Andreas Harsono
Pantau, 1 Juli 2002
HERU Bahtiar Arifin seorang wartawan muda yang kritis, umurnya 28 tahun, pandai bicara, suka cengingisan, orangnya glundang-glundung, pokoknya ramai, dan sedikit usil. Cara berpakaiannya alamak! Tak wangi, klombrot, pakai baju seenaknya sendiri.
Heru orang yang kelihatannya mengutamakan isi ketimbang kulit. Ia punya situs web sederhana. Di sana terpampang foto Heru. Bibirnya tebal, rambutnya sedikit bergelombang, kulitnya agak gelap. Dan ada foto gadis manis, pakai jilbab, mungkin pacarnya?
Tapi coba perhatikan alamat emailnya: tjuk2000@bubargolkar.com.
"Itu singkatan diancuk," gurau seorang rekannya dari harian Bali Post.
Anda orang Jawa Timur? Diancuk setara dengan fuck you.
Heru memang asal Jawa Timur. "Itu singkatan cakap, ulet, kreatif," kata Heru, cengingisan.
Kreativitas inilah yang mungkin mendorong Heru menyelinap masuk resepsi pernikahan Danty Rukmana-Adrianto Supoyo Mei lalu di kediaman keluarga Soeharto di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Heru masuk ke resepsi itu tanpa undangan. Ia tahu dari seorang sumber kalau keluarga Soeharto bakal mantu. Heru tak bersedia menyebutkan nama sumber itu tapi ia seorang pengusaha dan terhitung dekat dengan keluarga Cendana walau "tak ada pertalian saudara."
Ketika Heru sampai tempat resepsi, ia menelepon si kenalan lewat telepon seluler. Heru pun disuruh masuk. Tanpa ba-bi-bu Heru melewati para penerima tamu yang mungkin mengira Heru seorang undangan.
Danty anak kedua pasangan Indra-Siti Hardiyanti Rukmana. Siti Hardiyanti atau Mbak Tutut putri sulung Soeharto. Adrianto pengusaha sarang burung walet. Mereka menikah sesudah Danty cerai dengan suami pertamanya, Triono Jayanegara Hanafi, yang resepsinya diadakan megah 28 Maret 2000 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Tak ada yang salah dengan pernikahan kedua ini. Kawin-cerai biasa dalam kehidupan manusia. Usai resepsi Heru kembali ke kantor biro Jakarta Bali Post di bilangan Palmerah Barat dan setor naskah pada Agus Astapa, koordinator liputan. Naskah langsung dikirim ke Denpasar.
Bali Post menurunkan laporan Heru keesokan harinya di halaman satu "Laporan Bali Post Langsung dari Cendana: Soeharto Ditemani Wiranto dan Hartono."
Cukup panjang 1.700 kata dan gambarannya detail. "Danty duduk berdampingan dengan Adri. Keduanya cukup mesra bersanding. Meski Danty -janda tanpa anak ini- terlihat cukup berbobot. Gemuk mirip (pelawak) Tika Panggabean. Kontras dengan Adri yang tampan dan gagah dengan bodi ideal."
"Tubuhnya yang kelebihan lemak itu dibalut dengan kebaya putih gading dipadu jarik warna sepadan dan berkonde besar. Agar tampak lebih eksotik, rambutnya dibalut bunga-bunga melati yang sudah dirajut menjadi untaian panjang hingga ke dadanya yang besar. Gincunya cukup merah dengan bedak tebal menempel pipinya."
Laporan Heru penuh dengan detail. Baik soal tamu yang hadir hingga warna tenda. Tapi yang paling menarik soal Soeharto. Mantan presiden berumur 80 tahun ini disebutnya tenang, gagah, bertubuh "gemuk ideal," tak pucat, tak loyo, dan duduk dengan punggung tegak.
Jalannya sedikit cepat untuk ukuran pria seusianya. Soeharto juga menyantap hidangan dengan biasa. Ia memberi ciuman kepada mempelai, berbicara dengan besan, tersenyum, berfoto bersama tamu, dan berbincang-bincang dengan Wiranto dan Hartono, dua pensiunan jenderal yang pernah memimpin angkatan darat.
Padahal selama ini orang tahunya Soeharto sakit berat sesuai hasil pemeriksaan dokter. Itu sebabnya pengadilan tak bisa menjangkau Soeharto. Banyak yang curiga sakitnya Soeharto dibuat-buat. Laporan Bali Post dikutip banyak media lain, dalam maupun luar negeri, sehingga buntutnya, Soeharto pun akan diperiksa lagi. Kalau sehat ya diadili. Kalau sakit ya tetap tak diadili.
Maksud si kenalan, tentu saja, Heru menulis yang baik-baik soal pernikahan Danty. Namanya juga orang menikah. Tak elok menulis yang tak sedap. Wartawan lain tak boleh masuk. Semua menunggu di luar. Si cengingisan tak tahunya menulis kesehatan Soeharto plus masalah tak sedap lain. Mulai dari gincu tebal hingga dada besar.
"Dia marah, mengancam," kata Heru.
Heru juga mengirimkan beritanya ke sebuah komunitas maya mantan wartawan mahasiswa. Dari sana ia menyebar ke entah berapa komunitas lain.
Kantor Bali Post, baik Denpasar maupun Jakarta, menerima telepon menanyakan Heru. Dia juga sering melayani permintaan wawancara media lain. Agus Astapa mengatakan secara institusional Bali Post tak pernah menerima ancaman.
"Heru sudah dipindah ke pos lain dan sekarang sudah tidak di Jakarta lagi," ujar seorang penerima telepon Bali Post seperti ditirukan Arif Ardiansyah dari Aliansi Jurnalis Independen.
Kalau Arif terlibat di sini karena Heru minta bantuan AJI. Ia datang ke kantor AJI Jakarta dan cerita bahwa teror hanya sebatas telepon dan SMS. Bunyinya kira-kira, "Kalau Anda teruskan berita soal ini akan celaka."
Tak jelas berita sakitnya Soeharto atau tebal gincunya Danty. Yang jelas Heru kini pindah ke Denpasar.
No comments:
Post a Comment