POLYCARPUS Swantoro melangkah ke ruang tamu. Rambutnya sudah putih, tersisir rapi. Rumah Swantoro, mantan wakil pemimpin redaksi harian Kompas ada di Cipinang, Jakarta Timur.
Lelaki itu Januari lalu genap berusia 70 tahun. Swantoro pensiun, melepaskan semua jabatannya di Kelompok Kompas Gramedia.
Di atas meja terletak buku karyanya, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Swantoro mengambil buku, membolak-balikkan halamannya, dan meletakkannya kembali, "Sejak dulu kalau mau menulis sesuatu, termasuk menulis buku ini, saya tidak pernah pakai konsep. Kalau dibikin konsep dulu, ketika menulis isinya selalu berbeda dengan konsep awalnya."
Sejak kecil ia suka buku, kendati bahasanya ia belum tahu. Ketika duduk di sekolah rakyat ia terkesan dengan buku berbahasa Belanda milik ayahnya. Kenangan akan buku itu terpateri puluhan tahun di otaknya.
Pada 1994, dia tak bisa menahan kerinduannya pada buku tua itu. Kepada tetangganya, Bunyamin Wibisono, yang punya hobi berburu buku tua, Swantoro berpesan agar dicarikan buku yang dia maksud.
Dalam seminggu buku itu ditemukan, judulnya Geillustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie atau Ensiklopedi Bergambar Hindia-Belanda. Buku itu disusun G.F.E. Gonggryp, W.K. Boogh, E.A. Douglas, G.J. du Marchie Sarvaas, A. Neijtzell de Wilde, dan J.Th. Petrus Blumberger. Buku itu diterbitkan di Leiden, Belanda, pada 1934 oleh NV Leidsche Uitgeversmaatschappij.
Ketika menemukan nama J.Th. Petrus Blumberger, sebagai salah seorang penyusun, Swantoro ingat kepada tokoh ini yang menulis buku berjudul De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie (Pergerakan Nasional di Hindia-Belanda).
Memori tentang pengarang Belanda inilah yang antara lain dituangkan Swantoro dalam bukunya.
Swantoro bertemu dengan nama lain, J.M. Pluvier, yang kemudian dijadikan tokoh juga. Begitulah, setiap Swantoro bertemu nama baru ketika tengah menulis satu bab, nama itu diurai lagi, ketemu lagi yang baru, diceritakan lagi tentang tokoh tersebut, begitu seterusnya, hingga menghasilkan sebuah buku dengan 32 bab.
Swantoro suka buku-buku sejarah. Satu per satu buku kegemarannya dikumpulkannya, kini ada lebih dari 200 judul. Hampir semua buku mengesankannya. Mereka terekam dalam memori lulusan sekolah calon pastor Katolik, Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang pada 1953 ini. Ia juga alumnus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma dan Universitas Gadjah Mada, jurusan sejarah.
Jauh sebelum pensiun, Swantoro ingin menulis buku. Temanya unik, bercerita tentang buku-buku yang dia miliki.
"Pertengahan 1998 saya memperlihatkan tulisan saya sebanyak 20 halaman kepada Parakitri Tahi Simbolon" --direktur Kepustakaan Populer Gramedia-- "dia tertarik, dan sangat mendukung supaya saya meneruskan menulis buku itu, juga berjanji untuk menerbitkannya."
Pekerjaan menulis buku itu secara serius dimulai sejak 2000. Saat resmi pensiun buku itu sudah jadi.
Bahan untuk menulis buku berasal dari pustaka di rumahnya, dan dari pustaka di Kelompok Kompas Gramedia, perwakilan majalah terbitan Belanda Bijdragen Tot De Taal-, Land-en Volkenkunde di Jakarta, juga dari TemBI, rumah budaya, museum benda kuno semacam keris dan buku langka, kepunyaan Swantoro, dan berlokasi di desa Tembi, Bantul, Yogyakarta.
"Setelah selesai ditulis naskah itu saya serahkan kepada Parakitri."
Naskah mentah buku itu memang sambung-menyambung menjadi satu. Editor di Kepustakaan Populer Gramedia mengedit naskah itu agar layak menjadi buku, dengan memilah-milahnya jadi 32 bab dengan 32 subjudul. Dalam pembikinan subjudul, Swantoro dan editor berunding. Editor juga melengkapi buku itu dengan daftar pustaka, daftar foto dan indeks. Setelah jadi buku itu tebalnya 435 halaman. Jakob Oetama, mantan pemimpin redaksi Kompas, kawan Swantoro di Seminari Mertoyudan, menulis kata pengantarnya.
Buku itu dimulai dengan judul "Bermula dari Gambar Berwarna," berkisah tentang kerinduannya pada gambar berwarna buku milik ayahnya.
Membaca buku karya Swantoro bagai membaca setumpuk buku, berisi beragam tema cukup menarik. Pada halaman 92 ia menulis, "Orang Jawa yang meninggal dalam Perang Diponegoro 200 ribu orang, padahal penduduk seluruh Hindia Belanda pada waktu itu baru tujuh juta orang. Penduduk Yogyakarta tinggal separuhnya."
Masih di halaman sama diungkapkan adanya dua orang "Pangeran Diponegoro" yang berlainan kurun waktu keberadaannya. Keduanya sama-sama memakai gelar Erucakra atau Ratu Adil. "Pangeran Diponegoro" pertama setelah terlibat perang melawan Belanda, diasingkan ke Afrika Selatan, meninggal di sana pada 1720. Pangeran Diponegoro yang kedua, yang dikenal secara umum setelah terlibat perang, lalu ditangkap, kemudian diasingkan ke Makassar, meninggal di sana pada 1855.
Pada bab 30 dengan subjudul "Babak Terakhir Tan Malaka-Hatta" dan bab 31 dengan subjudul "Babak Terakhir Sukarno-Hatta." Dalam kedua bab itu Swantoro mencari kisah-kisah paralel antara Tan Malaka dengan Bung Hatta atau antara Bung Karno dengan Bung Hatta.
Kini, ia tinggal bersama istrinya, Rosa Antonia Kusmardijah, perempuan kelahiran 3 Februari 1935, yang ia nikahi 28 Desember 1960 di Yogyakarta. Pasangan ini punya empat anak lelaki. Anak ketiga, Henricus Herianto, menderita gagal ginjal. Untuk menopang hidup Henricus, beberapa tahun lalu sang ibu memberikan ginjalnya sebelah kiri. Namun, sejak dua tahun lalu ginjal cangkokan itu tak berfungsi lagi.
"Kini dia, setiap minggu cuci darah," kata Swantoro, lirih.
Swantoro, lelaki itu, di hari tuanya, akan terus menulis buku. Sejumlah tema sudah ada di tangan seperti menulis pengalamannya selama puluhan tahun sebagai wartawan dan menulis buku sejarah Kelompok Kompas Gramedia.
"Saya prioritaskan menulis tentang sejarah Kompas. Buku tentang itu belum ada."
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.