SETIAP Senin habis mahgrib di Kedai Tempo, sebuah tempat makan di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur, ada satu meja makan di mana topik diskusinya tak pernah jauh-jauh dari masalah Islam. Apa saja yang terkait Islam. Mulai dari jutawan Saudi Osama bin Laden hingga terjemahan Al Quran. Dari syariah hingga demokrasi.
Mereka yang mengelilingi meja itu, mungkin sembari makan atau sekedar minum, biasanya sekitar lima hingga delapan orang. Santai saja tanpa resmi-resmian.
Biasanya ada Ulil Abshar-Abdalla, seorang kolumnis dari kalangan Nahdlatul Ulama. Ada juga Luthfi Assyaukanie, seorang dosen Universitas Paramadina yang gemar utak-atik internet. Jarang absen Nong Darol Mahmada, putri seorang kyai Banten, yang ikut wira-wiri dan diskusi soal Islam.
Dari kongko-kongko macam inilah muncul kelompok baru yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal. Mereka memproduksi siaran radio seminggu sekali bekerja sama dengan kantor berita radio 68H yang disiarkan 15 radio di seluruh Indonesia.
Setiap minggu kelompok ini juga mensindikasikan beberapa artikel pada 40 suratkabar dalam naungan Jawa Pos News Network.
Ini berarti wawancara atau kolom Jaringan Islam Liberal jadi sindikasi terbesar di Indonesia, mengingat ia diterbitkan harian lokal macam Jawa Pos (Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), atau Fajar (Makassar).
Mereka juga memiliki situs web www.islamlib.com dan sebuah mailing list islamliberal@yahoogroups.com di mana mereka rajin berdebat, menjawab pertanyaan, mengutip ayat Quran, bahkan melakukan “provokasi” terhadap anggota-anggota penayangan maya ini.
Ulil termasuk salah satu yang rajin menulis. Inti dari argumentasi Ulil dan kawan-kawannya adalah pemisahan antara agama dan negara. “Yang privat dan yang publik itu memang tidak terpisah secara tegas, kadang-kadang jumbuh. Tapi, pengandaian bahwa kedua ruang itu terpisah, dan seharusnya memang dipisah, menurut saya harus terus dipertahankan, untuk menghindari kekacauan yang timbul dari campur aduk antara keduanya,” kata Ulil.
Ini sebuah penafsiran yang bisa bikin sebagian tokoh Muslim Indonesia mengerutkan dahi. Apalagi isu dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi Indonesia masih jadi topik panas di parlemen maupun di jalanan.
Ulil enteng saja. Dia suka mengambil perumpamaan, “Duit Anda dengan duit kantor Anda jelas tidak bisa dibukukan dalam satu rekening.”
“Anda boleh menjadi NU, Muhammadiyah, abangan, penganut kebatinan, Kristen, Budha, Hindu, penganut klenik, pengamal debus, pengikut spiritualisme, penikmat candu, dan segala macam.”
“Itu semua adalah rekening pribadi. Tapi harap rekening pribadi itu jangan dicampur dengan rekening publik, nanti bisa berabe urusan kita.”
Tujuan Jaringan Islam Liberal adalah mencegah pandangan keagamaan yang militan dan pro-kekerasan menguasai wacana publik Indonesia.
Luthfi dalam situs islamlib.com menjelaskan Islam liberal sebagai “protes dan perlawanan” terhadap dominasi Islam ortodoks baik yang wajahnya fundamentalis maupun konservatif.
Ada enam isu yang jadi agenda pokok Islam liberal: anti-teokrasi, demokrasi, hak perempuan, hak nonmuslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan. Penjelasan lengkap enam agenda itu dibukukan oleh Charles Kuzman dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global.
Siapa yang kira-kira mengerutkan dahi? Ya kira-kira mereka yang terkena macam Front Pembela Islam, Laskar Jihad, atau Partai Keadilan.
Ulil tak sekali dua melancarkan kritik terhadap organisasi-organisasi itu dalam mailing list Islam Liberal.
Ja’far Umar Thalib, panglima Laskar Jihad, menilai kampanye Islam liberal ini sebagai upaya pengaburan Islam dengan dalih pluralisme. Gatra mengutip Ja’far Umar Thalib yang mengatakan, jaringan ini adalah gerakan de-Islamisasi. “Perbedaan kita dengan mereka seperti perbedaan antara Islam dan kafir,” katanya.
Nong mengatakan tak sedikit yang meledek Islam liberal sebagai “Islam liar.” Tapi Nong yang jadi project officer pekerjaan ini tak berkecil hati.
Tiap kali Ulil dan Nong memoderatori acara radio. Telepon banyak masuk dari daerah-daerah yang tak pernah mereka bayangkan. Ada telepon dari Maluku tapi juga banyak dari kota besar macam Jakarta.
Senin sore itu adalah kegiatan rutin Ulil dan kawan-kawannya. Mereka tak sekedar diskusi tapi mengadakan rapat mingguan buat evaluasi dan menentukan kegiatan mereka seminggu mendatang.
Anak-anak muda ini dapat merangkul nama-nama besar dalam dunia Islam di Indonesia untuk datang ke Utan Kayu dan bicara lewat program radio. Atau bisa juga muncul lewat sindikasi suratkabar. Sebut saja Hasyim Muzadi dan Masdar F. Mas’udi dari Nahdlatul Ulama, Syafi’i Ma’arif dan Moeslim Abdurrahman dari Muhammadiyah, Nurcholish Madjid dari Universitas Paramadina, atau Azyumardi Azra dari Institut Agama Islam Negeri Jakarta.
Bukan hanya pemikir Islam. Mereka juga mengundang Ismartono SJ dari Konferensi Waligereja Indonesia untuk bicara soal syariat Islam. “Apakah tidak lebih baik kalau Anda melaksanakan syariat itu di dalam komunitas sendiri,” kata Ismartono, salah seorang pastor senior dalam gereja Katholik di Indonesia, seraya membandingkan syariat Islam dengan gereja Katholik yang juga punya hukum kanonik.
“Tapi kami tidak minta tolong negara untuk menyelenggarakannya,” kata Ismartono.
Kyai Aziz Masyhuri, pengasuh pesantren Al Aziziyah, Jombang, menilai gerakan Islam liberal ini sangat positif, “Ini memungkinkan Islam diterima semua pihak.”
Maka acara diskusi Senin ini pun berlanjut. Terkadang diselingi mie rebus, terkadang ayam goreng, serta teh poci yang sering diisi ulang. “Kadang-kadang capek tapi seneng,” kata Nong.
-- Andreas Harsono
Majalah Pantau No. 21 Januari 2002