Andreas Harsono
Pantau, 1 Oktober 2001
SERANGAN 11 September 2001 yang terjadi di Amerika Serikat adalah ajang pertarungan media besar kelas dunia. Inilah peristiwa besar di mana raksasa-raksasa jurnalisme berlomba membuktikan siapa yang terbaik, tercepat, dan terpercaya?
Bukan saja karena skala peristiwanya besar tapi dua dari empat pesawat Boeing yang dijadikan rudal itu meledak di New York –kota di mana semua raksasa media punya markas besar atau biro besar atau kantor perwakilan.
New York, singkat kata, adalah ibukota jurnalisme global. Bahkan di daerah Times Square saja, sebuah persimpangan jalan yang hiruk-pikuk di jantung Manhattan, terdapat markas besar setidaknya lebih dari lima organisasi media yang sangat kaya, reputasinya tinggi, dan jadi sumber kecemburuan banyak wartawan.
Harian The New York Times ada di sana. Nama Times Square itu sendiri mengambil nama suratkabar itu. Di blok yang berdekatan juga ada kantor jaringan televisi CBS, dan beberapa blok lagi ada ABC, NBC, majalah Time, majalah Newsweek, Fox Television, dan jangan lupa di Manhattan pula terdapat markas besar kantor berita Associated Press.
New York juga tuan rumah bagi kantor biro CNN, BBC, Reuters, dan ratusan lainnya. Media asing dari Jepang, Inggris, Jerman, Hongkong, Taiwan, Rusia, Timur Tengah, juga banyak yang buka cabang di New York. Manhattan juga kota kelahiran majalah bergengsi macam The New Yorker.
Masih mau tambah? Manhattan punya Columbia Graduate School of Journalism. Sekolah ini bergengsi karena tiap tahun mereka terlibat penjurian para pemenang Pulitzer Prize. Alumninya ada di mana-mana, di Asia misalnya dalam suratkabar Asian Wall Street Journal maupun Far Eastern Economic Review, keduanya di Hongkong. Sedemikian berpengaruh sekolah ini sehingga ada istilah “Mafia Columbia” bagi alumninya yang menduduki jabatan-jabatan strategis di banyak media.
Ini semua sedikitnya menggambarkan mengapa tabrakan pesawat kedua bisa disiarkan langsung oleh banyak televisi. NBC memakai sedikitnya empat helikopter untuk meliput kebakaran di World Trade Center 1.
Tabrakan di Manhattan itu juga menarik karena belum ada sensor di sini. Berbeda dengan Perang Teluk pada 1991 atau berbagai peperangan modern lain, di mana sudah banyak dibahas orang, tentang upaya militer Amerika Serikat dalam melakukan sensor. Antara lain dengan sistem polling atau menghalangi wartawan masuk ke wilayah krisis.
Manhattan adalah rumah para wartawan. Banyak wartawan tahu di mana cari deli yang makanannya murah dan enak. Banyak wartawan tahu cara cari masakan Itali, Cina, India, Melayu, atau bir Irlandia, atau keju berbagai rupa. Ini berarti mereka juga tahu bagaimana menyelinap cari informasi.
Lalu siapa pemenang kompetisi global ini?
Sulit mengatakannya pada minggu-minggu ini. New York Times bersaing keras dengan Washington Post, rivalnya yang terbit dari Washington. Bob Woodward, wartawan investigasi paling terkenal di dunia, kali ini turun ke lapangan dan menulis di halaman depan Washington Post. Woodward pada awal 1970-an mendapat perhatian luas karena liputannya terhadap skandal Watergate berakhir dengan pengunduran diri Presiden Richard Nixon. Dia juga sempat difilmkan dengan judul All the President’s Men.
Tapi New York Times tak mau kalah. Selain mengerahkan ratusan reporter, suratkabar ini juga menurunkan analisis semua kolumnisnya, termasuk R.W. Apple Jr., Thomas Friedman, Anthony Lewis, dan William Safire.
Time bersaing dengan Newsweek. Kedua majalah mingguan ini sama-sama menerbitkan edisi khusus yang melulu berisi foto dan cerita serangan 11 September 2001. Kami menilai edisi khusus Time lebih baik ketimbang Newsweek.
Time tampil hanya dengan satu laporan sepanjang 13 halaman. Laporan yang diolah Nancy Gibbs itu penuh dengan detail, emosi pembaca diaduk-aduk dengan kengerian, ketegangan, kepanikan Presiden George W. Bush, keberanian anggota pemadam kebakaran, ketulusan relawan donor darah, ketekunan para teroris, kepekaan relawan pakaian bekas, ada yang mengharukan, tapi juga ada yang lucu. Ada heroisme, ada oportunisme.
Newsweek masih tampil dengan cara tradisional. Membagi isu besar itu ke dalam tujuh laporan. Newsweek kurang berani masuk ke dalam narasi yang bercerita. Ia masih berkutat dengan laporan-laporan pendek.
Dari segi grafis Time juga tampil dengan kulit muka tanpa teks. Gambar menara yang terbakar itu sudah bercerita total tentang World Trade Center. Pembaca tak perlu diberitahu lagi dengan teks. Semua juga tahu bahwa isi Time pasti soal World Trade Center. Semua juga tahu bahwa berita itulah yang paling besar minggu tersebut.
Newsweek, maupun kebanyakan majalah lain, termasuk Far Eastern Economic Review, Asiaweek, maupun di Jakarta macam Tempo, Gatra, Gamma, Panji, masih mencantumkan teks di kulit muka mereka. Mereka tak sadar bahwa kejadian berskala sebesar itu cukup diberi gambar yang sudah bercerita banyak.
Majalah-majalah Jakarta juga belum berani tampil dengan satu laporan tunggal. Mungkin karena reportase mereka kurang –kebanyakan tak punya koresponden penuh waktu—mungkin karena kekuatan penulisan mereka belum dibiasakan dengan narasi.
Namun di balik kompetisi yang memeras urat syaraf ini ada juga cerita sedih. Ada wartawan meninggal karena mengejar berita. William Biggart, seorang fotografer freelance, ikut menyerbu masuk ke World Trade Center. Menara itu ambruk dengan Biggart masih di dalamnya.
Jenasah Biggart ditemukan pada 15 September 2001 berdekatan dengan jenasah beberapa anggota pemadam kebakaran. Biggart adalah anggota sindikasi foto Impact Visuals dan pernah memotret pertikaian di Jalur Gaza serta Irlandia Utara.
Selain Biggart ada beberapa teknisi televisi –yang kebanyakan punya pemancar di World Trade Center—yang masih dilaporkan hilang. Mereka antara lain Isaias Rivera dan Bob Pattison dari WCBS-TV, William Steckman dari WNBC-TV, Steve Jacobson dari WPIX-TV, Donald DiFranco dari WABC-TV serta Rod Coppola dari WNET-TV.
Kami ikut berduka dengan kematian Biggart dan berharap para teknisi itu bisa ditemukan. Dalam liputan kelas dunia, ironisnya, selalu ada korban. Jurnalisme Indonesia tampaknya belum banyak bicara dalam liputan sekelas ini. Tapi siapa tahu kelak bakal muncul wartawan-wartawan Indonesia yang bisa berkiprah di kelas dunia?