CARA terbaik mengetahui model penulisan Pantau adalah membaca majalahnya. Anda bisa menulis laporan yang analisis dan kesimpulannya berbeda dengan pandangan redaksi Pantau. Tapi syarat yang tak bisa ditawar adalah laporan itu harus benar. Kebenaran bukan dalam pengertian filosofis. Tapi kebenaran fungsional.
Kebenaran bisa tercapai bila kita menjalankan prosedur pengumpulan informasi dengan baik.
Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Metodenya macam-macam. Standarnya juga banyak antara lain akurasi, proporsi, komprehensi, relevansi, fairness, berimbang, dan sebagainya.
Akurat dalam arti semua informasi yang disuguhkan tak kurang, tak berlebihan, dengan sumber-sumber yang jelas, nama lengkap, angka, waktu, jarak, ukuran, tempat, dan sebagainya. Kami tak bersedia menerbitkan laporan bila ada sumber anonim atau sumber dengan atribusi (perkecualian harus didiskusikan lebih dulu dengan kami).
Kontekstual dalam arti laporan proporsional. Mungkin suatu fakta benar tapi secara kontekstual salah. Contoh: Banyak organisasi Islam militan di Indonesia. Ini tak berarti Islam di Indonesia adalah Islam yang militan dan fundamentalis. Banyak orang Tionghoa jarang bergaul dengan tetangganya tapi salah menyebut semua orang Tionghoa anti-sosial.
Anda harus memperkenalkan diri sejelas-jelasnya. Kami keberatan kalau Anda menjalin pertemanan atau mendapat keuntungan di luar urusan reportase. Kami keberatan kalau Anda mengutip seseorang tanpa izin. Misalnya saat mengobrol harus minta izin. Dokumen-dokumen juga harus didapat secara legal (semua perkecualian harus didiskusikan lebih dulu dengan kami).
Kami keberatan kalau Anda mau menerima "amplop." Kami perlu wartawan yang bersih. Kami keberatan kalau Anda percaya pada konspirasi, berita bohong dan sebagainya. Kalau Anda perlu, kami bisa menerbitkan kartu pers Pantau untuk Anda selama periode kerja Anda.
Kami minta Anda mencantumkan sumber-sumber dari mana Anda mendapatkan kutipan Anda. Kami punya pengalaman, beberapa kontributor kami mengutip dari suratkabar lain, tapi tak dicantumkan sumbernya. Ini pencurian. Kami ingin semua keterangan diberi catatan kaki dari mana asalnya.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism mengingatkan kita dengan lima nasihat praktis untuk wartawan:
Jangan menambah atau mengarang apapun;
Jangan menipu atau menyesatkan pembaca;
Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase. Jujur dalam menjelaskan semua hal yang relevan untuk diketahui pembaca, termasuk kalau ada hubungan Anda dengan orang-orang dalam reportase Anda atau hubungan Anda dengan masalah yang dibahas;
Bersandarlah pada reportase Anda sendiri. Lakukan sendiri wawancara, meneliti dokumen, dan tak mewawancarai pihak-pihak ketiga (termasuk apa yang disebut "pengamat" atau "pakar") yang tak melihat sendiri proses di mana isu yang Anda bahas berlangsung;
Bersikaplah rendah hati.
Pantau hendak promosi jurnalisme yang bermutu. Kami memilih menerbitkan naskah yang dibuat dengan gaya bertutur, bercerita, mudah dinikmati dan dimengerti pembaca. Naskah macam ini biasanya menuntut si kontributor melakukan riset, banyak baca. Namun Anda tak sekadar duduk di belakang meja dan menulis. Kami menghargai kontributor yang mau turun ke lapangan, melakukan reportase, lantas menuangkan hasil reportase itu dengan bahasa bertutur.
Kami memilih naskah yang dalam. Perdebatannya bernas, baik dari aspek sejarah, logika, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Si kontributor diharapkan mengerti perdebatan klasik yang ada di balik pilihan-pilihan yang ada dalam laporannya. Bila ada buku yang memang perlu disebutkan, buku itu harap dimasukkan dalam tubuh laporan.
Tapi kami tak ingin buku atau referensi yang tak relevan disebutkan dalam laporan. Ini mengganggu alur bacaan. Kami tak ingin kedalaman mengorbankan kenyamanan pembaca dalam membaca. Kami ingin laporan ditulis dengan lancar, dengan memikat, sedemikian rupa sehingga idealnya pembaca tak melepaskan bacaan itu sebelum tuntas.
Bahasa yang kami kembangkan adalah bahasa yang komunikatif, mudah dimengerti. Kami ingin tampil dengan sopan sehingga kami minta Anda tak menggunakan kata-kata yang tak perlu, yang tak senonoh. Kami juga tak menggunakan singkatan karena kebiasaan ini cenderung merusak bahasa Indonesia.
Kami menghargai sejarah, termasuk sejarah individu, sehingga penulisan referensi kedua seyogyanya dibuat dengan pertimbangan ini. Setiap sumber sebaiknya ditanya dia ingin disebut dengan nama apa. Misalnya, Abdul Haris Nasution sebaiknya ditulis Nasution ketimbang Abdul, Todung Mulya Lubis dengan Lubis, Aberson Marle Sihaloho dengan Sihaloho, Yap Thiam Hien dengan Yap, Aristides Katoppo dengan Katoppo namun Amien Rais ditulis Amien, atau Sigit Harjojudanto dengan Sigit.
Kami menerbitkan isu media dan jurnalisme. Isu media termasuk suratkabar, televisi, internet, radio, buku, bahkan poster dan spanduk, juga dari musik hingga film, dari bahasa hingga olah raga, dari politik hingga ekonomi. Batasan isu media adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cara, teknik, atau masalah dalam memanfaatkan medium komunikasi. Isu jurnalisme adalah semua yang terkait dengan upaya pengumpulan informasi atau berita. Etika, foto, kamera, wawancara, reportase, bahasa, penulisan, semuanya yang terkait dengan pengumpulan dan presentasi berita.
Ini konvensi saja. Mohon setiap penulisan nama media cetak miring. Nama radio harus disertai frekuensinya. Kami tak menentukan seberapa panjang suatu laporan bisa dibuat. Teoritis kami tak punya batasan seberapa panjang si kontributor bisa menulis. Rekor sejauh ini adalah "Konflik Tak Kunjung Padam" oleh Coen Husain Pontoh tentang majalah Tempo sepanjang 15 ribu kata.
Untuk keperluan praktis, ada baiknya Anda menanyakan lebih dulu berapa kata yang bisa Anda tulis untuk topik tertentu dengan fokus, angle, dan outline begini atau begitu. Kami menganjurkan kontributor yang belum biasa menulis untuk mulai dengan laporan pendek. Satu halaman Pantau panjangnya sekitar 800 kata.
Kami suka dengan rasa dalam bahasa. Kami suka kutipan dibuat seperti aslinya. Tak perlu semua dalam bahasa Indonesia standar. Ompung atau eyang tak perlu diganti dengan kakek. Rasa bahasa ini justru memperkaya bahasa Indonesia, yang pada gilirannya, membuat orang lebih mengenal berbagai perbedaan di dalam negara Indonesia.
Benedict Anderson, seorang profesor dari Universitas Cornell, yang terkenal dengan buku Imagined Communities, sering kali mengatakan bahwa bahasa Indonesia ala Orde Baru menekankan ultra-nasionalisme sehingga menekan identitas orang-orang yang tinggal di negara Indonesia. Anderson menolak menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan. Kami tak bertindak sampai sejauh itu tapi senantiasa mengingatkan kontributor kami agar sadar akan ganasnya bahasa dan ganasnya kekuasaan.
Buat pengecekan fakta, kami minta agar Anda mencantumkan semua nomor telepon rumah, telepon kantor, telepon seluler, dan email sumber di bawah naskah. Kami hendak meningkatkan akurasi majalah ini dengan melakukan pengecekan ulang semua angka, ejaan, tahun, data, dan sebagainya. Jangan lupa detail Anda juga perlu, dari nomor telepon hingga biodata.
No comments:
Post a Comment