Institut Studi Arus Informasi (ISAI) akan menyelenggarakan kursus menulis atau pengenalan jurnalisme kesastraan selama satu minggu bagi para editor atau wartawan, dan penulis suratkabar Indonesia yang berminat mengikutinya.
Saat ini kemampuan menulis dengan baik, memikat, panjang, dan akurat, makin diperlukan suratkabar. Apalagi televisi, dotcom, dan radio makin baik dan makin cepat dalam menurunkan berita. Media cetak bakal menemukan kekuatan baru pada jurnalisme kesastraan.
INSTRUKTUR Goenawan Mohamad (Tempo), Aristides Katoppo (Pustaka Sinar Harapan), Janet Steele (dosen Universitas George Washington University), Andreas Harsono (Pantau).
TUJUAN melatih wartawan untuk memahami jurnalisme kesastraan serta metode bertutur dalam membuat reportase mereka lewat bacaan, diskusi bersama, dan latihan menulis dalam kursus ini.
TANGGAL Senin 28 Mei – Jumat 1 Juni 2001
BACAAN
1. The Art of Fact: A Historical Anthology of Literary Journalism diedit oleh Kevin Kerrane dan Ben Yagoda
2. Literary Journalism: A New Collection of the Best American Nonfiction diedit oleh Norman Sims dan Mark Kramer
3. Hiroshima oleh John Hersey
4. Sebongkah Emas di Kaki Pelangi oleh Bondan Winarno
5. How Do You Like It Gentlemen? oleh Lillian Ross
6. Black Hawk Down: A Story of Modern War oleh Mark Bowden
7. Jalan Lain ke Surga oleh Goenawan Mohamad
8. Teater Amerika: Ada Iklan dan … oleh Syu'bah Asa
9. Rendra, Dimanakah Kau Saudaraku? oleh Goenawan Mohamad
10. What Young Men Do oleh Richard Llyod Parry
PARTISIPASI Kursus ini dibuat dengan mengambil ide dari matakuliah "The Journalist as Storyteller: Literary Journalism and Other Borderlands" yang diajar oleh Prof. Janet Steele dan dosen tamu dari Indonesia, Aristides Katoppo di Universitas George Washington, Washington DC. Matakuliah itu menarik perhatian Goenawan Mohamad yang mengusulkannya agar Institut Studi Arus Informasi menyelenggarakannya.
Mereka yang bisa mengikuti kursus ini adalah wartawan yang biasa menulis panjang, dan ingin meningkatkan kemampuannya. Setidaknya sudah bekerja lima tahun. Kemampuan menulis seorang wartawan Indonesia bakal diperluas bila mereka memahami apa yang disebut sebagai jurnalisme kesastraan atau narrative report dalam pemahaman yang berkembang di Amerika Serikat.
Kemampuan berbahasa Inggris dibutuhkan dalam kursus ini diperlukan setidaknya untuk membaca bahan bacaan berbahasa Inggris. Steele bisa berbahasa Indonesia dan bakal membawakan kuliahnya dalam bahasa Inggris campur Indonesia.
Para peserta bakal diminta membentuk kelompok kecil untuk membaca dan mempresentasikan hasil bacaan mereka. Kehadiran peserta juga diharapkan dalam setiap sesi kursus ini. Total ada 10 sesi di mana keempat instuktur bakal mendapatkan tanggungjawab masing-masing. Para peserta juga diminta mempersiapkan sebuah karangan, setidaknya kerangka karangan, untuk didiskusikan bersama peserta lain dalam kelas kecil.
Kursus ini diadakan untuk maksimal 20 dan minimal 12 orang. Apabila jumlah peserta yang mendaftar kurang dari 12, kursus tak akan diselenggarakan dan uang yang sudah disetorkan peserta bakal dikembalikan. Apabila mereka yang berminat melebihi 20 orang, panitia bakal melakukan seleksi berdasarkan pada kesiapan peserta. Mereka yang hadir minimal delapan dari total 10 sesi bakal mendapatkan sertifikat dari Institut Studi Arus Informasi.
Setiap sesi berlangsung selama dua jam dan setiap hari ada dua sesi yang disela oleh makan siang di Kedai Tempo (disediakan penyelenggara). Para peserta yang datang dari luar Jakarta bisa meminta bantuan penyelenggara untuk mendapatkan hotel yang relatif dekat dengan kantor Institut Studi Arus Informasi di mana kursus diselenggarakan.
BIAYA Rp 2,5 juta per orang
PENDAFTARAN
Institut Studi Arus Informasi
Jalan Utan Kayu 68-H
Jakarta 13120
Nong Darol Mahmada 021-8573388 ext. 143
Achmad Hirawan 021-8573388 ext. 131
JADWAL
SESI 1 Senin 28 Mei pukul 10:00-12:00 – Pembukaan: membicarakan silabus, pembagian kelas, perkenalan dan memulai diskusi tentang jurnalisme sastra (definisi jurnalisme kesastraan) [Janet Steele dan Andreas Harsono].
Bacaan: "Literary Journalism: Breakable Rules for Literary Journalists" oleh Mark Karmer; "The New Journalism" oleh Tom Wolfe; "The Girl of the Year" oleh Tom Wolfe.
SESI 2 Senin 28 Mei pukul 13:00-15:00 – Diskusi tentang "Hiroshima" yang ditulis untuk majalah The New Yorker oleh John Hersey pada Agustus 1946 [Janet Steele dan Andreas Harsono].
Bacaan: "Hiroshima" oleh John Hersey
Tugas untuk Selasa: Menulis sebuah narasi pendek yang menjelaskan sebuah adegan dengan menggunakan model dari "When Man Falls Down, a Crowd Gathers." Narasi ini akan dipresentasikan di depan kelas. Panjang maksimal 2 halaman.
SESI 3 Selasa 29 Mei pukul 10:00-12:00 – Diskusi tentang menulis konstruksi adegan demi adegan serta presentasi narasi pendek [Goenawan Mohamad].
Bacaan: "Jalan Lain ke Surga" oleh Goenawan Mohammad
SESI 4 Selasa 29 Mei pukul 13:00-15:00 – Diskusi tentang Black Hawk Down oleh Mark Bowden [Janet Steele dan Andreas Harsono].
Bacaan: Black Hawk Down oleh Mark Bowden (halaman akan ditentukan)
Tugas untuk Rabu: Rekamlah pembicaraan dengan seorang teman, anggota keluarga, atau seorang nara sumber, dengan tujuan bahan itu bisa dijadikan sebuah narasi (monolog). Buat transkripnya, lalu disunting sehingga enak dibaca. Topiknya bisa apa saja tapi yang bisa merangsang pembaca untuk terpikat dengan narasi itu. Modelnya "The Rivermen" oleh Joseph Mitchell. Bahan ini akan dipresentasikan di depan kelas.
SESI 5 Rabu 30 Mei pukul 10:00-12:00 - Diskusi tentang penggunaan dialog, dan presentasi narasi pendek [Janet Steele dan Andreas Harsono].
Bacaan: "The Rivermen" oleh Joseph Mitchell.
SESI 6 Rabu 30 Mei pukul 13:00-15:00 - Diskusi tentang "immersion reporting" dalam In Cold Blood karya oleh Truman Capote [diskusi dipimpin oleh Aristides Katoppo].
Bacaan: In Cold Blood oleh Truman Capote
Tugas untuk Kamis: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama ("saya") untuk menggambarkan sebuah adegan atau sebuah kejadian dengan menggunakan teknik Jurnalisme Baru. Gunakan model "The Armies of the Night" karya Norman Mailer sebagai contoh. Bahan ini akan dipresentasikan di depan kelas. Panjang maksimal 2 halaman.
SESI 7 Kamis 31 Mei pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang "finding a voice" dan presentasi narasi pendek [Janet Steele].
Bacaan: "The Armies of the Night" oleh Norman Mailer, "It's an Honor" oleh Jimmy Breslin.
SESI 8 Kamis 31 Mei pukul 13:00-15:00 – Jurnalisme Kesastraan dan majalahnya para penulis [Andreas Harsono].
Bacaan: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi oleh Bondan Winarno; What Young Men Do oleh Richard Lloyd Parry; "Teater Amerika: Ada Iklan dan..." oleh Syu'bah Asa
Sesi 9 Jumat 1 Juni pukul 10:00-11:30 – Jurnalisme Kesastraan dan esei pribadi (personal essay) [Janet Steele dan Andreas Harsono]
Bacaan: "Rendra, Dimanakah Kau Saudaraku?" oleh Goenawan Mohamad, "Slouching Towards Bethlehem" oleh Joan Didion, "How Do you Like it Gentlemen?" oleh Lillian Ross
SESI 10 Jumat 1 Juni pukul 14:00-16:00 -- Penutupan dan diskusi terakhir bersama Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Janet Steele, dan Andreas Harsono.
Monday, May 28, 2001
Tuesday, May 01, 2001
Pagar Api
DESAIN suratkabar selalu ada filsafatnya. Suratkabar misalnya, tak dianjurkan melulu berhalaman yang berisikan huruf. Ini membuat pembaca cepat bosan dan matanya lelah. Desain suratkabar juga memerlukan garis tipis untuk memisahkan iklan dan berita. Garis ini adalah lambang pagar api atau fire wall, yang mencerminkan prinsip antara berita dengan iklan harus tegas dipisahkan. Iklan adalah iklan. Berita adalah berita.
Cover Pantau oleh Wara Anindyah |
Bandingkan dengan Kompas, Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, The Jakarta Post, atau harian daerah macam Suara Merdeka (Semarang), Jawa Pos (Surabaya), dan Singgalang (Padang). Ternyata rombongan suratkabar ini tak memiliki garis lambang pagar api.
Bill Kovach, wartawan veteran harian The New York Times dan kurator The Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard, Amerika Serikat, mengatakan pagar api hukumnya wajib bagi setiap media massa. Setiap suratkabar seyogyanya mencetak garis tipis tersebut. "Tak perlu dipertanyakan lagi," kata Kovach.
Harold Ross, redaktur majalah The New Yorker, menganggap sedemikian sakral pagar api itu sampai-sampai ruang redaksi dan pemasarannya pun dipisahkan. Ruang redaksi di lantai yang berbeda dengan ruang iklan dan distribusi. Ross bahkan tak menganjurkan para wartawannya banyak bicara dengan orang pemasaran. Ia khawatir obrolan itu akan mempengaruhi cara pandang si wartawan.
Tak jelas mengapa suratkabar Indonesia tak biasa mencantumkan garis tipis itu. Mungkin ada redaktur yang berpendapat toh hanya lambang. Tidakkah lebih penting substansinya? Yang lain berpendapat hanya menambah pekerjaan, ongkos produksi, dan makan waktu. Mungkin juga alasan sejarah. Suratkabar Indonesia lebih merupakan alat perjuangan melawan kekuasaan ketimbang medium berita yang dikelola dengan profesional.
Kini zaman berubah. Wartawan sekarang bisa bekerja lebih bebas, tanpa takut sensor atau bredel. Keleluasaan itu seyogyanya ditanggapi pula dengan cara kerja yang lebih baik, lebih etis, dan lebih disiplin dalam memisahkan berita dan iklan. Apalagi tekanan pasar makin meningkat. Kompetisi berebut kue iklan juga makin ketat. Persaingan ini seringkali membuat para redaktur lupa bahwa berita mereka bukan "berita pesanan" terutama karena dana atau kompensasi apapun dari pemesan.
Suratkabar Indonesia makin hari makin memperlihatkan campurnya berita dan iklan. Ada harian terkemuka Jakarta yang menciptakan rubrik foto upacara, kegiatan hotel, kegiatan sosial, pameran, peresmian ini dan itu, setiap Rabu dan Minggu dengan penampilan berita. Padahal rubrik ini sepenuhnya iklan. Ada juga mingguan terkemuka yang beberapa minggu lalu menurunkan berita perjalanan dengan kapal mewah, saat si wartawan sepenuhnya disponsori si empunya bisnis pariwisata, dan laporannya muncul sebagai berita. Lengkap dengan foto-foto yang disediakan pihak sponsor.
Untuk majalah perempuan jangan ditanya, dari iklan minyak wangi hingga mode pakaian, banyak yang dibiayai industri kecantikan. Kini advertorial tidak pernah dipermasalahkan lagi. Makin banyak suratkabar Indonesia yang membuat advertorial dengan wajah sama dengan berita. Advertorial, sekadar mengingatkan, adalah gabungan dua kata: advertisement dan editorial.
Pagar api mengingatkan bahwa orang advertisement tak boleh ikut campur urusan editorial. Sebaliknya redaktur dan wartawan juga tak usah ikut campur urusan iklan. Pagar ini sebenarnya memudahkan kerja jurnalisme. Bagian iklan tak direpoti kerewelan wartawan. Sementara para wartawan juga tahu bahwa ia benar-benar menulis berita.
Apa risiko pelanggaran pagar api? Jawabnya bisa bermacam-macam, dari yang sederhana hingga yang serius. Yang jelas kepercayaan pembaca terhadap suratkabar bersangkutan bakal digerogoti. Mungkin pelan, mungkin cepat.
Paralel dengan dilanggarnya pagar api adalah dilanggarnya pemisahan peranan masing-masing golongan dalam masyarakat. Kalau meminjam ajaran Hindu, seorang birokrat dianjurkan tak berdagang. Seorang pedagang sebaliknya tak usah sok intelektual. Tentara jangan ikut mengatur perdagangan. Kalau batas-batas itu dilanggar, etika masyarakat compang-camping. Buktinya ya rezim Orde Baru. Tentara kok merangkap pedagang! Sistem sosial, politik, dan ekonomi Indonesia terbukti rapuh ketika dihantam krisis ekonomi 1997-1998.
Kini, Indonesia menghadapi macam-macam persoalan yang tak mudah dicarikan jalan keluarnya. Mulai dari sistem perbankan yang keropos hingga utang luar negeri yang bertumpuk. Mulai separatisme hingga pertikaian antaragama, suku, hingga ideologi. Di Aceh, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Isu keadilan, baik dan jahat, dosa masa lalu, harapan masa depan, semua ibarat ombak lautan, datang menerpa, tiap saat memenuhi halaman-halaman koran Indonesia.
Justru dalam situasi sulit macam inilah, media diuji untuk menunjukkan kemampuan menyediakan informasi yang akurat, jujur, dan fair kepada para pembaca. Media yang baik bakal membantu pembacanya mengambil keputusan yang tepat dalam situasi sulit. Dan suratkabar terbukti kebesarannya ketika mampu melalui masa-masa sulit di tengah para pembacanya. Mereka melewatinya dengan anggun, jujur, dan menghormati prinsip pagar api.
Kami berpendapat sudah saatnya suratkabar Indonesia menorehkan garis tipis lambang pagar api. Pagar api ini akan mengingatkan pembaca bahwa suratkabar mereka bukan berisi "berita pesanan." Wartawan tiap hari juga diingatkan mereka tak boleh menulis berita pesanan. Pagar api inilah salah satu cerminan filsafat dasar jurnalisme.
* Karya Andreas Harsono namun dimuat anonim dalam Editorial majalah Pantau, Mei 2001