Andreas Harsono
Pantau, 1 Juli 2002
BAGAIMANA kebijakan harian Kompas dalam membedakan iklan dan berita? Di atas kertas tentu beda. Iklan ya iklan. Berita ya berita.
Tapi tunggu dulu. Sekali dua, namanya juga organisasi besar, ada saja berita-berita yang menimbulkan tanda tanya.
Contoh pertama. Ketika pemain sepak bola Patrick Kluivert menikah pada Juli 2000, Kompas menurunkan foto kedua mempelai plus pesan yang mengatakan buku tentang Kluivert sudah diterbitkan dan dijual oleh harian Kompas.
Coba baca caption-nya: Bintang sepak bola Belanda Patrick Kluivert bersama istrinya Angela van Wanrooij, berpakaian putih-putih seusai pernikahan di Westerkerk, Amsterdam (Belanda) hari Sabtu (8/7). Foto Kluivert ketika bermain di Euro 2000, menjadi wajah depan buku "Malaikat Kecil" di Mulut Gawang terbitan harian Kompas, beredar dan dijual hari ini.
Kompas yang menerbitkan bukunya, Kompas pula yang memberitakan pernikahan Kluivert. Tapi itu mungkin kesalahan kecil.
Contoh kedua. Coba perhatikan foto Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung mantan presiden Soeharto, ketika mengunjungi adiknya, Hutomo Mandala Putra, buronan nomor satu negeri ini, yang ditangkap polisi 28 Oktober lalu.
Kok kebetulan, foto Rukmana yang sedang dikerubuti puluhan wartawan, dicetak Kompas hanya dengan satu mikrofon di depan mulutnya. Mikrofon itu berlogo TV7. Kalau kejadian serupa dibandingkan dengan tayangan televisi, orang akan sadar bahwa Rukmana saat itu dikelilingi banyak mikrofon.
Soalnya jadi beda bila orang tahu TV7, televisi baru milik Kelompok Kompas Gramedia.
Iklan terselubung? Wallahualam.
Kegiatan public relation dari TV7? Wallahualam.
Tapi ada yang jauh lebih serius ketimbang perkara kecil-kecil itu. Perhatikan rubrik Seremonia yang terbit tiap Rabu dan Minggu. Penampilannya dengan font atau jenis huruf Times yang sama persis dengan font halaman-halaman berita Kompas.
Judul maupun body text. Caption foto dan credit title foto. Semua sama dengan berita.
Tapi rubrik yang isinya acara gunting pita, kegiatan sosial, prestasi baru, atau pesta ini-itu, semacam halaman social circle di kebanyakan suratkabar internasional, adalah iklan 100 persen. Orang harus membayar untuk dimuat Seremonia. Di sana pun ada petunjuk cara beriklan lewat Seremonia.
Rubrik Seremonia setidaknya menipu mata pembaca agar mengiranya berita. Dalam bahasa jurnalisme, Kompas bisa dianggap melanggar prinsip pagar api (fire wall) yang mewajibkan media serius memisahkan urusan bisnis dan editorial.
Apa komentar Kompas?
"Wah, nggak begitu nangkap saya apa maksudnya? Apa ada pendapat begitu tentang Kompas?" kata Jakob Oetama, pemimpin umum Kompas, ketika ditanya pada November lalu.
"Tapi mestinya ada yang menimbulkan salah paham itu karena sekarang ada advertorial. Apalagi itu ya, saya nggak terlalu tahu. Coba tanya ke Saudara Agung saja," kata Oetama.
Agung yang dimaksud Agung Adiprasetyo, pemimpin perusahaan Kompas. Sayang, Agung sedang ada di Spanyol ketika dihubungi majalah ini.
David T. Hill dari Murdoch University, Perth, Australia, akademisi yang menulis buku The Press in New Order Indonesia, berpendapat praktik macam itu memang bisa dipertanyakan.
"Media yang mau dianggap setting the standard harus siap dikritik. Misalnya Kompas dianggap sebagai standard setter, newspaper of record, selalu akurat, paling berimbang dalam liputannya. Itu jadi tolak ukur koran-koran yang lain. Kalau standard setter itu tak mau mengaku salah, itu jadi preseden yang jelek buat koran-koran lain. Sama juga dengan Tempo," kata Hill.
Hill menganggap majalah Tempo dan harian Kompas sebagai dua dari beberapa media terbaik Indonesia.
Omong-omong soal Jakob Oetama, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-70, ditanya bagaimana rencana regenerasi kepemimpinan Kompas.
Ini pertanyaan biasa saja karena Oetama sendiri berulang kali mengangkat isu regenerasi di Kelompok Kompas Gramedia.
"Ya pasti ada ya. Tapi barangkali orang macam saya ini leading the way. Sedang dengan rencana persiapan penggantinya, kalau saya, kami itu di masing-masing unit itu, sudah ada sejumlah orang yang sudah dipersiapkan sebagai kader. Lalu biarlah dari mereka itu ada yang tumbuh. Lalu yang paling penting, itu sistem yang harus dikonsolidasikan."
Dan kader-kader ini pula yang tampaknya harus mengatasi campurnya berita dan iklan. Mungkin inilah tantangan generasi Kompas berikutnya. Ketika tekanan dari pemerintah sudah berkurang, maka tekanan babak kedua adalah dunia usaha. Prinsip pagar api pun jadi prioritas. *
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.