Pada 30 November 2001, sekelompok sahabat dan murid Herbert Feith mengadakan acara mengenangnya di Wisma Antara, Jakarta. Feith meninggal dunia dalam kecelakaan kereta api di Melbourne dua minggu sebelumnya. Di Jogjakarta, juga diadakan acara serupa. Saya kebetulan ikut diminta jadi panitia acara Jakarta. Marsillam Simandjuntak memberikan pidato mengenang Herb.
MENGENANG HERB FEITH (1930 - 15 Nov.2001)
Pidato dalam acara "Mengenang Herb Feith" di Jakarta, 30 November 2001
Herb Feith, almarhum, adalah pribadi dari jenis yang langka, yang unik, yang tak ada duanya bagi mereka yang sempat menjadi kawan dan rekannya, ataupun sekadar pernah mengenalnya. Masing-masing mempunyai pengalaman tersendiri dan luar biasa, sewaktu berhubungan dengan Herb, berupa peristiwa yang setiap saat akan jadi bahan yang menarik untuk diceriterakan kembali. Tetapi baru setelah mendadak ditinggalkan oleh Herb tua yang baik hati dan lembut budi bahasanya itu, semua sadar bahwa tidak mudah untuk menggambarkan kembali kesan mengenai pribadi yang istimewa ini dengan merangkai kembali episode-episode, potongan-potongan cerita tentang dan bersama dirinya itu. Pada siang hari ini kita akan mendengar sebagian kisah yang tak habis-habisnya mengenai Herb, dari penuturan kawan-kawannya, yang mencoba membangun kembali ingatan yang dengan kekuatiran yang mendalam ingin kita pelihara, kita simpan dan awetkan dalam sanubari masing-masing. Mungkin keping-keping itu tak akan menghasilkan gambaran, identitas, yang bisa dipahami dengan kesepakatan, bahkan mungkin masih menyisakan beberapa pertanyaan dan beda penafsiran. Tapi itu tidak jadi soal, karena seperti Herb, kita juga bukan tergolong yang berani mempercayai hal yang final, yang seragam dan yang kekal. Kita, dari rasa cinta kepada Herb, dengan cara ini hanya ingin mendapat kesempatan memberi penghormatan padanya, yang tanpa sempat melantunkan kata perpisahan yang selalu diucapkannya dengan nada yang khas "see you", telah berangkat ke alam baka, atau ke akademia yang abadi, dengan cara yang tak pernah ada yang menyangka atau membayangkannya sebelumnya, pada sore hari 15 November lalu di Glen Iris, Victoria. Kecelakaan itu, sebagaimana kita menduganya diam-diam, terjadi karena mungkin Herb lengah menggunakan pancainderanya, sebab perhatiannya sepenuhnya dipusatkan pada masalah yang sedang dipikirkannya dengan intens. Herb, boleh dicatat dengan bangga, telah gugur saat menjalankan tugasnya, yaitu berpikir. Dan lengkap dalam atribut kesederhanaannya yang tulen. Boleh jadi, yang tengah dipikirkannya adalah yang terkait dengan salah satu dari dua pola sentral dalam jiwanya, yaitu demokrasi di Indonesia, atau soal perdamaian di dunia.
Satu hal yang pasti kita setujui bersama, Herb, yang lahir di Wina tahun 1930, dari keluarga Yahudi, yang pada tahun '39 meninggalkan Eropa karena tekanan Nazi, adalah seorang ilmuwan politik Australia yang mendapat tempat istimewa dalam pandangan dan perasaan orang-orang di Indonesia. Juga tak dapat disangkal, bahwa secara pribadi dan secara akademis, Herb telah menempatkan diri atau setidak-tidaknya terbawa serta dalam arus perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di Indonesia. Almarhum menginjakkan kakinya di Indonesia tahun 1951, dan mengikuti proses politik sepanjang jangka sistem pemerintahan parlementer. Seperti diakuinya sendiri, pengalamannya itu menjadikan dirinya kurang obyektif sebagai pengamat, karena ia jatuh cinta pada Indonesia seperti yang dikenalnya di masa liberal tahun limapuluhan itu. Dan sebagaimana kita ketahui dan akui bersama, Herb lalu menulis disertasinya di Cornell University yang ternama itu (di bawah bimbingan George Kahin. Untuk banyak orang, di tahun 60-an Herb lebih dikenal sebagai orang Cornell, Ithaca daripada orang Monash, Australia), dan tahun 1962 diterbitkan menjadi buku yang akan selalu jadi buku klasik bagi mereka yang berminat belajar sejarah perkembangan politik modern Indonesia. Dan, saya tidak sedetikpun ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa buku ini dan bahan-bahan didalamnya masih akan jadi referensi dalam kurun 25 tahun yang akan datang bagi mereka yang ingin melibatkan diri dalam pencarian dan pembentukan sistem politik demokratis di Indonesia. Tak usah saya ulangi lagi, bukunya itu adalah The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ini, menurut banyak orang, adalah puncak karya Herb, yang akan mengabadikan namanya dalam pelajaran sejarah politik di negeri ini. Sampai sekarang, akademisi maupun awam, kalangan intelektual maupun politikus, membaca atau tidak buku itu, selalu menyebut-nyebut pembagian dua tipe kepemimpinan Indonesia sebagai jenis "solidarity makers" dan "administrators/ problem solvers" - konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nama Herbert Feith, sebagaimana "aliran" dikaitkan dengan Clifford Geertz.
Herb, pada senja hari umurnya, masih penasaran dengan soal demokrasi konstitusional di Indonesia. Di akhir tahun 1992, masih dalam suasana kekuasaan mutlak Soeharto, untuk menghormati pensiunnya Herb dari Monash University, diadakan seminar internasional tentang topik demokrasi Indonesia ini. Pertanyaan yang mengusik, bagi Herb sendiri, ialah apakah demokrasi tahun limapuluhan itu jadi gagal, atau memang tidak cocok dari asalnya (kritik Harry Benda) , ataukah memang sengaja dibunuh oleh koalisi tentara dan konsepsi demokrasi terpimpin, yang ditokohi Nasution-Soekarno (seperti argumen Rahman Tolleng)? Tak ada jawaban yang memuaskan, hanya Herb menyempatkan menyisipkan penjelasan (terhadap kemungkinan yang kedua), bahwa ketika itu ia menitikberatkan perhatian pada faktor, bukan pada aktor. Rasa tidak puas Herb masih berlanjut - dan tak mengherankan, karena ketidakpuasan mencari juga ciri khasnya - yang diwujudkannya dengan menyodorkan gagasan pemerintahan "semi parlementer". Yaitu, masih dalam zaman Soeharto, dengan anjurannya agar mengangkat seorang "perdana menteri" sebagai kepala pemerintahan sehari-hari, sedang Presiden tinggal sebagai simbol, sebagai Kepala Negara saja. Manakala sistem presidensial macet, buntu, Herb selalu kembali lagi pada gagasan eksperimental ini, termasuk di masa Gus Dur. Tentu saja itu semua hanya berhenti pada diskusi dengan Herb, dan kawan di sekitarnya. Tapi, dengan ini Herb sudah mulai memperhatikan aktor juga.
Sementara sekarang ini, demokrasi konstitusional yang masih dalam taraf chaotic berjalan terus, di atas suasana bebas pasca-Soeharto, tanpa menghiraukan pengamat-pengamatnya yang cermat, termasuk Herb Feith di antaranya. Proses politik bergerak terus, melabrak kriteria demokrasi konstitusional yang dipaparkan Herb dalam bukunya*, seperti kereta api di Glen Iris sore itu, yang melaju tanpa sempat perduli tatkala ia melanggar seorang pengamat yang tulus, yang pikirannya sedang terpusat pada demokrasi (yang tak kunjung berwujud) di sebuah negeri di seberang sana. Herb yang baik, tak putus-putusnya mengamati proses perkembangan politik demokrasi Indonesia, sebuah proses yang disadarinya bergerak dengan tidak menghiraukan para pengamatnya. Tapi sebaliknya Herb tidak menyangka, dan karena itu tidak memperhatikan dengan cermat rangkaian kereta api, benda yang juga bergerak tanpa mengacuhkan apa yang di luar jalurnya, dengan akibat fatal. Dan kita semua lalu berduka, menundukkan kepala: selamat jalan menuju padang wacana yang kekal.
-- Marsillam Simandjuntak
* Demokrasi konstitusional, bagi Herb, dikenal dari enam ciri khasnya seperti: peranan dominan kaum sipil, partai politik jadi amat penting, mereka yang bersaing untuk kekuasaan melakukannya dengan menghormati "rules of the game" yang terkait erat dengan konstitusi yang berlaku, para anggota elit politik umumnya punya semacam komitmen dengan simbol yang berhubungan dengan demokrasi konstitusional, kebebasan sipil jarang diperkosa, dan penguasa pemerintahan sangatlah hemat dalam menggunakan daya paksa).
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.