Mengapa kita di Indonesia tidak punya media di mana kita bisa menulis secara panjang? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tidak berkembang dalam dunia media, sastra, seni dan intelektual Indonesia? Atau dengan kalimat perbandingan. Mengapa kita tidak punya majalah semacam The New Yorker? Atlantic Monthly? Harper's?
Pertanyaan ini mengganggu saya sejak semester lalu ketika mengikuti kuliah "non-fiction writing" di Harvard. Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah TIME, Newsweek dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Forum, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, Washington Post, kita juga punya harian sejenis.
Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?
Istilah jurnalisme sastrawi adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Tom Wolfe pada 1960-an memperkenalkannya dengan nama "jurnalisme baru." Ada juga yang memakai nama "narrative reporting". Ada juga yang pakai nama "passionate journalism."
Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai "in-depth reporting." Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut.
Tulisannya biasanya panjang. The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan satu laporan hanya dalam satu edisi majalah. Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan.
Saya jadi makin penasaran karena bulan ini The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75 secara besar-besaran. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan yang dihadapinya. New York bulan depan akan "dikuasai" New Yorker. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini. Remnick sejak dua tahun lalu menjadi pemimpin redaksi The New Yorker, menggantikan Tina Brown yang hengkang dan mendirikan majalah Talk.
Di Indonesia tentu ada penulis yang punya kegemaran menulis panjang dan bergaya jurnalisme baru. Saya menikmati sekali buku Bondan Winarno, "Sebongkah Emas di Kaki Pelangi" atau artikel-artikel George J. Aditjondro.
Tapi di kalangan penulis yang muda, siapa yang suka menulis lebih dari 20,000 kata? Mereka tumbuh hanya dengan batas 1,000 atau 2,000 kata. Saya pikir gaya begini tidak akan berkembang bila di Indonesia tidak ada media yang menjadi wadah buat perkembangan para penulis muda dengan gaya jurnalisme baru.
Saya bayangkan pada 1940-an hingga 1960-an di Indonesia sebenarnya ada media kecil-kecil yang memberikan kesempatan kepada para kontributornya buat menulis panjang. Mungkin majalah "Sastra" bisa kita masukkan ke dalamnya. Juga majalah "Horizon" bahkan majalah "Senang" yang dulu suka saya baca cerpen-cerpennya. Sekarang pun kita masih memiliki majalah KALAM dan majalah "Basis" (Yogyakarta).
Tapi ukuran mereka sangat kecil dan belakangan justru lebih menjadi majalah pemikiran daripada majalah sastra yang bisa dinikmati orang (relatif) banyak.
Apakah mereka tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena jamannya Orde Baru belum memungkinkan buat gaya begitu? Saya tidak tahu jawabnya secara persis.
Pengamatan saya mungkin keliru. Karena itu memanfaatkan mailing list ini untuk melontarkannya ke hadapan publik yang lebih luas. Saya tahu bahwa di mailing list ini ada banyak akademisi, wartawan dan kalangan terdidik lainnya. Saya ingin menimba dari pemikiran dan pengalaman Anda.
Mon, 13 Mar 2000 18:19:02 mfi@egroups.com
Andreas Harsono aharsono@fas.harvard.edu
20 comments:
Date: Mon, 13 Mar 2000
To: mfi@egroups.com
From: "Fadjar I. Thufail" fithufail@students.wisc.edu
Bung Andreas,
Saya dan Bung Nirwan Dewanto (semasa beliau masih di Madison) pernah terlibat percakapan panjang soal tak adanya tempat bagi the so-called "professional writers" untuk menyalurkan karya-karyanya. Intinya, ada
kecanggungan bagi para writers (penulis) ini untuk bertutur dalam wadah media yang ada selama ini. Mau nulis di koran, tampaknya mereka tak terlalu tertarik dengan gaya naratif ala literary journalism semacam itu, mungkin tak terlalu bombastis, tak "ilmiah" (saya berpendapat bahwa gaya narasi kolom-kolom di surat kabar kita masih satu genre dengan tulisan akademis), ataupun tak akurat. Mau nulis di journal, canggung, karena tak pakai quotations.... Jadi itulah, maju kena (ditolak), mundur kena (nggak publish).. jadinya, lingkaran setan...
Saya ingat, Nirwan pernah mengeluh kalau Kalam sebenarnya "dipaksakan" untuk menjadi jurnal akademis. Padahal, inginnya Kalam bisa tampil seperti Granta, Grand Street, mungkin Raritan, yaitu tempat untuk bertutur, bercerita, tanpa harus dibebani oleh segala macam "requirements" sebuah tulisan "ilmiah"...
Sebenarnya, concern Anda itu bisa dibalik pertanyaannya. Apakah majalah, koran, atau reading public kita mau menerima genre tulisan ala New Yorker, Harpers, Granta, dsbnya itu.. Ini lepas dari situasi ideal adanya
majalah-majalah semacam itu di Indo... Tapi justru sejauh mana media yang sudah ada di Indo sekarang ini membuka kemungkinan untuk jenis-jenis writing genre semacam itu... Sebuah writing genre yang membuka kemungkinan eksploratif style penulisan tanpa harus terjebak pada "hard facts" semata-mata...
Menurut saya, kuncinya justru terletak pada Anda, atau kawan-kawan di sektor media, untuk mulai bereksperimen dengan segala macam kemungkinan genre penulisan. Saya yakin, sekali ada yang mulai, pasti nantinya kita paling nggak punya satu majalah semacam itu...
Salam,
Fadjar
From: "elsim"
To: indowatch@egroups.com
Date: Tue, 14 Mar 2000 10:01:23 +0700
Saya ingin urun pendapat dengan 'Jurnalisme Sastra'
Meski saya termasuk orang yang sangat awam untuk 'urusan yang satu ini' namun tiada salahnya saya ikutan, mudah-mudahan bisa berguna, setidaknya untuk saya sendiri.
Saya tidak tahu persis definisi Jurnalisme Sastra itu. Apakah itu gaya jurnalistik yang 'mendayu-dayu' atau sebaliknya, karya sastra yang mengandung unsur jurnalisme (seperti cerpen-cerpen yang ada di Kompas)?
Bagi saya --sebagai pembaca awam--, kedua-duanya sudah mulai membosankan. (Membosankan tidak berarti buruk kan?) Gaya jurnalisme para jurnalis kita sudah terlalu ke-Tempo-tempoan. Begitu pula dengan cerpen yang sudah ke-Kompas-kompasan (setidaknya, sudah banyak para penulis cerpen di Kompas yang 'merasuki' para penulis cerpen --di media-- lain yang meniru gaya itu). Hegemoni ini di Kompas terasa sekali, penulis-penulis pemula terjepit diantara siklus pemuatan karya-karya penulis senior seperti Bre Redana, AA
Navis, Seno dll yang pada akhirnya, karya penulis pemula itu malah mengarah pada peniruan pada penulis-penulis yang karyanya sering dimuat. Apakah ini bukan penjajahan pola pikir dan kreatifitas?
Mungkin saya keliru karena saya terlalu awam, tapi dari deretan daftar cerpen Kompas yang saya buat, hegemoni itu terasa sekali.
Kembali ke Jurnalisme Sastra, adakah definisi yang lebih spesifik?
Alip Kunandar
eLSIM Makassar
Date: Mon, 13 Mar 2000
To: mfi@egroups.com
From: wicaksono sarosa wicak@uclink.berkeley.edu
Nimbrung dikit ya:
Saya duga salah satu sebabnya adalah "UUD" (ujung-ujungnya duit)...artinya belum ada orang atau lembaga yang punya modal yang mau membiayai penerbitan untuk tulisan-tulisan semacam ini. Entah karena tidak yakin akan "daya-jual"nya atau karena alasan lain. Kalau yang punya "semangat-juang" untuk menerbitkan dan mengelola saya yakin cukup banyak, demikian pula untuk mendapatkan penulisnya.
Yang saya perhatikan terjadi di beberapa media di USA, dan mungkin bisa diterapkan di Indonesia, adalah "mencantolkan" ke media yang sudah laku di pasar, disubsidi oleh media itu dan dijadikan selipan.
Alternatif lain, mungkin melalui jalur elektronik seperti yang sekarang banyak (tapi untuk Indonesia mungkin readership-nya tidak bisa seluas kalau diterbitkan secara konvensional--pakai kertas).
Sekedar nimbrung.
Salam,
Wicak Sarosa
UC-Berkeley
Date: Tue, 14 Mar 2000
To: mfi@egroups.com
From: BIRANUL ANAS anas@uclink.berkeley.edu
Bung Andreas yang baik,
Saya punya masalah dan pertanyaan yang sama, tetapi karena saya bergerak di bidang senirupa maka disana sini mungkin akan agak berbeda dengan konteks Anda. Oleh sebab itu maafkan sebelumnya kalau nantinya pengutaraan saya ini tidak mengenai sasaran yg. Anda inginkan; atau dari yg. saya kemukakan ini mungkin bisa Anda tarik hal2 yg. sesuai dengan masalah Anda (kalau tidak salah dibidang jurnalistik yg sastra/sastra yg jurnalistik?).
Majalah atau wahana yang serius dalam pemberitaan ttg Seni Rupa (SR) di Indonesia merupakan perkara yang rumit, artinya tidak sederhana, bahkan berbentuk lingkaran setan karena berbagai sebab yg berlapis, beruntun dan saling berkait. Pertama, mungkin, pengertian dasar tentang SR yg belum merata karena kurangnya lembaga2 pendidikan dibidang ini disegala strata, khususnya strata2 yg mengenalkan SR secara umum/dasar, di SD/SLTP atau SLTA misalnya, atau kurangnya 'siaran' ttg bidang ini baik kuantitatif dan
kualitatif sampai kepelosok nusantara; Mungkin juga karena jenis pemberitaan yg ada sementara ini (TV, koran dsb) kurang mengena dihati masyarakat umum (Anda menyebut soal jurnalisme sastra yg narrative yg bisa dipahami oleh orang banyak, ini saya artikan sbg, tulisan yg. walaupun amat serius dan dalam tetapi diungkapkan secara 'populer'). Mungkin substansinya tidak disukai krn misalnya hanya berurusan dg SR yg ada dikota2 besar atau SR yg memihak, atau spt Anda kemukakan terlalu bersifat "pemikiran", yg saya artikan sbg. terlalu "abstrak", kurang realistis, kurang dapat dicerna umum selain oleh penulisnya sendiri, semacam karya para 'late modernist' (yg. diserang dan ditentang oleh kaum postmodernist) yg hanya
dapat dinikmati oleh senimannya sendiri dsb.dsb. Ini al berdampak pada 'peminat' khususnya masyarakat pelanggan/pembeli/apresiator singkatnya konsumen karya2 tulis spt itu. Artinya konsumennya tidak ada atau kurang, habis siapa yg tertarik atau 'kuat' membaca sesuatu yg bakal tidak dapat dipahaminya? Pendek kata sektor konsumen sbg pendukung/basis utama produk tidak pernah eksis/ terbina dan agaknya belum tampak adanya upaya2 pembinaan kearah itu secara konsepsional dan tersistem. Kedua, karena tulisan dlm bentuk yg Anda maksudkan itu tidak terlepas dari manifestasinya secara fisik, yi benda cetak, maka konsekuensi logisnya adalah ongkos, berbagai ongkos yg. terkait dg cetak mencetak yg mengambil porsi yg cukup besar (mungkin terbesar) dari seluruh biaya penerbitan.
Akhirnya, bagaimanapun besar idealisme pihak yg mau terlibat urusan tulis menulis seperti ini ia akan kehabisan 'stamina'. Sponsor? Pengalaman saya dlm hal ini menunjukkan bhw di Indonesia sponsor umumnya tertarik pada hal2 yg spektakular, sensasional, kira2 yg banyak 'penontonnya', yg rame, bukan
pada jenis 2 kegiatan seperti yg Anda maksudkan, yg tidak' gegap gempita'.
Ini langsung berkait dg kepentingan bisnis/iklan ttg diri/produk sisponsor. Iklan'harus ada yg 'lihat' krn itulah dasar lahirnya iklan, meng'komunikasi-visual'kan pesan sponsor kepada manusia2 konsumen, harus menguntungkan, efisien dan lain2 istilah yg bergayut dg masalah bisnis serta kalkulasi rasional, tidak perduli apakah hal disponsorinya itu bermutu atau tidak. Contohnya, maaf sribu maaf pada sahabat2 atlet, (saya
tidak ada masalah dg kalian, saya sendiri giat di surfing), biar bagaimanapun babak belurnya OR Indonesia, apalagi bola kaki, selalu ada pihak yg mau mengongkosi arena kompetisi Liga Sepakbola kita yg walaupun
penuh dg nirprestasi dan skandal tetap saja ada yg mau menongkosi, sampai ratusan milyar, peduli krismon atau tidak, masuk akalnya suatu program atau tidak. Mengapa? Lihat saja kalau ada pertandingan bal, betapa penuhnya stadion, apalagi kalau persib masuk final (maaf saya tinggal di Bandung jadi rada2 'etnosentris'), ratusanribu penonton bakal ada di Gelora Senayan, belum terhitung yg duduk didepan TV.
Silakan bung Andreas analogikan dg hal2 lain yg juga spektakular, pasti ada saja yg mau mensponsorinya. SR juga pernah sedikit 'spektakuler' yakni waktu boom SR sekitar 1988 - 1997, banyak pihak yg tertarik untuk mensponsori pameran SR, tapi bidang tulis menulis tentang SR tetap sepi sponsor. Cekak aosna,
sektor produksi dan kebisnisan serta pihak2 yg terlibat dan terkait yg tidak tertarik, mungkin juga krn tidak memahami yg kembali mungkin juga berakar pada kurang terbinanya mereka dlm hal SR/budaya sewaktu duduk di bangku sekolah.
Ketiga, masalah yg tak kalah penting bahkan menurut saya paling penting, para SDMnya yi penulis, jajaran editor, peliput, pemotret, dsb,dsb. Saya yakin sekali bung Andreas amat tahu ttg squad minimal, baik dari segi jumlah maupun mutu, yg harus ada dibelakang meja agar penerbitan tidak sampai ibarat 'sekali berarti lalu mati'. Pertama, adakah, dalam jumlah yg memadai, SDM penulis seperti yg Anda maksudkan itu di Indonesia, yg memahami adanya strata atau genre dsb bidang tulis menulis naratif seperti itu, kemudian memahami betapa pentingnya genre itu, lalu menjadikannya sbg profesi, mencintainya? Ini belum bicara ttg aspek kesejahteraannya. Semuanya pernah saya alami sendiri ketika di th 1985 bersama sejawat2 di Bandung mau mendirikan majalah SR, namanya "Perspektif", al bersama dg alm Sanento Yuliman, AD Pirous dan Mahmud Buchari. Lalu di SR ITB beberapa th yg lalu. Semua berbenturan dg berbagai realitas diatas dan banyak lagi. Jurnal SR ITB terbit dua kali, tertatih2, lalu berhenti krn berbagai faktor internal maupun eksternal. Dana memang jadi kendala besar tetapi masalah yg tak kalah besar adalah menemukan kesepakatan ttg genre menulis yg ilmiah (dg segenap standarisasinya) sekaligus tinggi keterserapannya kedalam pasar. Setelah banyak berargumentasi akhirnya disepakati utk jalan saja dulu, urusan lainnya
bagaimana nanti.
Akhirnya jurnal SR sebagaimana sudah saya duga: berstandar ilmiah, minimal wajahnya yg dipenuhi dengan sumber2 kutipan, membacanya sebentar2 harus dihentikan krn terantuk angka2 superscript, tanda kurung
buka, tanda kurung tutup, dan tata/gaya bahasa yg tidak hangat bagi sebagian besar pembaca. Isinya pun ttg isu2 'mutakhir', global, dalam, dalam gaya 'scholar' yg akhirnya hanya dapat dipahami oleh sipenulis;
jurnal SR ibarat etalase mutu intelektualitas penulisnya saja tanpa perhitungan dipahami/tidaknya substansi tulisan oleh masyarakat (termasuk masyarakat ilmiah lainnya sekalipun). Kalaupun ada dana untuk
menerbitkannya ia hanya akan menjadi ajang mengumpulkan kum ketimbang menjalankan salah satu misi PT utk menyiarkan ilmu SR kedalam masyarakat.
Jadi singkatnya, masalah peranti lunak, SDM. Kembali kepersoalan masyarakat apresiator, sponsor dan bisnis: 'Captive market'nya atau 'penontonnya' paling2 adalah masyarakat dosen SR dan mahasiswa SR yg terkena wajib baca, jadi tidak banyak, kurang luas dan jelas tidak gampang termakan iklan sponsor. Artinya sponsor menemukan alasan tambahan utk tidak mendukungnya.
Persoalan tentu tidak hanya sebatas tiga hal tersebut dan saya bisa salah dan mungkin saja itu hanya berlaku untuk saya, tetapi itulah yg kenyataan yg pernah saya alami. Namun saya tetap berkeyakinan genre spt itu perlu sekali krn amat penting bagi pembudayaan masyarakat luas serta pemasyarakatan ilmu pengetahuan. Tetap besar pula adalah hasrat saya utk suatu ketika menerbitkan majalah, jurnal atau apapun namanya dlm genre spt itu, tetapi utk solusi thd berbagai kendala tersebut saya menunggu bantuan pemikiran Anda serta rekan2 mfi lainnya.
Sementara sekian dulu bung Andreas, sekalian berkenalan, saya di UC Berkeley, Dept of Anthropology utk
program senior researcher dalam masalah Art, Tourism, Modernism utk jangka waktu 6 bulan. Juga sorry utk banyaknya singkatan kata dan angka 2 dibelakang kata2 berulang yg menyalahi prinsip tulisan 'ilmiah', mudah2an
Anda tidak terganggu karenanya. Salam!
Biranul Anas
Date: Tue, 14 Mar 2000
To: indowatch@egroups.com
From: Andreas Harsono
Buat Alip Kunandar di Ujungpandang,
Saya ingin membuat definisi singkat apa yang disebut sebagai 'jurnalisme sastra' itu. Tapi sebelumnya, saya ingin menegaskan bahwa nama genre ini di Amerika Serikat ada macam-macam: jurnalisme baru, narrative reporting, intimate journalism dan sebagainya.
Namun ada satu hal yang sama: jurnalisme ini bukan karya fiksi.
Jurnalisme ini memuja pada reportase. Data-data diperoleh dari liputan di lapangan yang tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata.
Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar, liar dan makin liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca.
Struktur ini jadi berbeda dengan struktur feature (botol atau gitar atau gadis sexi) atau berita lugas (piramid terbalik).
Anda benar bahwa gaya jurnalisme kita sekarang hanya terbagi dua: ala Kompas atau ala Tempo. Memang keduanya, untuk jamannya, memelopori jurnalisme suratkabar dan berita mingguan di Indonesia. Tidak mengherankan bila gaya mereka itu pula yang ditiru oleh turunan-turuannya Kompas dan Tempo.
Mungkin turunan Tempo lebih jelas ya.
Anda menyebut nama A.A. Navis, Bre Redana dan sebagainya. Kesan saya, Anda menangkap genre ini sebagai karya non-fiksi. Kalau memang itu yang Anda tangkap, berarti saya kurang pandai menerangkan kepada mailing list ini. Jurnalisme baru itu bukan karya fiksi. Jurnalisme ini seratus persen non-fiksi. Ia nyata dan berdarah daging mirip Kompas dan Tempo.
Mudah-mudahan definisi ini membantu menjelaskan pertanyaan saya.
Andreas Harsono
Cambridge MA 02138
Date: Wed, 15 Mar 2000
To: indowatch@egroups.com
From: Samin ruhoro@cbn.net.id
Subject: [indowatch]
Andreas,
Sepertinya penjelasan Anda ini bukan penjelasan. Dalam pengamatan saya, jurnalisme di Indonesia itu penggolongannya bukan model Kompas atau model Tempo. Kompas itu ya nggak lebih dari model piramida terbalik (straight news biasa) sedangkan Tempo adalah lebih luwes dan fleksibel (feature news) sebagai saya lihat dari contoh-contoh mereka dalam buku panduan "Seandainya Saya Wartawan Tempo" yang merupakan adopsi dari buku panduan menulis features. Apa yang dikembangkan Kompas (beritanya) tak ada bedanya dengan berita ala LKBN Antara (yang usianya jauh lebih tua ketimbang Kompas yang lahir pada 1964), Media Indonesia atau Republika atau Suara Pembaruan. Juga dulu Indonesia Raya, Pedoman dll. Pokoknya ya straight news ala kantor berita biasa. Yang beda cuma angle dan pemilihan narasumbernya saja. Jadi Kompas menurut saya tak mewakili genre unik dalam tradisi jurnalistik di Indonesia. Lain dengan Tempo yang jelas memebawa warna news features Time.
>Namun ada satu hal yang sama: jurnalisme ini bukan karya fiksi.
Ingat kasus "Saksi Mata" Timtim karya Seno Gumira? Ada banyak yang bertanya, apakah ini fiksi atau non fiksi, apakah ini cerpen atau karya jurnalistik. Menurut saya ini adalah karya fiksi yang dibangun dari setumpuk laporan jurnalistik. Data-datanya adalah kenyataan riil di lapangan, namun karena dibumbui sensasi, dijadikan seolah-olah di negeri antah-barantah, diberi tambahan sejumlah metafora surealis, maka jadilah dia cerpen.
>Jurnalisme ini menyembah pada reportase. Data-data diperoleh dari liputan
>di lapangan yang tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam.
>Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga
>mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala
>kerumitannya ke dalam kata-kata.
Bukankah jurnalisme itu harus berinduk pada reportase yang kuat? Ini untuk membedakan antara laporan jurnalistik dengan tulisan opini (kolom). Lantas apa bedanya dengan in depth reporting atau investigasi yang ditulis dengan model features? Saya ingat saat Moh Anis di Surabaya Post pada 1989.
Sekaluar darik Kedung Ombo, dia masuk ke Kalbar dan menerobos pos perbatasan Kuching tanpa melalui imigrasi dari sana dia melakukan perjalanan ke Malaysia yang terus dilanjutkan hingga ke Saudi Arabia dan naik haji. Selam perjalanan yang lebih merupakan proses lintas batas ilegal itu dia mengirim sejumlah tulisan yang ditulis dalam bentuk features. Hasilnya, pada sat yang hampir bersamaan dia memperoleh gelas "haji" sekaligus penghargaan Adinegoro.
Ada seorang yang menulis bahwa Capingnya GM di Tempo tergolong jurnalisme sastra, sebab penulisan dengan model sastra yang dilakukan GM sangat kuat. Menurut saya, capingnya GM bukan karya jurnalistik, tapi lebih merupakan kolom biasa. Orang pers lazim menyebutnya sebagai esei.
Saya kuatir penamaan-penamaan jurnalisme ini tak bermakna apa-apa, kecuali hanya ingin menandai serta membedakan karya yang satu dengan karya yang lain.
>Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur
>karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar, liar
>dan makin liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa
>melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca.
Pernah membaca tulisan Seno Gumira ketika ia berkunjung ke Vietnam dan dikerjai mafia lokal? Menarik, gayanya memikat seperti cerpen dia, banyak data, tapi tak bergaya sinus. Namun Seno mengembangkan pendekatan "visual" seperti halnya memelihara ritme dalam film yaitu dengan membangun klimaks dan anti-klimaks secara bergantian. Hasilnya: memikat. Tapi menurut saya, ya features biasa (atau luar biasa).
Omong-omong ada seorang mahasiswa menulisa skripsi tentang jurnalisme sastra antara lain dengan menggolong caping GM sebagai salah satu bentuk jurnalisme sastra. Menurut saya hal ini jelas salah kaprah. Dari dulu saya adalah orang yang selalu kuatir dengan semua penamaan yang tak memberi pamaknaan baru
macam jurnalisme pancasila, jurnalisme mendayu-dayu, jurnalisme lher serr, jurnalisme iler, jurnalisme syahwat, jurnalisme bertutur, jurnalisme alternatif .....dll, termasuk jurnalisme baru (atau bau?). Kalau yang saya tengarai ini yang terjadi, ya barangkali telah terjadi "Orde Baru"isasi dalam dunia jurnalistik. Bukankah Orba selama 32 tahun berhasil memproduksi berbagai sebutan dan pemaknaan contohnya ya antara lain "ekonomi Pancasila", "demokrasi Pancasila", "pers Pancasila", "sepakbola Pancasila" (juara kembar ala Bardosono di tahun 1970-an), "manusia Pancasila", "desa Pancasila" dll yang tak bermakna apa-apa.
Stanley.-
Date: Wed, 15 Mar 2000
To: Andreas Harsono
From: "Fadjar I. Thufail" fithufail@students.wisc.edu
Subject: Re: [mfi] Re: Mengapa Jurnalisme Baru Ompong di Indonesia?
Bung Andreas,
Silahkan, dengan senang hati apabila Anda ingin forward ke kawan-kawan wartawan lain...
Saya sudah sempat dengar nama Anda beberapa kali, mungkin juga sering membaca feature Anda di JP... Anyway, nice to get to know you...
Ah betul itu, saya memang berbagi concern dengan Anda, bahkan hal yang sama pernah pula saya utarakan pada beberapa kawan redaksi... Namun, seperti yang Anda lihat dan alami sendiri, nggak ada perubahan yang berarti... Mungkin pertimbangannya pragmatis sekali, media yang berani bereksperimen semacam itu mungkin diperkirakan tak akan laku... Tapi menurut saya, pendapat semacam itu agak misleading. Soalnya, persoalannya sebenarnya terletak bukan pada substansi berita yang ditulis, tapi lebih pada style penulisan.... Anda barangkali sudah perhatikan, New Yorker misalnya, menulis profil seseorang dengan sangat menarik, menggunakan teknik-teknik yang sering dipakai di novel-novel untuk memotret karakter seseorang.
Tulisan mereka tentang sebuah kota misalnya, sangat pula dipengaruhi oleh aliran realisme yang berkembang di sastra... Mengapa kita nggak bisa menerapkan hal yang sama untuk menulis tentang kota Jakarta misalnya? Atau, profil jendral militer yang "bertangan dingin" misalnya?.....
Kalau Anda serius dengan concern itu, dan ingin suatu saat merealisasikannya, dengan senang hati saya bersedia membantu... perhaps we can do something later....
Kebetulan saat ini saya sedang belajar tentang ethnographic writing. Terus terang saya juga merasa gerah dengan style tulisan etnografi di Indonesia... sangat kering dan membosankan.. Padahal di sini, genre penulisan etnografi sudah sangat berkembang, dan banyak diantaranya yang memakai genre literary journalism semacam itu, atau genre novel... .
Please let me know kalau Anda sempat mampir ke Madison sebelum pulang... Juni atau Juli nanti mungkin saya akan balik sebentar ke tanah air, perhaps we can also meet there.... Oya, Anda bisa cari saya di kantor, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, kalau pas summer nanti saya ada di Jakarta....
-- Fadjar
Date: Wed, 15 Mar 2000
To: indowatch@egroups.com
From: Andreas Harsono
Subject: [indowatch] Untuk Stanley:
Stanley yang baik,
Anda benar bahwa kita tidak bisa membagi gaya reportase media di Indonesia hanya menjadi gaya Tempo dan gaya Kompas. Memang kedua gaya itu: berita keras (piramida terbalik) dan feature (botol atau gitar) adalah dua gaya yang sudah umum berkembang di seluruh dunia.
Saya menyebut Kompas dan Tempo lebih karena kebesaran mereka. Saya keliru juga menyebut mereka karena kepeloporannya. Saya setuju bahwa mereka tidak secara khusus memelopori gaya-gaya itu. Tapi saya menyebut mereka untuk mempermudah pembedaan gaya atau struktur penulisan laporan.
Tapi bicara soal struktur laporan, saya berpendapat ada gaya yang ketiga. Pada tahun 1960-an Tom Wolfe, salah satu penulis terkemuka di Amerika Serikat, menyebutnya "jurnalisme baru."
Bedanya dengan kedua gaya sebelumnya: ia jauh lebih panjang dan berombak dalam menjaga ritme laporannya. Mungkin sama dengan ritme pembuatan film. Naik dan turun. Saya mengumpamakannya dengan gelombang sinus.
Kesamaan ketiga gaya ini adalah semua karya non-fiksi. Mereka membutuhkan reportase. Mereka butuh si wartawan untuk riset, turun ke lapangan, melakukan wawancara, rekonstruksi serta pekerjaan lain. Nama-nama orang yang disebut memang benar-benar ada. Kejadian-kejadian yang dilaporkan memang benar-benar ada. Masalah etika, balance dan lainnya juga sama persis. Ketiga gaya itu membutuhkan wartawan yang cover both sides.
Dari pemagaran ini, saya tentu setuju seratus persen dengan Anda bahwa karya Seno Gumira Ajidarma "Saksi Mata" tidak masuk dalam kategori jurnalisme. Seno tidak menyampaikan fakta yang nyata. "Saksi Mata" adalah karya fiksi yang bagus terlepas bahwa Seno memakai data-data pembantaian Santa Cruz November 1991 sebagai ide cerita.
Saya belum membaca karya Moh. Anis soal perjalanannya dari Serawak hingga Mekkah atau karya perjalanan Seno di Vietnam. Saya tidak bisa berkomentar banyak. Mungkin saja mereka memakai gaya ketiga ini.
Intinya saya berpendapat bahwa secara terserak, secara terpisah-pisah, gaya ketiga ini sudah dipakai di Indonesia. Laporan-laporan panjang George J. Aditjondro dan buku "Sebongkah Emas di Kaki Pelangi" Bondan Winarno sudah memakai gaya ini.
Saya juga setuju bahwa kolom Goenawan Mohamad di Tempo tidak perlu dinamakan "jurnalisme sastrawi." Mahasiswa yang menyebutnya demikian bisa membingungkan publik karena pemahamannya bentrok dengan pemagaran jurnalisme baru.
Cuma saya tidak sependapat dengan Anda kalau Anda mengatakan bahwa esai "Catatan Pinggir" bukan karya jurnalistik. Esai bisa dibuat dengan reportase.
Di Cambridge saya beruntung bisa mengikuti kuliahnya Thomas Friedman, salah seorang kolumnis The New York Times. Friedman seringkali melakukan reportase buat kolomnya. Anthony Lewis, juga kolumnis Times, bicara di Nieman Foundation dan panjang lebar menerangkan reportasenya. Sepengetahuan saya, Goenawan seringkali menelpon kiri-kanan, minta buku ini-itu, menjelang deadlinenya. Bukankah itu juga reportase?
Kolom sebenarnya adalah hasil reportase juga walaupun tidak harus. Di Indonesia tradisi kolom yang tanpa reportase terjadi karena kebanyakan kolumnis kita adalah para akademisi. Mereka mengisi kolom-kolom Kompas, Suara Pembaruan, Republika dan lainnya, dengan pendekatan akademis. Gayanya juga gaya jurnal ilmiah. Bah ... membosankan.
Akhir kata, saya mau kembali pada pertanyaan awal saya. Saya tidak bicara soal definisi jurnalisme baru. Pertanyaan saya adalah mengapa tidak ada media di Indonesia yang khusus mengusung gaya ini?
Andreas Harsono
Cambridge MA 02138
Date: Wed, 15 Mar 2000
To: mfi@egroups.com
From: Andreas Harsono
Subject: [mfi] Menggugat Jurnalisme Baru di Indonesia
MENGGUGAT JURNALISME BARU DI INDONESIA
Tanggapan buat Fadjar I. Thufail, Biranul Anas dan Wicak Sarosa
Oleh Andreas Harsono
Dengan hormat,
Terima kasih buat ketiga rekan ini. Saya tidak bisa setuju lebih banyak dengan Anda bahwa jurnalisme baru di Indonesia tidak berkembang karena: (1) tidak ada institusi yang mau menempuh resiko untuk menerbitkan suratkabar
bergaya jurnalisme baru; (2) tidak cukup wartawan, artis, disainer,
kartunis dan fotografer buat mendukung media tersebut; (3) pasar merasa belum perlu ada media ini sehingga ia bisa mendukungnya dengan iklan dan lain-lain.
Menyedihkan juga. Saya jadi ingat pembicaraan dengan seorang wartawan
senior di San Francisco tahun lalu. Ia mengatakan majalah beginian memang perlu tapi pasar kita kecil sekali. "Mencari wartawan yang bagus juga tidak
mudah," ujarnya. Ia berpendapat mungkin bisa dicoba tapi tidak dengan prinsip laba.
Bung Fadjar dan Bung Biranul berpendapat seharusnya ada orang atau lembaga yang mau melakukannya. Mereka berdua bahkan seakan-akan menantang saya --sebagai seorang wartawan-- untuk menerbitkan media ini.
Mereka juga menawarkan diri untuk membantu kalau tantangan itu saya ambil. Aduh, luar biasa! Saya merasa belum pantas untuk menerima tantangan terhormat macam ini.
Selain itu siapa pun yang menerima tantangan itu, saya kira, masih harus pikir seribu kali untuk menerbitkan sebuah majalah apapun di Indonesia.
Sekarang persaingan ketat sekali lho! Majalah FEMINA dan Tempo sudah
mengambil sekitar separuh dari pangsa iklan majalah mingguan. Bikin majalah juga sama artinya dengan kawin lagi. Ini bisa memporak-porandakan keluarga.
Tapi terlepas dari tantangan itu, saya masih penasaran dengan beberapa pertanyaan. Khusus buat Bung Fadjar, Anda mengatakan bahwa Nirwan Dewanto, mantan redaktur kepala majalah KALAM, mengeluh karena KALAM dipaksakan menjadi jurnal akademis. Saya kebetulan mengenal Nirwan. Mengapa ia merasa
dipaksa? Siapa yang memaksa Nirman?
Khusus untuk Bung Biranul, saya ingin tahu seberapa besar sumber daya manusia kita di bidang seni rupa? Berapa banyak lulusan Seni Rupa ITB dan sekolah sejenis lainnya yang punya kegemaran di bidang disain suratkabar (sekelas S. Prinka dari Tempo)?
Berapa banyak di antara mereka yang suka dengan disain kulit muka majalah yang bagus dan bisa dinikmati sebagai karya seni? Siapa figur seni rupa di Indonesia yang akrab dengan jenis-jenis huruf (font)? Siapa di antara kita
yang pernah menciptakan font?
Saya juga ingin tahu simpul-simpul kartunis kita. Saya lupa-lupa ingat tapi di Kaliwungu, Semarang, ada perkumpulan kartunis yang sesekali dibantu Jaya Suprana. Mutunya bagaimana saya kurang tahu. Tapi di Indonesia, berapa banyak simpul-simpul macam begini? Ada berapa besar potensi kita untuk mengembangkan para kartunis-kartunis muda di Indonesia yang bisa bersaing dengan GM Sidharta dari Kompas?
Soal wartawan dan penulis, saya pikir, ia bisa dikembangkan. Saya percaya Indonesia punya potensi besar untuk menumbuhkan penulis-penulis muda dengan gaya jurnalisme baru. Dalam lima tahun terakhir ini, saya sesekali bicara
atas sponsor Institut Studi Arus Informasi (Jakarta) di kampus-kampus Indonesia, dan bertemu dengan cukup banyak sekali wartawan-wartawan mahasiswa dengan potensi besar.
Tapi saya praktis buta soal kartun, disain, puisi dan fiksi. Ada yang mau membantu?
Andreas Harsono
Cambridge MA 02138
From: wicaksono sarosa wicak@uclink.berkeley.edu
Subject: Re: [mfi] Re: Mengapa Jurnalisme Baru Ompong di Indonesia?
Halo Bung Andreas:
Saya sudah sering baca komentar-komentar Anda yang "thoughtful" di mfi (atau mungkin di lain media). Senang bisa langsung kontak. Saya nggak ada masalah dengan "forward" e-mail saya...malah senang karena sebenarnya saya juga punya "concern" yang sama dengan yang ditulis teman-teman di sini.
(Beberapa tulisan saya pernah ditolak karena kepanjangan...kemudian saya
ringkas dan bisa masuk, tapi saya kurang puas karena banyak esensi yang hilang).
Saya sekarang sedang menyelesaikan disertasi saya, judulnya agak panjang: "Infrastructure-based Community Development: Theory and Practice of Sustainable Development at the Local Level with a Participant-Observation
of Three Pilot Projects in Rural Villages of Java, Indonesia"...tapi paling
nggak menggambarkan bidang yang saya sedang tekuni. Di Indonesia saya mengajar di Trisakti, menjadi konsultan untuk pembangunan komunitas, dan bergabung dengan kelompok "ngobrol-ngobrol"...ya biasalah...
Sementara sekian dulu, nanti kita bisa sambung lagi.
Wicak Sarosa
Department of City and Regional Planning
University of California at Berkeley
Date: Wed, 15 Mar 2000 12:24:25 -0600
To: mfi@egroups.com
From: "Fadjar I. Thufail"
Bung Andreas,
Istilah "memaksa" ini harap jangan ditafsirkan seperti Jenderal memaksa Gus Dur untuk turun... Nirwan memakai metafor ini untuk berbicara tentang situasi dunia penerbitan kita. Seperti saya bilang, Nirwan ingin Kalam
menjadi sebuah media untuk para penulis, seperti Granta, dan Grand Street itu... Tetapi persoalannya, naskah-naskah yang dikirimkan ke Kalam pada umumnya naskah-naskah tulisan "akademis", jarang sekali penulis professional mengirimkan esai-esainya, ataupun kalau ada performancenya masih perlu dipoles lagi... Jadi, mau tidak mau, Jurnal yang tadinya ingin
jadi writer's magazine, jadi harus setengah-setengah, yang setengahnya menurunkan tulisan-tulisan yang "akademis". Ini soalnya juga terkait dengan
kurang adanya media jurnal akademis Indonesia yang bermutu dan punya reputasi internasional. Sehingga banyak penulis yang kemudian beralih menjadi kolumnis atau mengirimkan tulisannya ke majalah seperti Kalam itu..
Repotnya, kolom-kolom yang ditulis mereka itu masih punya genre penulisan seperti tulisan ilmiah.... Ini yang Nirwan maksudkan sebagai situasi yang
"memaksa" dia untuk mengambil jalan tengah itu... hasilnya, ya Kalam seperti yang Anda baca itu...
Mengenai "potensi" penulis, saya rasa Indonesia punya banyak stock.. Tapi soalnya, dalam ruang publik semacam itu, banyak orang yang masih mempersoalkan perbedaan antara tulisan akademis dan non-akademis. Ini sering saya alami sendiri. Di LIPI, kadang-kadang saya membantu kawan-kawan untuk mengedit Jurnal Masyarakat Indonesia yang, menurut genrenya, harusnya menjadi jurnal "ilmiah". Tapi pengertian "ilmiah" ini sering jadi perdebatan yang tak kunjung henti. Yang ingin saya kemukakan adalah: banyak orang yang masih cenderung membedakan antara tulisan ilmiah, yang dianggap jadi konsumsi jurnal, dan tulisan non-ilmiah, yang harusnya jadi konsumsi publik. Nah, masih jarang jajaran redaksi (baik jurnal akademis maupun majalah publik) yang melihat pentingnya eksperimen penulisan yang cross-genre... karena itu akan dituduh sebagai "tidak ilmiah" ataupun
"tidak bernilai secara 'jurnalistik'".... Saya rasa, pandangan semacam ini
yang pelan-pelan harus ditinggalkan....
Kalau dalam genre esai, Goenawan saya rasa yang paling berani
"bereksperimen", tapi itupun diterima sebagai "normal practice" oleh karena Goenawan sudah cukup established dalam dunia media. Saya nggak tahu, mungkinkah jajaran pers alternatif seperti ISAI atau AJI bisa mulai
mempelopori eksperimen literary journalism?
Saya pikir, kalau masalah teknis, bisa dicarikan jalan keluarnya. Mungkin media-media yang sudah established seperti Tempo bisa menyisihkan satu ruang untuk eksperimental writing seperti ini (bagaimana BHM?). Dengan catatan, ruang itu diasuh oleh orang-orang seperti Anda, atau Nirwan, yang
benar-benar concern dengan soal literary journalism atau eksperimental writing ini... Bisa saja ruang itu diberi judul seperti "Talk of the Town"
atau "Takes"-nya New Yorker... Khan ini nggak terlalu mengurangi profit....
Salam,
Fadjar
Date: Fri, 17 Mar 2000
To: Andreas Harsono
From: Samin ruhoro@cbn.net.id
Oh, tentu saja boleh. Karena saya memberikan komentar dengan argumentasi yang jelas, tak asal ngablak (istilah temen kita, Bun).
Yang jelas begini. Komentar saya itu berangkat dari kekuatiran saya pada gampangnya pemberian nama, pendefinisian genre baru atas fenomena yang dibawa dari "gaya" orang per orang. Saya kira ini pekerjaan khas kaum scholar di bidang komunikasi yang tak bermakna apa-apa bagi kaum praktisi
seperti gue. Coba saja bagaimana kaum "sekolahan" di bidang komunikasi mencoba mendefinisikan berbagai macam "jenis" lead dan ending. Padahal saat para wartawan membuatnya tak pernah memikirkan mau bikin lead jenis apa untuk memulai laporannya. Mau "stakato" kek, "pemancing" kek, "teka-teki"
kek, "bercerita kek", "tudingan langsung" kek, "penggoda" kek, "ledakan" kek, "pasak" kek, ""kontras" kek, "epigram" kek, "suspensi" kek dll .....termasuk "tekek" kek.
Yang jelas ada kesenjangan antara dunia praktisi wartawan dengan dunia "persekolahan". Kaum praktisi mengalirkan terus berbagai macam fenomena, sementara kaum "persekolahan" sibuk mencari, memilah-milahkan, mendefinisikan dan memberi pemaknaan-pemakanaan baru. Para wartawan sendiri nggak terlalu ambil pusing. Mungkin untuk para mahasiswa macam IISIP (yang rektornya hidung belang itu) jenis-jenis "genre" ini penting untuk dipelajari meski nantinya mereka tak pernah jadi wartawan, atau paling jadi humas pegawai negeri atau terjun jadi PR hotel.
Bagi orang kayak gue juga elu (alumni teknik), atau Santoso (IPB), Satrio, Salomo dll yang penting adalah bagaimana bikin tulisan yang memikat. Teori cukup dibaca, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa mengalirkan sebuah tulisan yang isinya berguna secara memikat. Itu saja. Ada pihak yang mengasumsikan, kian banyak teori kian sulit untuk mempraktekkannya.
Andreas, coba elu ingat kembali bagaimana ketika pertama kali elu belajar naik sepeda. Apakah ada orang yang mengajarai dulu, misalnya, begini: sepeda
didorong, kaki letakkan pada pedal, apabila milai meluncur jaga
keseimbangan, bila keseimbangan telah dicapai kayuh lah pedalnya
pelan-pelan. Bila jatuh, ulangi lagi mulai langkah 1. Bila di antara urutan tersebut ada yang gagal ulangi lagi mulai langkah 1. Dst. Absurd kan!
Gue ingat, pelukis Sudjojono (bapaknya Tedjabayu) saat ditanya orang bagaimana teori agar orang bisa melukis? Mau tahu jawabannya: Seperti orang belajar naik sepeda, alias nggak ada teorinya.
Kembali lagi ke soal teori komunikasi. Coba apa yang dilakukan kebanyakan pakar komunikasi UI. Selama Orba mereka memberikan legitimasi pada semua
bentuk propaganda Orba. Lihat orang macam Bachtiar Aly yang pada 1994 sempat menyatakan bahwa di Indonesia ini tak ada tempat untuk organisasi macam AJI. Para wartawan muda yang kecewa pada PWI justru harus bergabung pada PWI.
Lihat pula orang macam Alwi Dahlan yang menggunakan keahliannya di bidang komunikasi untuk melacurkan diri sebagai propagandais "Manusia Pancasila". Juga Marwah Daud Ibrahim. Saya jadi teringat peran Goebbels di jaman Hitler dulu.
Saya kemukakan kekuatiran itu bukan karena ingin menentang kemajuan ilmu komunikasi, tapi bisakah ilmu komunikasi menjadikan dunia riil (prakxis) dengan dunia kajian menjadi lebih dekat. Pembagian media dalam 2 kelompok
besar, yaitu genre Kompas dan genre Tempo jelas terlalu mengada-ada. Sebab kalau dicari ya muncul fenomena lain yang tak kalah menariknya misalnya genre "Suara Independen" yang digilai pers mahasiswa dan diburu penguasa
Orba. Masalahnya, benarkah ada genre Suara Independen? Ataukah Suara Independen itu jawaban atas kebuntuan model genre Pers pancasila? Atau cuma keberanian biasa dari sekelompok anak muda yang frustasi atas adanya
dominasi para senior mereka yang selama Orba menderita "penyakit jiwa" (mulai paranoid biasa sampai schizoprenia).
Andreas, gue perlu cerita soal penyakit jiwa ini di kalangan Gramedia Majalah pasca pembredelan Monitor. Saat itu pimpinan Divisi Majalah membentuk "Tim Malaikat" yang isinya menyensor semua produk Gramedia majalah yang meliputi tabloid, majalah, hingga komik anak-anak macam Album Walt Disney yang seberanya notabenen cuma melakukan pekerjaan adaptasi bahasa.
Saat itu Budiarto Danujaya (dengan semua paranoidnya) menyimpulkan bahwa Album AWD adalah media yang terlalu berbahaya dan banyak mengandung muatan SAR antara lain pelecehan keponakan Donald, Kwik-Kwek-Kwak saat bersafari ke
gurun Arab atau terhadap warga kulit hitam Timbuktu. Bayangin betapa gilanya "kegilaan" itu, yang barangkali dalam pandangan pakar komunikasi bisa dianggap sebagai sebuah fenomena menarik. Namun, bagi gua ya tak lebih dari
kegilaan yang diakibatkan dari ketakutan, posisi rawan kepemilikan saham KKG (yang diantaranya dimiliki kelompok Katolik), keberhasilan bisnis yang
mengundang kecemburuan, monopoli penguasaan SIUPP dll.
Stanley.-
Date: Fri, 17 Mar 2000
To: indowatch@egroups.com
From: Samin ruhoro@cbn.net.id
Andreas,
Gue terpaksa gunakan otoritas gue sebagai mantan asisten dosen elu untuk mengatakan bahwa gelombang sinus itu bentuknya adalah sebuah bukit dan sebuah lembah. Ini adalah produk dari terjadinya sinergi 4 megnit antara rotor dan stator dari mesin penggerak mula. Kalau dibalik gerakannya ya
tetap sinus, tapi ya bentuknya jadi lembah dulu baru bukit. Ha-ha-ha.
Ritme film ada berjenis-jenis, Tapi mereka biasanya meletakkan klimaks pada bagian akhir (film drama dan detektif, juga film umumnya India). Ritme yang baik adalah ritme yang bisa menarik-ulur emosi pembaca atau penonton
sepanjang kisah itu berjalan. Jadi bukan diletakkan di belakang atau di depan. Makanya dalam film muncul fenomena kilas balik berulang.
>Dari pemagaran ini, saya tentu setuju seratus persen dengan Anda bahwa
>karya Seno Gumira Ajidarma "Saksi Mata" tidak masuk dalam kategori
>jurnalisme. Seno tidak menyampaikan fakta yang nyata. "Saksi Mata" adalah
>karya fiksi yang bagus terlepas bahwa Seno memakai data-data pembantaian
>Santa Cruz November 1991 sebagai ide cerita.
Perlu saya kasih tahu saja. Saya adalah orang yang kerap memberikan data
"lapangan: pada Seno untuk dicerpenkan. Elu bisa periksa bahwa data dan
angka-angka korban pembunuhan, juga persoalan di Timtim yang pernah diangkat
George Junus Aditjondro adalah sama "Misteri Kota Ningi" dalam cerpen "Saksi
Mata" Seno. Wong gue yang kasih paper George dan malah kemudian Seno meminta
saya membaca cerpen dia sebelum dikirim ke Kompas (yang kemudian menolak
memuat). Almarhum Romo Mangun tergila-gila pada cerpen ini yang dianggapnya
sebagai luar biasa. Romo membacakannya sebagai makalah saat peluncurkan buku
Uskup Belo di aula Kampus Atmajaya Jakarta 1997 lalu. Dalam bahasa anak muda
Yogya "Ningi" tak lain adalah "Dili". Cerpen Seno ini mirip dengan sebuah
reportase jurnalistik yang lengkap.
>Intinya saya berpendapat bahwa secara terserak, secara terpisah-pisah, gaya
>ketiga ini sudah dipakai di Indonesia. Laporan-laporan panjang George J.
>Aditjondro dan buku "Sebongkah Emas di Kaki Pelangi" Bondan Winarno sudah
>memakai gaya ini.
Soal buku Bondan, apakah itu bisa disebut sebagai karya jurnalistik. Setahu
saya karya jurnalistik dengan buku yang ditulis dengan pendekatan
investigatif reportase adalah dua hal yang berbeda. Kalau laporan
jurnalistik ya semestinya pernah dimuat di media sebelum jadi buku. Kalau
nggak nanti kan bisa saja, buku memoar seseorang diklaim sebagai karya
jurnalistik. Kata "jurnal" kan punya pengertian sebagai bacaan publik yaitu
media massa, pers.
>Cuma saya tidak sependapat dengan Anda kalau Anda mengatakan bahwa esai
>"Catatan Pinggir" bukan karya jurnalistik. Esai bisa dibuat dengan reportase.
Ya, tergantung. Tapi rata-rata esei yang dimuat di Indonesia lebih merupakan
opini atau karangan khas pribadi. Kalaupun Kompas memuat beberapa kali esei
wartawannya (yang digaji karena pekerjaan jurnalistiknya) ya itu disebut
sebagai laporan features bukan esai. Caping GM lebih merupakan penerungan
yang sempat (dulu) jadi pamplet. Tolong hal ini dibedakan, nanti
jangan-jangan elu berpendapat ada laporan jurnalistik berbentuk puisi. Ini
kan gila jadinya. Nanti akan muncul sebutan "genre Jurnalistik puitif" yang
nggaj jelas mana unsur 5 W,1 H nya.
>Di Cambridge saya beruntung bisa mengikuti kuliahnya Thomas Friedman, salah
>seorang kolumnis The New York Times. Friedman seringkali melakukan
>reportase buat kolomnya. Anthony Lewis, juga kolumnis Times, bicara di
>Nieman Foundation dan panjang lebar menerangkan reportasenya. Sepengetahuan
>saya, Goenawan seringkali menelpon kiri-kanan, minta buku ini-itu,
>menjelang deadlinenya. Bukankah itu juga reportase?
Kalau saya menulis tentang "Marx" lantas saya cari buku ke sana kem rai
tentang Marx dan lantas muncul tulisan tentangnya apakah saya melakukan
pekerjaan jurnalistik? Gue kira pekerjaan jurnalistik bukan sekadar
pekerjaan menelepon kiri-kanan minta buku ini-itu, sebab karyawan toko buku
kita (Kalam) setiap hari melakukan pekerjaan itu. Mulai dari Sulis, Dewi
sampai Mualim. Apa mereka melakukan pekerjaan jurnalistik? Bukankah
pekerjaan jurnalistik itu adalah turun ke lapangan. memburu, meliput,
mewawancarai, menulis, mengedit hingga memmunculkan "berita" tersebut ke
media. Tolong dibedakan antara esei, kolom (macam-macam mulai konsultasi
seks ala Leila, hingga kiat bisnis Hermawan Kertajaya), bikin editorial
(macam "Tanda-Tanda Zaman"nya Pater Dick Hartoko di Basis lama) dengan
pekerjaan jurnalistik yang dikerjakan para wartawan.
>Akhir kata, saya mau kembali pada pertanyaan awal saya. Saya tidak bicara
>soal definisi jurnalisme baru. Pertanyaan saya adalah mengapa tidak ada
>media di Indonesia yang khusus mengusung gaya ini?
Jawaban saya sederhana: karena selama ini para wartawan dan pemilik media
sama-sama terpesona pada sukses Kompas dan Tempo. Bagimana elu mau
ngembangin pendekatan investigatif kalau laporan model Pos Kota ternyata
lebih disukai pembaca. Para pemilik media itu kan berpikir pragmatis dalam
hal bisnis. Bayangkin saja kenapa Kompas nggak berupaya memperbaiki kualitas
liputannya yang berantakan dan tak seimbang, tapi berpikir untuk bikin media
baru guna menyaingi Pos Kota antar alain dengan bikin Warta Kota, yang kini
hampir mampus.
St
Date: Fri, 17 Mar 2000
To: mfi@egroups.com
From: BIRANUL ANAS
Subject: [mfi] Re: Menggugat Jurnalisme Baru di Indonesia
Hai bung Andreas,
Bung Biranul, saya ingin tahu seberapa besar sumber daya manusia kita di bidang seni rupa? Berapa banyak lulusan Seni Rupa ITB dan sekolah sejenis lainnya yang punya kegemaran di bidang disain suratkabar (sekelas S. Prinka dari Tempo)?
>>>>>> Angka yg tepat saya tidak miliki, saya percaya kalau lulusan DKV FSRD-ITB mungkin sudah melampaui angka 1000 (sebenarnya kecil u/ ukuran penduduk 210 juta), tetapi bisa digambarkan sbb.:
1. Bidang desain surat kabar didisiplin keilmuan SR termasuk wilayah luas DKV (Desain Komunikasi Visual d/h Desain Grafis). Animo ke bidang ini di Indonesia amat besar. Di FSRD-ITB terbesar, dan saya dengar2 di perguruan tinggi SR lainya (FSRD-Trisakti, IKJ, FSRD-ISI Yogya, FSRD-UNS dsb) juga begitu. Artinya +/- masyarakat alumninya juga besar. Juga, disamping berstrata S, berjamuran tumbuh perguruan DKV yg berstrata D bahkan kursus2 singkat yg bersifat "how to" spt. membuat desain logo, kop surat dan stationary lainnya. "Besar" d.h.i. belum berarti "baik" dan "tepat sasar" sebab bergantung pd banyak faktor a/l kualitas serta cita2 individual kandidat/lulusan desainer DKV tsb. kearah bidang ('superspesialisasi') DKV apa pilihannya dimasyarakat. Kurikulum S1 DKV di FSRD-ITB bersifat ' dasar-umum' dan kecenderungan kandidat baru tampak disaat2 terakhir, misalnya waktu mengerjakan skripsi atau tugas/akhir ujian sarjana. Berdasarkan pengamatan pribadi wilayah 'Production House' agaknya menjadi pilihan utama lulusan DKV FSRD-ITB.
Berapa banyak di antara mereka yang suka dengan disain kulit muka majalah yang bagus dan bisa dinikmati sebagai karya seni? Siapa figur seni rupa di Indonesia yang akrab dengan jenis-jenis huruf (font)? Siapa di antara kita yang pernah menciptakan font?
>>>>>> Semua lulusan DKV dalam kadar tertentu (semestinya) memiliki kemampuan membuat kulit muka yg indah namun u/ mengetahui yg mereka2 yg dilevel atas bisa ditanyakan a/l ke perguruan2 yg meluluskannya. Rasa2nya Sdr Indarsyah T., Ketua Program Studi DKV FSRD-ITB, (iti@elga.net.id) punya data itu. Demikian pula halnya dg masalah font. Jagoan font di SR-ITB yg saya tahu a/l AD Pirous (pelukis), T Sutanto, Prijanto S (dua yg terakhir ini juga karikaturis kahot), Indarsyah T dan Alfonso K. Yg bebas berkeliaran diluar kampus tanya sama Indarsyah T.
Saya juga ingin tahu simpul-simpul kartunis kita....... di Kaliwungu, Semarang......perkumpulan kartunis .........Mutunya....... berapa banyak simpul-simpul macam begini......potensi para kartunis-kartunis muda di Indonesia ......?
>>>>>> Ini yg benar2 tahu adalah Prijanto S (opini Tempo)--> pri-s@4u.net, silakan ngobrol.
OK bung? Mudah2an bisa sedikit membantu Anda, selamat melacak dan sukses! Salam.
B Anas
From: Atmakusumah Astraatmadja atmakusumah_as@hotmail.com
Date: 26 March 2000
Bung Andreas dan kawan-kawan:
Jurnalisme "baru", atau jurnalisme sastra, atau sastra nonfiksi, tidak mungkin berkembang di Indonesia bila para pengelola media massa dalam posisi seperti sekarang: kebanyakan bermodal dan berkeuntungan kecil, atau sama
sekali tidak berkeuntungan, dan para pengasuhnya (termasuk wartawannya) sangat sedikit jumlahnya. Tifa Papua (dulu: Tifa Irian) di Jayapura, misalnya, hanya diasuh oleh lima wartawan, malahan sekarang tinggal empat
karena pemimpin redaksinya nonaktif. Malahan ada surat kabar di Palu dan Kendari yang hanya diasuh oleh kurang-lebih tiga wartawan saja.
Jumlah wartawan di Indonesia pada masa Orde Baru hanya sekira 7.000,
mengasuh hampir 300 media pers cetak. Belum lagi 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik), dan 6 stasiun televisi.
Sekarang, ketika media pers cetak menjadi sekira 600--700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan stasiun televisi akan menjadi lebih dari 10, paling-paling wartawan bertambah menjadi 8.000 -- 10.000 (bandingkan dengan Jerman, misalnya, yang 90.000, termasuk 40.000 freelancers).
Media massa kita selama ini lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas -- yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya, mengingat sangat kurangnya tenaga wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu "menyisihkan" sebagian wartawannya untuk lebih memusatkan perhatian pada, misalnya: peliputan penyidikan (investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme "baru". Dan, hal itu, sebenarnya sudah dilakukan oleh, umpamanya, Kompas, Suara Pembaruan dan sejumlah majalah seperti Tempo, walaupun agaknya belum memprakarsai pengembangan jurnalisme "baru".
Bayangkan, betapa mahal biaya pembuatan karya jurnalisme "baru": Untuk meliput dan menulis Hell's Angel di AS diperlukan waktu satu tahun. Menulis Joe Louis dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengikuti gerak-gerik dan
kehidupannya.
Sejumlah wartawan mengeluh kepada saya bahwa mereka setiap hari
"dikejar-kejar" oleh seniornya agar memproduksi berita sebanyak mungkin.
Yang ingin memusatkan perhatian pada kualitas, pendalaman, dan agak perfektionis, bisa mendapat kesulitan.
Bila Anda bisa menemukan, umpamanya di Library of Congress, silakan dibaca iseng-iseng tulisan tentang jurnalisme "baru" dalam buku saya "Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia" (Lembaga Studi Pembangunan, LSP, Jakarta, 1981). Sudah saya kupas serba selintas awal 1980-an.
Salam hangat: Atmakusumah
To: Andreas Harsono
Subject: Re: Diskusi jurnalisme ompong? (2 dari 2)
Dear Andreas,
Thanks for your emaill. I agree with you completely about the problems with the name "the new journalism." It's meaningless -- not the least because since Wolfe (or whoever) came up with that term, there have been several even "newer" waves of thinking in journalism. The most recent is civic or public journalism, which I'm sure you've also heard a lot
about.
We must be utilizing some sort of ESP, because even though I haven't yet seen your "Pantau" article, I found a similar article from the
ajr.newslink listing every kind of American fellowship in journalism
(some of which are also open to international journalists) and had Karl Fritz photocopy it to be included in the packet for participants.
Re. my angle: I decided first to talk about what American news
organizations could learn from Indonesia, given that I now have had first-hand experience of training at Tempo! After that, I will explain how we do it in the US, and then invite discussion and comparison. I hope this works. (The tone of the conference thus far has been a little bit annoying to me: the foreign "experts" have been lecturing to the Indonesians on how they ought to be doing things. And not one of them -- other than me -- has had ANY experience here at all.)
The one good thing I've noticed about how the Americans do training for journalists is that as you've probably also noticed, MANY kinds of organizations/foundations get involved in the act. Eg. foundations interested in mental health issues sponsor fellowships for journalists to spend a year working a project devoted to mental health, environmental groups sponsor a year of study on environmental issues. I think that journalism really is a "civic enterprise" in the US, meaning
that it involves all kinds of organizations and NGOS that are not
directly related to the media industries. I believe that in Indonesia it would also be helpful to get other kinds of LSMs involved. In other words, ALL of us have a responsibility and interest in promoting a healthy and independent press: it shouldn't just be up to ISAI, LPDS,
LP3Y, and Tempo and Kompas to do the work.
I'm interested in YOUR interest in the New Yorker. That was my first
metaphor for Tempo, but I decided that it didn't work because Harold
Ross never wanted to run a news magazine. (Maybe I should ask GM why he decided to use Time as a model rather than the New Yorker!) But there is still something very seductive about the comparison -- especially given all the "lore" that has grown up around the personalities at the 2
magazines.
Okay -- it's time for me to go jogging and get psyched for my talk.
Thanks again for your thoughts, and say hi to Retno for me!
Janet
Date: Thu, 13 Apr 2000
To: Andreas Harsono
From: Nirwan Dewanto
Andreas,
Penerbitan majalah atau semacam majalah yang bisa menyelenggarakan
jurnalisme sastra (seperti New Yorker atau apa saja) memang harus
diusahakan atau kita usahakan bersama. Kalam sendiri biar bereksperimen dengan caranya sendiri, sekalipun dia tetap berfungsi laboratorium untuk
kritik seni, pemikiran maupun karya sastra. Bukan untuk ber'"tinggi-tinggi", tapi normal saja: aneh, bukan, kalau di negeri yang penduduknya 210 juta nggak ada jurnal kebudayaan atawa jurnal
ilmiah/akademis yang bagus (sementara di Amerika jumlah jurnal ribuan).
Normal: bahwa peran riset dan eksperimen penting. Sementara untuk
berkomunikasi, kita nulis di media massa, atau kalau mungkin, mengusahakan majalah literary journalism tadi. Namun, kalau berpikir tentang pembaca dan
pasar, sampeyan pasti gementar juga untuk membuat majalah ala New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?
Utan Kayu makin yahud pengunjungnya. Mungkin yang jadi soal: banyak lembaga di UK sudah begitu gendut, meskipun tak kunjung efisien. Ini paradoks yang
kian besar, dan harus segera diselesaikan.
Salam,
Nirwan
Halo Mas Andreas...
Saya Lian, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad semester 8. Saya baru membaca buku Jurnalisme Sastrawi beberapa bulan yang lalu, pas semester 7, di mata kuliah Pelaporan Mendalam (Depth Reporting).
Jujur saja, saya sangat menyukai delapan cerita di buku itu. Sangat menghibur, sarat data, deskriptif, dan dengan alur yang mengalir. Gaya berceritanya sangat wajar, terasa tanpa ada beban politis (seperti halnya jurnalis pada umumnya).
Cerita favorit saya adalah "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" oleh Alfian Hamzah...
Kembali lagi saya bertanya (sama seperti blogger lain) mengenai definisi Jurnalisme Sastrawi.
Apakah harus menggunakan kata-kata atau kalimat sastra yang mendayu-dayu? Apakah harus dengan gaya bercerita? APakah menggunakan bahasa Indonesia yang baku? Dan apakah-apakah yang lain.
Lalu apa bedanya dengan buku Jurnalisme Sastra yang ditulis oleh Septiawan Santana? Karena saya membaca buku itu saat semester 5, di mata kuliah Penulisan Feature Media Massa Cetak.
Saya sadar, sepertinya tidak banyak manusia Indonesia yang memiliki kemampuan menulis sampai berlembar-lembar dengan gaya bahasa yang asyik, dan alur yang mengalir, namun tetap berada dalam kaidah jurnalisme.
Kesadaran saya semakin tinggi, saat saya dan teman-teman mengumpulkan tugas akhir mata kuliah Pelaporan Mendalam. Hanya sedkit teman-teman yang bisa mengumpulkan tugas hingga empat judul (minimal tiga judul) dengan tulisan yang mendalam dan deskriptif. Sebenarnya, apa yang salah dari kita, manusia Indonesia pada umumnya, dan kita, orang-orang yang biasa menulis?
Halo Mas Andreas...
Saya Lian, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad semester 8. Saya baru membaca buku Jurnalisme Sastrawi beberapa bulan yang lalu, pas semester 7, di mata kuliah Pelaporan Mendalam (Depth Reporting).
Jujur saja, saya sangat menyukai delapan cerita di buku itu. Sangat menghibur, sarat data, deskriptif, dan dengan alur yang mengalir. Gaya berceritanya sangat wajar, terasa tanpa ada beban politis (seperti halnya jurnalis pada umumnya).
Cerita favorit saya adalah "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" oleh Alfian Hamzah...
Kembali lagi saya bertanya (sama seperti blogger lain) mengenai definisi Jurnalisme Sastrawi.
Apakah harus menggunakan kata-kata atau kalimat sastra yang mendayu-dayu? Apakah harus dengan gaya bercerita? APakah menggunakan bahasa Indonesia yang baku? Dan apakah-apakah yang lain.
Lalu apa bedanya dengan buku Jurnalisme Sastra yang ditulis oleh Septiawan Santana? Karena saya membaca buku itu saat semester 5, di mata kuliah Penulisan Feature Media Massa Cetak.
Saya sadar, sepertinya tidak banyak manusia Indonesia yang memiliki kemampuan menulis sampai berlembar-lembar dengan gaya bahasa yang asyik, dan alur yang mengalir, namun tetap berada dalam kaidah jurnalisme.
Kesadaran saya semakin tinggi, saat saya dan teman-teman mengumpulkan tugas akhir mata kuliah Pelaporan Mendalam. Hanya sedkit teman-teman yang bisa mengumpulkan tugas hingga empat judul (minimal tiga judul) dengan tulisan yang mendalam dan deskriptif. Sebenarnya, apa yang salah dari kita, manusia Indonesia pada umumnya, dan kita, orang-orang yang biasa menulis?
mungkin karena giginya tanggal ya bung hehehehe bcanda piss
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.