Andreas Harsono
KEMAL Jufri punya sebuah mimpi. Ia ingin mengumpulkan beberapa fotografer Indonesia, teman-temannya, untuk memotret dan bekerja sama, mendirikan sebuah agen pemotretan dimana hasil jepretan mereka dikumpulkan, diatur, dan dipasarkan bersama.
Ide ini muncul setelah Jufri bekerja freelance melayani permintaan foto suratkabar internasional. Fotografer Indonesia belum bisa memenuhi permintaan suratkabar macam Time, Newsweek, The New York Times, Business Week, Asiaweek dan sejenisnya. Sering pekerjaan ini diberikan pada wartawan foto asing, baik yang tinggal di Jakarta maupun yang dikirim ke Indonesia untuk memotret.
Padahal jepretan wartawan lokal tak kalah mutunya. Apalagi mereka menguasai bahasa dan lapangan. Mereka juga tak kalah dari teknik pemotretan. Kekalahannya lebih pada kemampuan berbahasa Inggris, kecepatan melayani klien, serta manajemen. Penugasan pemotretan itu buntutnya lebih banyak diberikan pada fotografer asing.
“Saya bersaing mati-matian dengan bule-bule itu,” kata Jufri.
Jufri lebih sering melayani suratkabar asing karena upah harian atau day rate mereka cukup tinggi. Majalah Asiaweek membayar US$250 atau Rp 2.5 juta per hari. Majalah Time $500 sedang Business Week $800.
Wartawan foto freelance memang diupah harian, bukan dihitung setoran foto. Suratkabar bersangkutan minta hak pertama memakai foto. Tapi hak cipta tetap ada di tangan si wartawan. Kelak bila suratkabar bersangkutan ingin memakai lagi foto tersebut, ia harus membayar lagi tapi dengan tarif lebih rendah. Makin lama makin rendah.
Ironisnya di Jakarta tarif rata-rata foto yang dibeli kantor berita asing, maupun suratkabar lokal, berkisar Rp 100 ribu per lembar (termasuk negatif foto). Padahal kantor berita asing yang sama, di luar Indonesia membayar selembar foto setidaknya $35.
“Indonesia kayaknya yang paling parah,” kata Jufri.
Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara mengatakan, “Banyak juragan koran (Indonesia) menganggap fotografer sebagai second citizen sementara fotografernya juga tak menyiapkan diri sebagai wartawan foto tapi tukang foto.”
Pada Maret 2001 Kemal Jufri menjadikan mimpinya itu Dina Purita Antonio, pacar-merangkap-partner kerjanya, dengan mendirikan agen foto Imaji. Mereka menyewa sebuah rumah kontrakan di daerah Menteng, Jakarta, yang dipakai bersama organisasi lain. Mereka pakai satu ruangan di mana foto-foto Jufri dibuat katalognya, diberi tanggal, keterangan dan sebagainya.
“Ini sebenarnya pindah kerja saja dari apartemen kami ke kantor,” kata Antonio, seorang produser film, yang kini membantu manajemen Imaji. Ia mengatakan pekerjaan buat Jufri terkadang mengalir bertubi-tubi. Terkadang mereka harus menolak karena Jufri sedang mengerjakan pemotretan lain. Ketika Jufri menawari temannya, pihak klien biasanya ragu-ragu. Kalau ada kantor, setidaknya nama kantor itu bisa dijual.
“Saya akan pilih fotografer lokal yang bagus, freelance. Saya akan ajak dia jadi associates. Kita coba market foto-foto kita sendiri,” kata Jufri, mantap.
YUDHI Soerjoatmodjo baru memimpin Galeri Foto Jurnalistik Antara pada 1994 ketika seorang pemuda tanggung, berkulit bersih dengan kumis tipis, datang menemuinya dan bilang tertarik belajar fotografi. Si pemuda lulusan sekolah menengah di Hawaii, Amerika Serikat. Bahasa Inggrisnya lancar. Pemuda itu menyatakan ingin ikut sanggar kerja selama lima atau enam bulan yang diadakan oleh Soerjoatmodjo.
Soerjoatmodjo melihat pemuda itu berbakat walau belum pernah pegang kamera. Ternyata Kemal Jufri jatuh cinta pada fotografi. Di sinilah Jufri, si pemuda itu, belajar memotret, mengenal angle, mengamati obyek, dan memindahkan drama kehidupan ke atas kertas.
Seusai sanggar kerja, Oscar Motuloh, waktu itu redaktur foto kantor berita Antara, mengajak Jufri magang di Antara. Motuloh menyuruh Jufri memotret melulu hanya dengan kamera sederhana, lensa tunggal, hitam putih dan tanpa lampu.
Tetapi Motuloh selalu mengajaknya diskusi. Mana yang kurang, mana yang bagus. Perlahan-lahan foto Jufri ada yang dipakai oleh Antara. Ini pelajaran yang sangat berharga buat Jufri. Motuloh senang karena Jufri masih muda, bakatnya besar dan menunjukkan kemajuan cepat.
Jufri pun mulai bekerja freelance, memotret buat majalah Asiaweek, Media Indonesia Minggu, Agence France Presse dan sebagainya. Niatnya untuk kuliah tak kesampaian karena ia tak pernah sepi pekerjaan. AFP yang berkantor di daerah Menteng bahkan mengontraknya untuk memotret selama dua tahun. Jufri bahkan sempat tiga bulan jadi penanggungjawab foto di kantor berita ini.
Ia bersama seorang fotografer Indonesia juga sempat diminta oleh Sebastiao Salgado, fotografer legendaris dari Brazil, untuk menjadi asisten Salgado ketika Salgado sedang berada di Indonesia, memotret untuk bahan bukunya Migrations: Humanity in Transition.
Jufri mengamati bagaimana Salgado mengambil gambar demi gambar. Salgado adalah seorang Marxis asal Brazil. Ia belajar ekonomi di Prancis tapi memutuskan pindah jalur. Buku Salgado sebelumnya Workers: An Archeology of the Industrial Age memenangkan banyak penghargaan karena kemampuan Salgado selama 15 tahun mendokumentasikan berbagai wajah pekerja di banyak negara. Ada gambar buruh baja di Prancis dan Ukraina, pemetik teh di Rwanda, kuli dam di India, buruk pabrik di Rusia, penambang belerang di Indonesia.
Karena rasa ingin tahu, selama membantu Salgado, Jufri sempat tanya berapa upah harian Salgado?
Fotografer senior ini mengatakan di dunia sekarang ada tiga fotografer yang menentukan sendiri day rate mereka: Mary Ellen Mark, Richard Avedon dan dirinya. Ketiganya menentukan upah harian $60.000 buat kerja jurnalisme. Jufri terbelalak!
PADA 13 Mei 1998, sehari setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak mati, Jufri berada di depan kampus Trisakti di kawasan Grogol, Jakarta. Banyak orang marah terhadap pembunuhan itu. Kemarahan tak terkendali, massa mulai merusak, membakar mobil, dan mendekati sebuah pompa bensin. Jufri ada di tengah-tengah mereka.
Dari arah yang berbeda ada polisi. Mereka melepaskan tembakan peringatan dan massa berlarian. Jufri ikut lari sambil memotret. Tiba-tiba … tek … terasa panas di punggung. “Kayaknya ditimpa batu yang keras banget. Kayak sesuatu nusuk, nyelekit, panas,” kata Jufri.
“Nih kayaknya ketembak.”
Jufri minta seorang teman memeriksa.
“Wah berdarah!”
Orang-orang yang marah itu berhenti, mengelilingi Jufri dan ribut, “Wartawan ketembak! Wartawan ketembak!”
Jufri menenangkan mereka, minta agar jangan dibesar-besarkan.
Ternyata pelurunya karet sehingga tak tembus. Hanya ada luka agak dalam di punggung. Jufri merasa punggungnya mati rasa. Mereka usul Jufri ke rumah sakit tapi ia menolak.
“Saya lagi dalam tugas dan kerusuhan masih akan berlangsung.”
Jufri istirahat sebentar. Seusainya Jufri pun memotret lagi dan kembali ke kantor AFP dan mengirim foto. Petangnya ia pergi ke sebuah klinik, lukanya dibersihkan dan dokter memberinya obat infeksi.
Saat itu redaktur foto AFP di biro regional Hongkong adalah Johanna Sherry. Ia sering berhubungan dengan Jufri. Ketika Sherry pindah ke majalah Time, Jufri juga sering dimintanya memotret buat Time.
“Saya kira Kemal adalah salah satu wartawan foto Indonesia yang terbaik, dia selalu menghasilkan foto-foto yang solid bila sedang ditugaskan oleh Time,” kata Johanna Sherry. Jufri tak pernah mengecewakannya. Jufri selalu bekerja keras, selalu menghasilkan yang terbaik.
Pada suatu petang bulan November 1998, Jufri pergi ke Semanggi, Jakarta, dan berada di antara dua kelompok besar yang sedang berhadap-hadapan. Di satu sisi adalah pasukan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) sedang di sisi satunya para mahasiswa yang menuntut pemerintahan Presiden B.J. Habibie diganti.
Ketegangan memuncak. Jufri memperhatikan senjata di tangan tentara dikokang. Tiba-tiba para prajurit Kostrad mulai menembak mahasiswa. Ia memperhatikan seorang prajurit Kostrad menembaki mahasiswa dari sebuah panser dengan marah.
Ia mendekati prajurit itu dan memotretnya. Jepretan yang luar biasa! Jepretan yang memindahkan drama Semanggi ke lembaran foto. Tentara satunya cepat-cepat menggamit si pemarah dan memberitahu kalau ia sedang dipotret. Jufri dipelototi tapi Jufri cepat-cepat menyingkir.
Saat pemilihan umum pertama pasca-Soeharto, Jufri pernah terjepit di antara polisi dan demonstran Partai Rakyat Demokratik depan kantor Komisi Pemilihan Umum. Tiba-tiba polisi menembak. Kamera Jufri terkena peluru nyasar sehingga ujung lensanya hancur. Kalau saja peluru itu meleset satu sentimeter, bokong Jufri yang tertembus peluru.
Tapi pemuda tanggung itu sudah berubah jadi wartawan foto kelas internasional. Jufri terus mengambil foto. Ia selalu mau yang paling depan, yang paling dekat bahaya. Hasil jepretannya memenangkan banyak pujian. Sebuah organisasi di Amerika Serikat bahkan menghadiahnya penghargaan “The Picture of the Year” karena sebuah fotonya dimuat oleh majalah US News & the World.
“Saya merasa bangga. Dia mungkin yang paling bikin saya bangga. Dia murid pertama saya,” kata Soerjoatmodjo, kini bekerja di lembaga grafis “i see” di Jakarta.
Wayne Arnold dari The New York Times juga memuji Jufri. Arnold adalah reporter ekonomi dan Jufri beberapa kerja memotret buat menyambung laporan Arnold. Memotret buat halaman ekonomi lebih sulit karena foto itu harus mampu menerangkan konsep ekonomi dalam garapan. “Tapi Kemal mampu menyesuaikan matanya untuk melihat komposisi yang peka dan cocok dengan topik tersebut.”
Kelebihan Jufri lainnya, menurut beberapa wartawan, adalah kemampuannya untuk mengambil foto buat kulit depan majalah. “Di kepalanya sudah terbentuk untuk cover majalah. Pemasaran pun sudah ada di kepalanya,” kata Motuloh.
Tapi terkadang Jufri tak mendapatkan kehormatan kulit depan. Pada Februari 2001, Jufri dikirim Sherry dari Time pergi ke Sampit, di jantung Kalimantan, di mana orang-orang Dayak bersengketa melawan orang Madura. Ada ratusan orang Madura dibunuh.
Time justru memakai foto Associated Press ketimbang Jufri. Foto itu memperlihatkan dua tubuh Madura tanpa kepala dan seorang Dayak memegang tombak. “Salah satu redaktur saya ingin ngotot ingin memperlihatkan horor Sampit dan AP punya gambarnya,” kata Sherry.
Jufri sempat repot menerangkan hal ini pada teman-temannya di Jakarta, seakan-akan ia kalah dari Charles Dharapak dari Associated Press. Bagaimana Jufri yang justru dibayar oleh Time tapi foto kulit depan justru milik Dharapak?
Yudhi Soerjoatmodjo menganggap baik jepretan Jufri maupun Dharapak, sebenarnya tak istimewa. Sampit menawarkan momen yang luar biasa. Yang perlu dipuji dari kedua fotografer muda itu, satu orang Indonesia dan satunya orang Thai-Amerika, adalah keberanian mereka menempuh risiko.
Sherry dalam emailnya kepada saya mengatakan ia puas dengan penugasan itu. Dalam bisnis majalah biasa terjadi foto diambil dari kantor berita. Jepretan Jufri ada yang kuat dan dipakai di majalah Time. Serangkaian foto Jufri tentang Sampit juga diletakkan sebagai esei di situs web Time.
PADA 1974 suhu politik di Indonesia cukup tegang karena munculnya demonstrasi-demonstrasi antimodal asing. Dalam suasana macam itulah seorang wartawan majalah Tempo, Fikri Jufri menyaksikan kelahiran putra pertamanya. Fikri menamai bayi laki-laki itu Kemal.
Kemal adalah anak kedua. Kemal punya seorang kakak dan adik perempuan. Mereka dibesarkan dalam tradisi keluarga Arab-Indonesia.
Bicara soal Kemal Jufri tak lengkap bila tak menyinggung Fikri Jufri. Soalnya, Fikri adalah salah satu nama terkenal dalam dunia jurnalisme Indonesia. Selentingan sering terdengar bahwa sukses Kemal terjadi karena Fikri.
“Oh itu kan anaknya Fikri.”
“Mal, kameranya ini-ini aja? Minta sama babe lu!”
Fikri adalah salah seorang pendiri Tempo. Ia juga dikenal sebagai wartawan ekonomi yang bagus. Fikri pernah bikin reportase soal korupsi perusahaan minyak Pertamina. Ia pernah mewawancarai Liem Sioe Liong, pengusaha kelas kakap dari Salim Group, yang terkenal suka menghindari publikasi.
Tempo jadi majalah yang secara ekonomis menguntungkan bahkan beranak pinak melahirkan Jawa Pos News Network, sebuah kelompok media dengan lebih dari 100 perusahaan, yang berpusat di Surabaya. Fikri adalah pemegang saham minoritas baik Tempo maupun Jawa Pos. Kantongnya cukup tebal.
Tapi Fikri juga dikenal sebagai seorang selebritas. Kehadirannya diharapkan di berbagai acara. Fikri tertawa, Fikri bergurau, dan Fikri punya banyak teman. Dia juga moderator ulung, pandai melontarkan humor, membuat acara seminar serius mudah dicerna segar.
Ketika Kemal duduk di bangku sekolah menengah, ibunya Anisa, meninggal dunia karena penyakit pernafassan. Ada kesedihan yang sangat mendalam pada keluarga Jufri. Fikri mengatakan pada saya bahwa Kemal sangat terpukul karena kematian ibunya.
Fikri otomatis jadi single parent, jadi ayah maupun ibu bagi Amira, Kemal dan Karima. Fikri mengurangi urusannya di Tempo.
“Saya bukan ayah yang minta anak ini atau itu. Tapi siap kalau diminta bantuan,” kata Fikri, seraya menambahkan kalau biaya untuk belajar, apapun dilakukannya.
Kemal dikirimnya ke Hawaii untuk sekolah menengah. Amira dikirimnya ke Australia. Fikri juga jadi ketua asosiasi orang tua murid di sekolah Amira di Al Azhar Jakarta.
Kemal mengatakan ayahnya banyak membantu. “Tapi dia nggak gampang ngasih duit ke anak.”
Kemal sering mencicil buat beli peralatan. Fikri ingin mendidik Kemal dengan benar. Fikri tidak pelit tapi juga tahu batas. Ketika Kemal mulai belajar memotret, Fikri menyediakan waktu mengantar Kemal ke lokasi-lokasi pemotretan.
“Kalau nggak butuh-butuh banget saya nggak akan datang ke dia,” kata Kemal.
Hubungan anak laki-laki dengan ayahnya terkadang rumit. Apalagi bila keduanya berada dalam satu lapangan yang sama. Kemal dan Fikri sama-sama wartawan. Bedanya Fikri wartawan tulis sedang Kemal wartawan foto.
“Kalau ada bahaya gua sembunyi, kalau dia justru lari mendekati bahaya,” kata Fikri.
Ini sering bikin Fikri khawatir. Tidak sekali dua Fikri harus berdebar-debar memikirkan Kemal. Terkadang Fikri sampai tak mau mendengarkan cerita saksi mata karena bikin hatinya kecut.
Jufri senior berpendapat layaknya semua orang tua, ia ingin semua anaknya maju, bahkan lebih baik dari orang tua mereka. Kemal sudah memilih jalannya dan Fikri berharap Kemal bisa mempunyai kehidupan ekonomi yang baik. Dia mengatakan bangga terhadap Kemal.
Warren Caragata dari Asiaweek memberitahu saya suatu hari dia ketemu Fikri, “Ketika tahu saya dari Asiaweek, Fikri cerita soal anaknya yang juga kerja di Asiaweek. Dari pembicaraan itu, jelas sekali bahwa ayahnya Kemal ini sangat bangga dengan anaknya.”
Sebaliknya Kemal juga sering khawatir terhadap kesehatan dan gaya hidup ayahnya. Sejak ditinggal Anisa, sebagai bujangan, harap maklum, kalau kurang ada yang menjaga Fikri. Seiring meningkatnya usia Kemal, ia sekarang yang gantian merasa khawatir dengan gaya hidup hura-hura dan kesehatan Fikri.
Kemal berpendapat sebagai wartawan foto semua jaringan yang dibangunnya dibuatnya sendiri tanpa bantuan si ayah.
“Dia jadi sendiri,” kata Fikri. Kalau ada masukan buat anaknya, Fikri usul manajemen Imaji diatur oleh orang yang mengerti. Ia juga ingin anaknya kuliah, mungkin lewat sekolah jarak jauh.
“Saya tak tahu latar belakang Kemal ketika ia mulai bekerja buat kami. Kemal menunjukkan bakat besar sejak awal. Dalam dua atau tiga tahun ini, dia bahkan berkembang jadi seorang fotografer jempolan dengan standar internasional,” kata Johanna Sherry dari Time.
“Sekarang dalam posisi ini, dia sudah melebihi bapaknya pada usia yang sama,” kata Motuloh.
Soerjoatmodjo berpendapat Jufri belum menunjukkan kematangannya sebagai individu. Teknik sudah beres. “Banyak hal yang mesti dia lakukan untuk personality, relationship. Itu perlu untuk bekerja.”