Perspektif Baru 19.9.2002
Selamat berjumpa kembali dengan Perspektif Baru yang kali ini akan menghadirkan seorang pemuda cemerlang yang sudah lama berkiprah di dunia jurnalisme Andreas Harsono. Seorang Jurnalis yang berhasil membidangi lahirnya majalah Pantau. sebuah majalah yang banyak menyoroti dunia jurnalisme. Kita pernah mendengar ungkapan lama bahwa ujung mata pena jauh lebih tajam dari sebuah pedang. Pers Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang seperti juga sejarah negara Indonesia itu sendiri. Bagaimana mereka turut berperan dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka. Terakhir kita bisa saksikan bagaimana pers turut berperan dalam membuka pintu gerbang reformasi 1998. Pada saat Indonesia dikoyak-koyak oleh konflik-konflik sosial seperti sekarang ini di Maluku, Papua, Aceh dan yang terakhir di Nunukan. Pemerintah selalu terlambat mengantisipasi atau menanganinya. Masyarakat kembali menoleh ke pers. Mata pena dipercaya bisa meredakan konflik dan mentrasformasikannya menjadi hal-hal yang berguna bagi kita semua. Beberapa waktu lalu Presiden Megawati kembali menyatakan satu sikap terhadap pers yang dianggapnya terlalu membesar-besarkan kasus TKI yang diusir dari Malaysia. Apakah ini merupakan peran pers untuk turut meredakan konflik atau mentrasformasikannya menjadi hal-hal yang berguna? Kita akan berbincang-bingcang dengan Andreas yang dipandu oleh Faisol Reza.
Tentang pers di masa lalu bahwa di Indonesia tentu tidak ada perubahan tanpa peran pers. Bahkan ada yang lebih bombastis dikatakan pers adalah pilar ke lima dari demokratisasi. Tapi sejauh ini banyak fakta menunjukan peran pers begitu dominan dalam membentuk opini masyarakat. Sebenarnya pers sendiri, tentu anda orang pers melihat bahwa peran anda dan teman-teman dalam kehidupan demokratisasi ini seperti apa sebenarnya?
Saya kira secara mendasar kita harus ingat bahwa yang namanya pers manapun, pers Indonesia, pers Amerika, pers Jawa Barat, pers Jawa Timur, pers Jakarta itu tidak pernah menjadi sebuah lembaga yang uniform atau seragam. Setiap kali kita mau menganalisis soal media saya kira harus dibeda-bedakan. Sering orang lupa misalkan kita tidak bisa membandingkan misalnya yang dianggap bagus mungkin harian Kompas dibandingkan dengan Rakyat Merdeka. Atau majalah Tempo disandingkan dengan tabloid Cek & Ricek atau tabloid Nova. Itu tentu tidak sama. Jadi saya harus berhati-hati untuk mengatakan pers Indonesia itu yang bagaimana. Kedua saya kira tugas utama wartawan atau tugas utama jurnalisme adalah memberitakan, memberikan kebenaran kepada publik kepada para warga negara. Agar dari informasi yang benar itu orang bisa dibantu membuat analisis, dibantu membuat kesimpulan sehingga ketika mereka harus bertindak atau bersikap, mencoblos atau bersikap menghadapi Akbar Tandjung dalam kasus korupsi Rp 40 Miliar, tahu bagimana bersikap berdasarkan informasi yang benar.
Anda mengatakan ketidakseragaman sebagai sesuatu yang nyata di tengah-tengah kehidupan pers. Satu pers dengan pers yang lain mungkin memiliki kebijakan yang berbeda dalam melihat sudut pandang sebuah masalah. Tapi tentu ada kaitannya dengan masyarakat dalam kasus misalnya di Maluku. Kelihatan ada peran pers terlihat dominan dalam upaya membangun opini publik. Saya kira ada pers yang memang bersikap lebih tegas untuk membela kelompok atau kumpulan masyarakat tertentu demi kepentingan masyarakat. Anda sebagai orang pers melihat sikap-sikap yang demikian itu wajar atau sebenarnya mestinya tidak dilakukan oleh pers?
Di dalam surat kabar itu ada dua bagian, satu opini yaitu di halaman opini dimana pendapat atau argumentasi kita itu bisa masuk. Sementara ada halaman-halaman atau ruang-ruang dimana wartawan lebih kurang bebas beropini. Pertanyaannya adalah apakah wartawan boleh bersikap? Boleh. Wartawan juga manusia dan tidak bebas nilai, latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman hidup, pribadi ke peribadi, itu bisa berbeda-beda. Susah kita untuk mengatakan bahwa wartawan itu harus netral dan seterusnya. Itu bukan satu persyaratan dasar. Tapi yang penting adalah bagaimana metode dia dalam bekerja, bagaimana proses dia dalam bekerja, itu yang menjadi penting. Asal dia tetap menghormati esensi dari jurnalisme adalah verifikasi. Di Maluku mereka bersikap lebih dulu sebelum mereka melakukan verifikasi. Ini adalah wartawan-wartawan yang tidak profesional, bukan hanya di Maluku, di Jakarta juga sama. Mereka adalah yang tidak tahu harus bekerja dengan standar, prosedur proses yang benar sebelum menghasilkan produk.
Mengatasi sesuatu yang sebenarnya sangat pokok dalam pers yaitu tentang bagimana memberitakan dan bagaimana sebuah media bersikap. Kalau memang di daerah konflik seperti Maluku bagaimana pers sendiri bisa mengatasi ini untuk menjadikan konflik ini misalnya bukan sesuatu yang negatif tapi menjadi satu diskursus publik yang justru bisa membangkitkan kesadaran atau bisa menjadi positif pada akhirnya. Misalnya bagaimana mereka bisa mengorganisasikan diri dan bisa membuka diri. Bagaimana anda bisa melihat peran pers yang demikian?
Saya kira untuk daerah konflik tidak ada resep yang luar biasa. Stick to your job. Jadi berpeganglah pada prosedur-prosedur dalam pekerjaan. Selama seorang wartawan itu bekerja dengan prosedur yang benar, saya kira dia akan bekerja dengan baik dan tidak akan membuat konflik. Sayangnya di tempat kita di dalam banyak kasus, di Jakarta, di Surabaya, di Maluku, di Aceh, dan seterusnya cukup banyak wartawan-wartawan yang tidak tau persis apa itu stick to your job. Saya ambil contoh, saya kira orang perlu tahu apa syarat seorang sumber bisa disebutkan dalam sebuah berita tanpa identitasnya. Istilah kami adalah sumber anonim. Kapan misalnya seseorang mengatakan tolong namanya jangan dikutip. Status ini bisa diterapkan dengan beberapa syarat. Satu, si wartawan itu memberikan status anonim hanya pada orang yang menjadi saksi mata. Misalnya anda melihat pembunuhan. Tapi kalau anda hanya dengar-dengar, anda tentu tidak perlu menjadi saksi anonim. Apalagi saksi yang hanya memberikan penilaian. Kedua, bila mengutip namanya membuat nyawa si nara sumber teracam atau minimal status sosial dia terancam atau kehilangan pekerjaan. Ketiga, anda harus berkoordinasi dengan editor anda. Keempat anda juga harus siap kalau menghadapi gugatan dari pengadilan hakim. Sampai mati, sampai kukunya dicabut, sampai di penjara, jangan dibuka siapa nara sumbernya. Karena itu akan merusak kredibilitas anda. Banyak wartawan-wartawan kita banyak sekali yang tidak tahu.
Menarik sekali untuk membicarakan tentang tuntutan atau juga desakan masyarakat kepada pers sebagai institusi publik. Saya ingin menanyakan tentang tekanan yang dihadapi oleh media. Misalnya seperti kasus Jawa Pos oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan juga waktu itu di Aceh penyanderaan terhadap beberapa reporter TVRI. Bagaimana media menyikap semacam itu?
Tindakan-tindakan massa tidak terjadi dalam vakum. Artinya pasti sedikit banyak ada sesuatu yang salah dengan media sehingga mereka menjadi marah dan naik pitam. Kalau saya menjadi editornya, yang pertama saya akan mengadakan penyidikan internal. Kalau wartawan saya salah, saya akan meminta maaf secepat mungkin. Minta maaf mengkoreksi dan meralat berita. Yang kedua kalau misalnya sudah terlambat, di tempat saya selalu ada prosedur dimana seseorang bisa mengadu pada ombudsman kami. Itu semacam readers representatives. Lembaga ini akan mengadakan penyidikan dan semua catatan, semua rekaman wartawan, kami bisa buka dan disidiki dimana prosedur si wartawan salah. Ketiga kalau tidak bisa saya bisa mengajukan mereka ke pengadilan atau ke Dewan Pers dimana mereka mampu menyimak keluhan-keluhan. Ke empat tentu bisa ke polisi. Dalam hal ini tidak diajurkan untuk merusak koran, menduduki koran, menyandera wartawannya karena itu akan membuat situasi makin buruk.
Tapi bagaimana pers harus meminta masyarakat tidak melakukan semacam itu?
Saya kira wartawan harus bekerja lebih bagus. Indonesia ini persnya baru merdeka sejak kira-kira dua setengah abad yang lalu ketika kita baru mulai punya koran tahun 1745. Wartawan itu baru boleh bekerja dengan relatif bebas mula-mula setelah tahun 1949. Penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia selama beberapa tahun sampai ke Dekrit Presiden itu cukup bebas. Kemudian setelah Pak Karno turun dari tahun 1968-1969 sampai 1974 ada kebebasan dan itu baru muncul lagi setelah Mei 1998 waktu Pak Harto turun. Dulu sebelum Pak Harto turun hanya ada sekitar 6 ribu wartawan. Sekarang ada lebih dari 25 ribu wartawan. Dalam waktu empat tahun bisa muncul lebih dari 18 ribu wartawan. Itu bukan sesuatu yang sederhana. Jadi banyak wartawan tidak terlatih. Banyak editor tidak terlatih. Banyak penerbitan surat kabar baru. Dari 200 sekian tahu-tahu menjadi 1500. Televisi hanya dari enam menjadi lebih dari 25 sekarang ini. Banyak wartawan radio misalnya tidak tahu bahwa mengucapkan eeee eeee eeee itu salah.dan itu tidak boleh sama sekali. Banyak pembaca atau pendengar radio yang ketika menelpon mengucapkan Assalamuallaikum dan seterusnya. Itu tidak perlu karena tidak praktis dan menghabis-habiskan waktu. Hal-hal begini yang saya kira media harus memperbaiki dirinya supaya mutu permainan mereka lebih bagus, lebih benar, lebih etis bekerja. Banyak hal-hal yang lucu di dunia wartawan kita. Kalau saya boleh tambahkan misalnya pemakaian istilah pakar atau pemerhati atau pengamat. Kapan seseorang disebut pengamat, kapan seseorang disebut pakar. Sekarang ini orang menulis di koran mungkin 10-15 kali sudah disebut pengamat politik. Seseorang yang menulis kumpulan artikel dan dibukukan disebut pakar. Itu lucu sekali. Padahal di beberapa surat kabar Amerika yang bagus, seseorang disebut pakar kalau dia menulis buku yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan dan menjadi buku bacaan wajib di berbagai universitas. Misalnya kalau di Indonesia mungkin yang kita bisa sebut sebagai pakar adalah Prof. Benedict Anderson dari Universitas Cornell yang dianggap pakar dalam studi pembangunan nasionalisme karena dia membuat buku yang luar biasa dahsyatnya namanya Imagined Communities. Di luar itu belum ada. Ada mungkin dua sampai tiga orang, tapi belum layak disebut pakar, apalagi pengamat apalagi pemerhati.
Ya, mungkin sialnya kita hidup dan lahir di Indonesia dengan kondisi seperti ini. Tapi mau tidak mau kondisi ini harus diperbaiki agar lebih menjadi positif. Anda mau mengatakan pers memulainya tapi saya ingin mengatakan masyarakat juga harus juga memulainya. Bisa tidak anda berkomentar tentang ini?
Saya kira warga negara di Indonesia ini harus kritis membaca koran. Harus kritis mendengarkan siaran radio ini. Misalnya dia harus kritis menilai Faisol Riza dalam bertanya ini apakah cukup profesional. Apakah pertanyaan Faisol Riza itu tidak terlalu panjang. Berapa kata bertanya yang efektif. Apakah Kompas, Tempo, RCTI, SCTV dan seterusnya itu cukup profesional. Dan kalau ada kesalahan beritahu mereka kita berhak mendapatkan mutu berita siaran yang lebih bagus, kita berhak mendapatkan talk show yang lebih bermutu. Protes ke mereka minta mereka memperbaiki diri, beri tahu wartawan yang di lapangan bahwa kamu belum bekerja dengan cukup baik.
Saya kira komunitas anda pernah menerbitkan buku tentang studi yang cukup mendalam tentang kasus di Kalimantan. Anda bisa sebut ini sebagai upaya untuk menunjukan bagaimana pers seharusnya bersikap di dalam konflik-konflik sosial?
Kami melakukan banyak studi tidak hanya di Kalimantan, Makasar, Maluku, dan Aceh. Dalam studi-studi kami selalu terlihat bahwa media itu tidak bekerja dengan baik. Tapi saya tidak pernah menyimpulkan dan kami tidak pernah menemukan bahwa media ikut membakar sebuah konflik, konflik itu sudah inheren ada. Sudah ada orang-orang yang memang mau berkelahi. Tapi media ketika memberitakan tidak profesional itu bisa menjadi cacat tersendiri buat dunia jurnalisme Indonesia. Misalnya dalam kasus huru-hara di Makassar beberapa tahun lalu. Waktu itu ada seorang gila yang suatu malam dia lagi kumat dan melihat ada seorang gadis yang baru pulang dari pengajian memakai kerudung dan jiblab. Gabis itu dibacok sampai mati. Orang gila ini oleh media Makassar digambarkan seseorang orang keturunan Cina. Akhirnya jadi kerusuhan anti Cina. Atau di Ambon ada seorang supir dengan seorang penumpang ribut gara-gara soal ongkos yang tidak cukup. Diberitakan dengan diberi label yang ini Kristen dan yang itu Islam. Hal-hal begini dalam dunia kewartawanan disebut negative profilling atau pencitraan negatif. Misalnya ada orang Aceh atau Papua sebagai pendatang tidak perlu disebutkan bahwa itu etniknya atau orang Cina masuk penjara bikin ribut yaitu Edi Tanzil dan Bob Hasan. Tidak perlu disebutkan bahwa Bob Hasan dan Edi Tanzil itu orang Cina karena memang tidak relevan. Karena kalau ditonjolkan seperti itu semua orang Cina atau semua orang pendatang atau semua orang apapunlah, Madura, Dayak, Aceh, Jawa dan seterusnya itu yang terkena etniknya. Hal-hal semacam ini saya kira di Indonesia yang paling sering terjadi dan wartawan tidak sadar bahwa mereka salah. Yang bisa dilakukan masyarakat yang bisa dilakukan para warga negara ini adalah bilang sama wartawan kamu kerja tidak benar. Tidak boleh negative profilling. Siapa yang disebut sebagai pemerhati, siapa pakar itu, kapan boleh memberikan sumber yang anonim, kapan melakukan verivikasi, standar reportasenya bagaimana? Publik berhak untuk tahu dan publik berhak untuk menuntut pekerja media lebih baik.
Siapa yang menentukan standar repotase dan kode etik menurut aturan main media yang ada di Indonesia ini?
Secara hakiki setiap wartawan harus mempunyai kode etik sendiri-sendiri. Misalnya saya sudah bekerja sebagai wartawan 15 tahun dan bisa dihitung dengan tangan kapan saya memberikan status anonim pada sumber saya. Kalau misalnya dengan standar begitu saya mau bekerja dengan sebuah media, saya tentu akan cari media dengan standarnya. Kalau bisa lebih tinggi dari saya atau pun kalau rendah jangan terlalu keterlaluan rendahnya. Syukur-syukur kalau saya masuk ke media bersangkutan kemudian saya bisa mengangkat standarnya. Di Indonesia tiap media punya satu set code of conduct atau kode etik. Kemudian mungkin di Indonesia semua hal dinasionalisasi atau dibuat isu nasional. Dewan pers dan organisasi-organisasi wartawan juga bikin. Untuk saya malah kode etik yang dibuat oleh berbagai macam organisasi wartawan di Indonesia terlalu umum dan tidak kelihatan. Jadi yang harus menentukan adalah Kompas, Tempo, RCTI, SCTV, Indosiar, Liputan 6, Trans TV, RRI dan seterusnya.
Tapi anda ingin mengatakan tadi media begitu bebas sehingga mau tidak mau muncul media yang jumlahnya sangat banyak, wartawan yang tidak terseleksi. Dengan kondisi seperti itu apa mungkin Indonesia?
Yang pertama saya tidak pernah berpendapat bahwa media kita begitu bebas. Bahwa kita bebas itu baik. Dalam setiap kebebasan jangan berilusi bahwa tidak ada yang menyalahgunakannya. Pasti ada. Kalau media kita bebas pasti ada yang menjual pornografi, pasti ada yang ngawur, pasti ada Rakyat Merdeka, pasti ada Jawa Pos, Radar-Radar dan seterusnya. Bagaimana cara memperbaikinya? Yaitu waktu. Itu sama dengan tanya kapan kita bisa berharap polisi lalu lintas kita bersih, atau kapan kita berharap tentara-tentara kita menghargai hak-hak asai manusia, atau kapan kita berharap hakim-hakim kita tidak korup, kapan-kapan kita berharap ulama-ulama kita pendeta-pendeta, kyai-kyai menjadi lebih bagus bicaranya tidak asal bunyi, atau kapan kita berharap jaksa-jaksa jadi bersih, atau wartawan-wartawan tidak menerima amplop. Semua itu butuh waktu. Ini semua butuh waktu dan semua proses demokratisasi di Indonesia, politisi, wartawan, jaksa, dan sipil perlu waktu, perlu kesabaran, perlu pengertian, tapi juga perlu niat baik untuk berubah.
Mungkin niat baik dulu menurut saya yang bisa kita miliki sekarang ini dan kita akan mengembangkannya dalam satu dialog yang sama-sama sejajar. Dimana kelompok-kelompok masyarakat bisa hidup dengan demokratis dan memiliki hak yang sama.
PERSPEKTIF BARU di Radio: Global FM Bali, Prima FM Banda Aceh, Maya Pesona FM Mataram, Andika FM Kediri, DPFM Palembang, Pahla Budi Sakti Serang, Gita Lestari Bitung, Sananta FM Tegal, Poliyama FM Gorontalo, Mustika FM Banjarmasin, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Lesitta FM Bengkulu, Zoo FM Batam, Star Radio Tangerang, Gema Mahasiswa FM Purwokerto, Andalas FM Lampung, dan Jaringan Radio KBR 68 H.
PERSPEKTIF BARU di Media Cetak: Bali Pos (Denpasar), Wawasan (Semarang), Pedoman Rakyat (Makassar), Harian Banten (Serang), Harian Nuansa Pos (Palu), Harian Gorontalo (Gorontalo), Waspada (Medan), Radar Lampung (Lampung), NTT Ekspres (Kupang), Banjarmasin Pos (Banjarmasin), Radar Yogya (Yogyakarta), Radar Solo (Surakarta), Patroli (Manado), Malang Pos (Malang), Radar Banyumas (Purwokerto).
Thursday, September 19, 2002
Wednesday, September 18, 2002
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Ulil Abshar-Abdalla
Kompas
SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monument mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk manandingi kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsure-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal particular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, Umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan dengan Islam.
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hokum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya particular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hokum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga / keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh histories yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus di-“lawan” adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tiak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk system dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hokum Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk pada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradad akhirata fa’alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwal suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.
Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3 : 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang-tak-pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2 : 148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hokum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusi stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Ulil Abshar-Abdalla
Kompas
SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal particular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan dengan Islam.
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hokum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya particular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga / keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana mengikuti Rasul?
Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus di-“lawan” adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tiak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk system dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hokum Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk pada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradad akhirata fa’alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.
Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3 : 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang-tak-pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2 : 148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hokum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusi stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.