Pengamat media
Saya punya cerita menarik tentang sengketa Tempo versus Tomy Winata. Dua hari sesudah kantor Tempo didemonstrasi para pendukung Tomy, saya duduk semeja dengan salah seorang redaktur Tempo. Kami membandingkan yang kami dengar tentang peristiwa itu.
Memang menyedihkan. Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Tempo, dihina para demonstran tersebut. Kepalanya ditonjok, perutnya dijotos. Para demonstran itu marah dengan cara penuh intimidasi.
Kata redaktur ini, pemukulan terhadap Bambang dan wartawan Tempo lainnya harus dilawan dengan gerakan politik. Bukan dengan kekerasan. Bukan pula dengan diplomasi.
Menurut dia, wartawan seyogianya tak percaya pada kekerasan. Wartawan juga seyogianya tak percaya kepada orang yang menawarkan kekerasan. Tentang pernyataannya yang belakangan itu, sehubungan adanya kelompok masyarakat yang menawarkan bantuan kepada wartawan Tempo bila memerlukan penjagaan. Rupanya tawaran ini oleh rekan tadi dilihatnya termasuk dalam kategori ”bantuan kekerasan”.
Lalu, mengapa juga bukan diplomasi? Bukankah banyak media Indonesia menyelesaikan sengketanya dengan diplomasi?
Jawabnya, premanisme ini membahayakan bukan saja kebebasan pers tapi juga proses demokratisasi. Diplomasi membuat premanisme bisa kembali lagi.
Logika politik, menurut rekan tadi, dasarnya demokrasi. Gerakannya bisa macam-macam. Mulai dari melakukan demonstrasi di jalanan hingga meminta dukungan para tokoh publik.
Gerakan politik diperlukan untuk menekan polisi agar memeriksa orang macam David Tjioe—seorang kolega Tomy yang dituduh memukul Pemimpin Redaksi Tempo di kantor polisi Jakarta Pusat.
Menurut kesaksian Ahmad Taufik, wartawan Tempo yang ada di kantor polisi bersama Bambang, Tjioe juga menguliahi Bambang bahwa sebagai ”komandan” harus bertanggung jawab atas berita Tempo. Tjioe bahkan mengancam Bambang, ”Lo gua tembak juga deh sekarang. Kalau gua dipenjara dan dibunuh di sini, enggak takut. Mana, mintain pistol!”
David Tjioe membantah tuduhan ini. Dia mengatakan kepada saya, Sabtu pekan lalu, dia tak memukul Bambang dan tak mengeluarkan kalimat itu. Katanya, mana mungkin dia memukul orang lain di hadapan polisi?
”Sekarang saya lagi dijelek-jelekkan namanya,” kata Tjioe.
Menurut dia, Bambang dan Taufik hanya ”didorong-dorong.”
Gerakan politik, debat soal kalimat, atau apa pun masih menyisakan satu pertanyaan. Benarkah Tomy Winata, tiga bulan sebelum kebakaran, mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar, sebagaimana ditulis Tempo?
Inilah informasi terpenting dalam laporan Tempo berjudul ”Ada Tomy di ‘Tenabang’?” Informasi ini seakan-akan mengindikasikan bahwa kebakaran itu bisa jadi dilakukan oleh kelompok Tomy.
Tomy membantah berita ini. Dia mengadukan Tempo ke polisi, setelah sebelumnya mengirimkan somasi. Tapi, perkembangan kemudian—ada demonstrasi dan pernyataan-pernyataan bahwa Tempo tidak perlu minta maaf setelah terjadi kekerasan—Tomy meniadakan somasi dan melakukan pengaduan.
”Kita minta yang benar dibenarkan, yang salah dikoreksi, dan menyerahkan semuanya kepada hukum yang berlaku. Mudah-mudahan bisa dicari mana yang benar,” kata Tomy.
Desmond J. Mahesa, pengacara Tomy Winata, bilang, berita Tempo mengenai kliennya tendensius, diskriminatif, serta mengatur stigma terhadap orang lain. ”Tempo tidak pernah secara langsung mewawancarai klien saya. Nanti kita lihat saja, ada rekamannya apa enggak?”
Tapi tidak mungkinkah Tomy berbohong? Bukankah integritas Tomy sering dipertanyakan orang? Tomy dianggap pengusaha yang sering main kayu dan memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat? Mengapa orang harus percaya kepada pengusaha macam Tomy?
Masalahnya, bagaimana dengan bantahan Gubernur Jakarta Sutiyoso dan Direktur Utama Pasar Jaya Syahrial Tandjung? Mereka juga mengatakan, tak ada proposal Rp 53 miliar. Juga pengusaha Ciputra, salah seorang komisaris PT Tempo Inti Media Tbk., yang melakukan pertemuan dengan Tomy di hari peristiwa kekerasan terjadi, percaya bahwa Tomy tak mengajukan proposal itu.
”Saya menyesalkan tulisan dan juga unjuk rasa tersebut,” kata Ciputra.
Sumber utama Tempo dalam berita itu adalah seorang ”konsultan arsitektur” yang namanya tak disebutkan.
Menurut Ahmad Taufik, wartawan yang menulis berita itu, si arsitek ini kenalan dia. Si arsitek memberikan informasi tapi memberikan syarat, namanya tak disebutkan. Arsitek ini mengatakan, tiga bulan lalu dia melihat proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar. Dalam proposal itu ada nama Tomy Winata dan Bank Artha Graha yang dipimpin Tomy. Keterangan arsitek ini ditempatkan sebagai pembuka berita Tempo.
Pada berita itu juga, ada bantahan Tomy tentang proposal itu, juga bantahan Syahrial Tandjung, Direktur Utama Pasar Jaya, pengelola pasar-pasar milik Pemerintah DKI Jakarta.
Tempo menilai berita itu sudah memenuhi syarat liputan seimbang.
Harian Kompas berpendapat sama. ”Dari prinsip cover both sides, keseimbangan sumber dan pendapat, cara kerja pers telah dilakukan oleh mingguan tersebut secara correct,” tulis editorial Kompas.
Saya berpendapat, ada kelemahan prosedural dalam berita itu. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua pemikir jurnalisme terkemuka dari Amerika Serikat, dalam buku The Elements of Journalism, mengatakan bahwa elemen jurnalisme yang utama adalah menyajikan kebenaran.
Dalam hal berita Tempo, kebenaran yang mana? Kebenaran si arsitek atau kebenaran Tomy? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya bisa membuat si wartawan menghasilkan tafsir tentang kebenaran yang berbeda-beda? Tidak mungkinkah bias ini pula yang dicurigai David Tjioe dan kawan-kawan?
Kovach dan Rosenstiel menerangkan, masyarakat membutuhkan prosedur dan proses guna mendapatkan yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi kepada para siswa juga berdasarkan kebenaran itu.
Kebenaran inilah yang harus disajikan wartawan.
Menurut kedua pemikir itu, liputan berimbang adalah salah satu cara untuk menyajikan kebenaran, tapi bukan tujuan jurnalisme. Liputan berimbang, kalau dijadikan tujuan, malah sering kali menimbulkan kebingungan.
Adalah David Yarnold dari San Jose Mercury News. Wartawan ini mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya ”accuracy checklist”.
Salah satunya, ”Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?”
Atau, ”Apakah laporan itu membuat penghakiman yang mungkin tak terasakan terhadap salah satu pihak? Siapa yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?”
Tempo menurunkan berita yang alinea-alinea pembukanya tak didukung data-data penunjang yang cukup.
Ungkapan si arsitek dijadikan dasar untuk mengatakan ada proposal Rp 53 miliar, sementara itu tak ada alinea-alinea lain yang mendukung. Mengapa hanya dengan satu sumber anonim, Tempo menurunkan sebuah berita?
Kalau Anda sempat memperhatikan All the President’s Men, film ini tentang dua wartawan Washington Post yang mengungkapkan skandal di balik terpilihnya Richard Nixon sebagai presiden. Harian itu juga memakai sumber anonim, tapi minimal tiga untuk sebuah informasi yang sama. Ini pun masih dianggap belum cukup.
Dalam film itu digambarkan Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua reporter itu, kena damprat Redaktur Eksekutif Ben Bradlee.
Saya kenal baik Bambang Harymurti dan Ahmad Taufik. Saya percaya Taufik punya niat baik sebagai wartawan. Ia pernah dipenjara tiga tahun pada zaman Presiden Soeharto, karena menjadi pengurus organisasi wartawan yang kala itu dianggap ilegal, Aliansi Jurnalis Independen, dan menerbitkan majalah bawah tanah, Independen. Saya tak meragukan integritas Taufik.
Saya juga merasa marah mengetahui penghinaan yang diterima Bambang.
Tapi perlawanan terhadap premanisme seyogianya juga dilakukan lewat jalur jurnalistik. Bambang dan kawan-kawan harus menjadikan momen ini untuk mengatakan kepada publik bahwa media bisa salah tapi tak bisa dilecehkan dengan cara-cara preman.
Ada jalur hak jawab. Ada saluran kepada Dewan Pers. Bahkan jalur hukum juga terbuka. Saluran-saluran ini mungkin tak memuaskan, tapi inilah esensi upaya demokratisasi.
”Pers bisa salah dan punya hak untuk salah,” kata Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja.
Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk melakukan soul searching terhadap jurnalisme Indonesia, karena kekerasan yang dilakukan David Tjioe dan kawan-kawan membuat banyak orang marah. Tapi, soalnya adalah, apakah Tempo mau mengakui kelemahan itu atau tidak? Apakah Tempo mau menjadikan momen ini untuk melihat ulang prosedur kerjanya, mengkaji beban kerja reporternya, bahkan memperhitungkan kembali ekspansi bisnisnya—sesuatu yang terjadi pada hampir semua media di Indonesia?
”Ini soal prioritas, gerakan politik harus fokus!” kata rekan saya.
Saya berbeda pendapat. Saya mengatakan kalau seorang wartawan salah, ya, harus minta maaf dan melakukan koreksi. Suka tak suka, gerakan politik atau tidak, jurnalisme harus senantiasa proporsional dan komprehensif.
Berita-berita yang diturunkan media soal Tempo versus Tomy Winata juga harus dibuat untuk membantu publik memahami secara proporsional dan komprehensif tentang persoalan ini.
Gerakan politik melulu, tanpa diimbangi kritik terhadap jurnalisme itu sendiri, pada gilirannya bisa membahayakan demokrasi juga.
Sebab, gerakan itu bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan isu jurnalisme dan premanisme, melainkan lebih memfokuskan diri pada isu yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, bisa terkesampingkan. Kekerasan terhadap wartawan bahkan bisa mengalami eskalasi karena publik tak melihat bahwa media pun mau memperbaiki diri.
No comments:
Post a Comment