok media yang menguasai hampir 100% media di Indonesia.
Tigabelas ini 12 swasta dan yang satu punya pemerintah (RRI dan TVRI). Dalam penelitiannya, Ahmad Adam menulis soal jaman Hindia Belanda bahwa pusat media tidak hanya ada di Batavia. Surat kabar paling besar Java Bode di Semarang, ada juga di Batavia, ada juga di Surabaya.
Di luar Jawa juga ada pusat-pusatnya. Padang satu tokoh Abdul Muis. Terus Manado juga kota media yang penting, Medan juga. Tetapi ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan, media-media yang dianggap pro-Belanda ditutup. Ketika Soekarno dijatuhkan sama Soeharto, ada ratusan yang dianggap kiri ditutup. Soeharto mengkonsentrasikan seluruh media hanya di Jakarta sehingga terbentuklah konsentrasi media.
Saya percaya bahwa makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu. Dengan kata lain, kalau di Padang tidak ada media yang bagus karena ditutup dulu, tidak ada perkembangan puluhan tahun buat menumbuhkan media yang bermutu akhirnya ya ... masyarakatnya ya ... terseok-seok begini, yang paling kuat akhirnya hanya masyarakat yang ada di Jakarta dan sekitarnya.
Tumpulnya media atau melencengnya media itu, terutama masalah policy holder dan owner? Apa juga profesionalisme wartawannya juga menjadi penyebab? Atau bahkan sebaliknya profesionalismenya meningkat tapi suprastrukturnya yang merosot?
Dari tigabelas konglomerat media ini, hanya dua yang punya beground pemiliknya wartawan: Kompas Gramedia dan Tempo Jawa Pos.
Okay saya potong dulu untuk break. Menarik sekali pembicaraan dengan Andreas Harsono soal human rights. Saya Wimar Witoelar dan ini Wimar Show.
Jadi bagaimana anatomi peta media?
Dari tiga belas media hanya dua media yang background pendiriannya, dimulai wartawan. Kelompok Kompas Gramedia dimulai oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama tahun 1965, mula-mula dengan majalah Intisari. Kemudian yang kedua itu kelompok Tempo Jawa Pos mulai tahun 1971.
Tempo Jawa Pos itu beda?
Satu induk sebetulnya ... karena Jawa Pos itu ...
Oh ya saya baru tahu itu?
Jawa Pos itu hampir 100% milik Tempo (PT Grafiti Pers).
Saya baru tahu.
Itu satu kelompok. Sisanya, selain TVRI dan RRI, kelompok-kelompok media yang didirikan dengan semangat bisnis.
Bisnis tidak salah tetapi sering kalau media itu dimiliki oleh pengusaha, entah MNC, Trans TV dan lain-lain, semangat untuk melayani publik, kadang-kadang kalah oleh semangat untuk mencari untung.
Merembes sampai kepada manajemen di bawah dan wartawan lainnya?
Tergantung masing-masing media tetapi salah satu persoalan yang serius di Indonesia adalah wartawan terima amplop
Oooh ... mmm …
Menurut beberapa survei --Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Pantau-- di Jakarta sekitar 75 persen wartawan terima amplop. Itu kategori suap. Kalau di luar Jawa lebih tinggi suapnya sampai 90% lebih. Persoalan lain juga adalah kebanyakan media tak membayar wartawan mereka sesuai dengan standard.
Oh jadi semacam dilepaskan?
Lepaskan cari makan sendiri.
Tapi kedua group media itu, Kompas dan Jawa Pos Tempo, apa beda policynya terhadap wartawan mereka? Mereka tidak rentan itu terhadap amplop?
Kedua kelompok itu relatif tidak begitu rentan terhadap amplop. Tetap masih ada orang-orang yang terima amplop. Tetapi di antara dua kelompok ini ada satu perbedaan, yang menurut saya fundamental. Kompas Gramedia itu dianggap sebagai media milik orang Katolik.
Oh iya … Komando Pastor gitu ... terus?
Mereka punya semacam kehati-hatian yang kadang-kadang tidak masuk akal. Untuk tidak membuat diri mereka, membuat orang Kristen secara umum, dianggap tidak pro terhadap kehidupan orang luas atau yang Muslim tentunya. Tempo Jawa Pos tidak punya kompleks tersebut sehingga ada sedikit berbeda dalam menafsirkan kebebasan.
Ini soal bahwa media yang berasal dari wartawan itu bagus. Dulu kan Harmoko juga bikin koran. Ngak bagus korannya iyakan?
Kalau sebuah media dibuat wartawan kan tidak harus bagus? Banyak juga media yang dibikin wartawan yang jelek dan tentu ada pengusaha yang bikin media dengan bagus. New York Times kan dibuat oleh pengusaha?
Oh iya .. Yahudi mereka iya?
Tapi itu kan bagus sekali.
Itulah memang kadang-kadang susah mencerna perbandingan dengan negara lain itu. Kembali kepada human rights secara khusus, kan sekitar tahun berapa ... ujung-ujung jaman Suharto, kita senang melihat ada Komnas HAM di Indonesia. Ada hasil yang dibanggakan. Apa yang terjadi dengan Komnas HAM? Sampai sekarang tidak terlalu bekerja?
Wah ini … susah ya. Banyak teori. Komnas HAM didirikan oleh Pak Harto setelah kejadian Santa Cruz, (1991 di Dili, Timor Timur) terutama untuk menangkis kritik dari luar negeri.
Semacam UPR (Universal Periodic Review) gitu?
Betul.
Ada orang-orang yang memang dianggap fenomenal. Asmara Nababan waktu itu orang nggak mau, orang yang kaya gini, mau masuk Komnas HAM, dianggap hanya etalasenya Soeharto.
Namun Asmara berhasil mengubah. Ada yang bergurau bahwa zaman Asmara, aktivis LSM itu sedikit, minoritas, tetapi yang minoritas ini bisa mempengaruhi yang lain yaitu polisi, tentara, jaksa dan dosen. Sekarang jumlahnya lebih dari separuh aktivis LSM. Nah ada yang menanyakan kalau aktivis LSM mereka berantem sendiri.
Iya jadi budaya yang mengsisi itu jadi terbawah ya.
Tapi ada satu hal juga yang terpenting saya kira dan saya lebih percaya faktor kedua ini, Komnas Ham ini banyak titipan dari luar,
Walaupun LSM?
Titipan misal dari ya..dari militer, dari majelis Ulama Indonesia, orang-orang itu dimasukan kesana. Dan mereka tentu tidak punya visi yang sama dengan pendahulu-pendahulu mereka.
Tapi itu kan bisa dispot, bisa ketahuan kan, aha,,,ini militer, ini polisi?
Tidak harus militer, yang sekarang tidak ada militernya, dulu pada ada militernya. Tetapi militer yang dulu itu lebih konsern
Oh iya yang absent gitu ya?
Iya.
Okay, tibalah waktunya untuk break satu kali lagi akan kembali dengan Andreas Harsono.