Institut Studi Arus Informasi
JAKARTA -- Kejadiannya bermula di Jeuram, sekitar 275 km selatan Banda Aceh, akhir Mei 1999. Golkar adakan kampanye dan mendatangkan politikus Abdul Gafur dari Jakarta. Namun tampaknya tidak semua orang Aceh suka dengan pertemuan itu.
Harian Kompas memberitakan sebelum Gafur bicara, kampanye itu sudah berakhir. Batu-batu berterbangan. Seorang pengurus Golkar mencoba tenangkan massa. Mobil Kijang milik Golkar dibakar massa sehingga Gafur terpaksa menyelamatkan diri dengan "mobil lain." Kompas menaruh berita itu sebagai headline di halaman satu: "Kampanye Golkar di Aceh Barat: Rusuh, Abdul Gafur Selamat."
Sehari sesudahnya, Kemala Motik, isteri Gafur yang ikut ke Aceh, melayangkan surat protes kepada Kompas. Menurut Motik, "keadaan memang tidak mengijinkan" namun mereka berdua turun panggung "seraya melambaikan tangan dan bersalaman dengan massa rakyat yang berkerumun." Kalau keadaannya seseram berita Kompas, apakah mungkin Gafur dan rombongan berleha-leha meninggalkan panggung? Menurut Motik, Kompas memuat "pemberitaan yang amat berat sebelah."
Ini hanya satu dari puluhan, bahkan mungkin ratusan, ketidakakuratan berita pers di Indonesia. Dari Kompas dan Tempo, dua penerbitan paling berpengaruh di Indonesia, hingga tabloid-tabloid sensasional, dari RCTI yang swasta hingga TVRI yang pemerintah, selalu muncul berita-berita yang dituduh tidak akurat. Syukur kalau para editor memahami persoalan dan memberikan hak jawab yang layak kepada sumber-sumber mereka.
Namun yang sering terjadi adalah persoalan ini tak jelas penyelesaiannya. Mekanisme penyelesaian bisa berlapis-lapis dari yang paling sederhana (hak jawab) hingga yang paling rumit dan mahal (sidang pengadilan). Ada yang terkatung-katung dalam prosedur hukum yang tidak jelas. Namun banyak juga yang mencapai kesepakatan kabur di belakang pintu. Mungkin minta maaf. Mungkin main gertak.
Apalagi sejak jatuhnya presiden Suharto bulan Mei 1998, pers jadi lebih leluasa dalam bekerja. Koran-koran lebih lugas dalam buat berita. Televisi dan radio juga berlomba lomba memperbaiki dirinya. Namun keluhan anggota-anggota masyarakat terhadap berita berita pers yang tidak akurat, bahkan yang sensasional, juga deras mengalir.
Wartawan-wartawan baru cenderung bekerja tergesa-gesa dengan sarana dan anggaran terbatas sehingga membuat kesalahan lebih sering.
Dulu ketika Suharto berkuasa, kesalahan-kesalahan ini dipantau oleh Departemen Penerangan atau kantor-kantor pemerintah dan militer lainnya. Bila ada wartawan yang salah, langsung saja pemerintah mengambil tindakan. Ada yang sekedar teguran. Namun ada yang vonis mati dengan pembredelan. Kekuasaan pemerintah ini dikorupsi sehingga penafsiran salah atau benar menjadi monopoli pemerintah. Pengalaman itu berlalu dengan sangat menyakitkan karena timbulnya korban-korban semacam mingguan Tempo, harian Indonesia Raya dan lain-lain.
RUU soal Dewan Pers dan Ombudsman
Dengan berlalunya era Suharto, seyogyanya Indonesia mencari cara-cara baru untuk mengatasi ketidakakuratan berita maupun penyalahgunaan pers. Masyarakat harus terlibat dalam mengawasi media massa. Usaha ini sudah memperlihatkan bentuk dalam dua versi RUU Pers yang sejak bulan Juli ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masing-masing dibuat oleh Departemen Penerangan (bersama dengan RUU Siaran dan RUU Film) dan inisiatif anggota-anggota DPR.
Dalam kedua RUU itu terdapat pasal-pasal mengenai Dewan Pers dan ombudsman untuk mengatasi persoalan macam Kemala Motik. RUU versi Departemen Penerangan hanya mencantumkan soal Dewan Pers (pasal 11). Sedangkan RUU versi usulan anggota-anggota DPR --yang sebenarnya disusun oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia-- mencantumkan Dewan Pers (pasal 16, pasal 17 dan pasal 19) maupun ombudsman (pasal 18).
Kata "ombudsman" berasal dari bahasa-bahasa di daerah Skandinavia. Dalam bahasa Inggris, OM-buds-man artinya kurang lebih "orang yang go-between" atau "intermediary." Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya "orang yang di tengah" atau "perantara." Ombudsman biasanya bertugas menjadi perantara antara dua pihak yang bersengketa.
Kedua RUU sepakat bahwa Dewan Pers harus mandiri dari kekuasaan pemerintah. Dewan Pers ini tidak secara ex-officio dikepalai oleh Menteri Penerangan seperti yang berlaku selama era Suharto. Anggota-anggota Dewan Pers versi baru dipilih oleh organisasi-organisasi media dan ditetapkan oleh Presiden.
Dewan Pers ini terdiri dari 15 orang yang mewakili organisasi wartawan (5 orang), organisasi pemilik media (5 orang) dan pakar media massa (5 orang) yang ditunjuk oleh organisasi wartawan dan organisasi pemilik media.
Kata "ombudsman" memang tidak tersurat dicantumkan dalam RUU versi MPPI namun maksudnya jelas mengacu pada fungsi-fungsi ombudsman. Lengkapnya pasal 18 versi MPPI itu berbunyi, "(1) Dewan Pers menunjuk seorang atau lebih tokoh masyarakat di provinsi-provinsi yang dianggap perlu yang bertugas: a. Membantu Dewan Pers untuk menerima dan menyelidiki keluhan anggota masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan suatu media tertentu; b. Memberikan rekomendasi dan laporan penyelidikan kepada Dewan Pers maupun media yang bersangkutan. (2) Tokoh masyarakat ini hanya menindaklanjuti pengaduan dari individu bukan organisasi atau lembaga-lembaga pemerintahan."
Saya berpikir alangkah baiknya bila ide soal ombudsman dan Dewan Pers ini digodok lebih matang dan dipakai secara efisien di Indonesia. Dalam tradisi pers bebas yang lebih tua dari Indonesia, keberadaan ombudsman memang menjadi prosedur yang cukup baik buat menyelesaikan masalah macam Kemala Motik. Mereka biasanya menunjuk seorang yang berwibawa dan arief bijaksana untuk menjadi ombudsman. Ada yang terkait dengan Dewan Pers mereka. Namun ada yang total terpisah dari organisasi negara atau pemerintahan.
Swedia dan Amerika Serikat
Ada dua contoh menarik. Pertama adalah peranan ombudsman di Amerika Serikat. Kedua adalah peranan ombudsman dan Dewan Pers di Swedia.
Amerika Serikat menarik karena negara ini adalah negara dengan penduduk banyak dan beragam. Di negara raksasa ini ombudsman tidak diatur oleh negara. Tidak ada undang-undang yang mengharuskan media massa memiliki ombudsman. Namun sejumlah media massa memiliki ombudsman karena mereka merasa fungsinya diperlukan.
Swedia menarik karena negara ini memiliki ombudsman pertama kali di dunia. Mereka mengadakannya pada tahun 1960 untuk melengkapi fungsi Dewan Pers mereka yang didirikan sejak 1920. Berbeda dengan Amerika, di Swedia hanya ada satu ombudsman yang melayani kepentingan semua suratkabar di seluruh negeri Skandinavia itu. Ombudsman pertama di Amerika Serikat dibentuk oleh harian Courier Journal yang terbit di Louisville, Kentucky, tahun 1967.
Menurut Lynne Enders Glaser dalam sebuah laporan berjudul "Ombudsmen and the Bottom Line" yang diterbitkan oleh jurnal "The World and I" [Oktober 1995], tugas ombudsman dalam sebuah organisasi berita di Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
- Mendengarkan keluhan maupun usulan dari para pembaca;
- Menyelidiki keluhan pembaca atau sumber berita serta menulis kolom secara teratur yang isinya mengkritik kekurangan-kekurangan suratkabarnya dan mendorong perbaikan dari segi editorial;
- Membantu membangun kredibilitas suratkabarnya;
- Membantu mempromosikan loyalitas para pembaca;
- Membantu merangsang pertumbuhan sirkulasi suratkabar dan peningkatan iklan;
- Dengan bertugas sebagai pendengar yang baik dan perantara yang jujur antara suratkabar dan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan suratkabarnya, ia juga berfungsi mengurangi kemungkinan gugatan hukum kepada suratkabarnya;
Memang tidak semua suratkabar di Amerika memiliki ombudsman. Menurut Glaser, yang pernah menjadi ketua Organization of News Ombudsmen (ONO), hanya sekitar 30-an dari 1600-an suratkabar di Amerika Serikat yang memiliki ombudsman. Mereka yang memiliki ombudsman antara lain: The Washington Post, Chicago Tribune, Boston Globe dan Philadelphia Inquirer. Mereka yang menolak memiliki ombudsman antara lain: The New York Times, USA Today dan Wall Street Journal.
Salah satu cerita yang paling sering dikaitkan dengan fungsi ombudsman terjadi pada harian The Washington Post. Pada tahun 1981 suratkabar ini mengembalikan hadiah Pulitzer setelah ombudsman mereka, Bill Green, menangani reporter pemenang Pulitzer, Janet Cooke, yang ternyata mengarang keberadaan seorang tokoh utama, bocah Jimmy, dalam laporannya. Editor Washington Post Benjamin Bradlee menugaskan Green menyelidiki laporan Cooke. Cooke ternyata menipu. Bahkan riwayat hidupnya juga dipalsu. Ia mengaku mampu berbahasa Perancis dan Green mewawancarainya dalam bahasa Perancis namun gagal. Dan rekomendasi Green adalah permintaan maaf dari Washington Post kepada masyarakat pembacanya serta pengembalian hadiah Pulitzer. Bradlee menerima semua rekomendasi Green dan meminta maaf. Cooke mengundurkan diri dan tidak pernah bisa bekerja sebagai wartawan lagi.
Washington Post memang malu namun kredibilitas mereka sebagai suratkabar justru naik karena mau mengakui kesalahannya dan mengambil tindakan-tindakan tegas untuk memperbaiki diri mereka.
A.M. Rosenthal dari The New York Times berpendapat keberadaan ombudsman membuat para editor jadi malas. Mereka malas dalam melakukan koreksi terhadap kebijakan editorial mereka karena sudah ada orang lain yang melakukan pekerjaan tersebut. Alasan inilah yang membuat The New York Times, salah satu harian paling berpengaruh di dunia, menolak mempekerjakan seorang ombudsman.
Menurut Olle Stenholm, mantan ketua National Press Club, di Swedia seorang ombudsman ditunjuk oleh Dewan Pers. Berbeda dengan usulan MPPI maupun Departemen Penerangan, Dewan Pers di Swedia hanya memiliki enam anggota di mana tiga di antaranya mewakili asosiasi penerbit suratkabar, serikat buruh wartawan dan organisasi professional media (National Press Club). Tiga yang lain mewakili organisasi non media seperti pengacara serta konsumen. Dewan Pers inilah yang menunjuk seseorang untuk menjadi pressombudsman buat Swedia. Namanya disebut "pressombudsman" untuk membedakannya dengan ombudsman-ombudsman untuk urusan lain misalnya parlemen, konsumen dan sebagainya.
Tugas ombudsman di Swedia hampir mirip dengan rekan-rekannya di Amerika Serikat. Mereka menerima keluhan dari masyarakat dan menyelidikinya. Ia mendengarkan kedua belah pihak. Dari sisi suratkabar maupun dari orang yang mengeluh. Dari hasil temuannya itu, ombudsman mencoba menyelesaikannya lewat pendekatan hak jawab. Biasanya penyelesaian itu sudah cukup. Kedua belah pihak puas dan tidak ada gugatan hukum lagi. Namun bila berlarut-larut ombudsman bisa memberikan rekomendasi kepada Dewan Pers yang akan mengambil keputusan akhir.
Stenholm menekankan bahwa apabila seseorang hendak menggunakan jasa ombudsman, maka orang itu tidak boleh menggunakan pengacara dan tidak boleh menuntut ganti rugi material. Maksudnya sangat jelas. Ini urusan benar tidaknya media. Uang ganti rugi terkadang mengaburkan gugatan. Ombudsman hanya melayani tuntutan kawula alit. Ia menolak mengurusi keluhan organisasi -baik organisasi pemerintah, militer, bisnis maupun agama-atau para pejabat pemerintah. Organisasi dan pejabat publik di Swedia dianggap memiliki caranya sendiri untuk mengatasi persoalan media.
Mengapa di Swedia hanya ada satu ombudsman yang berlaku untuk semua suratkabar sedangkan di Amerika Serikat satu suratkabar memiliki satu ombudsman? Analisanya sederhana saja. Swedia adalah negara maju dengan penduduk sekitar delapan juta orang. Sedangkan Amerika Serikat adalah negara berpenduduk terpadat ketiga di dunia (setelah Cina dan India). Sulit membayangkan negara dengan penduduk hampir 300 juta jiwa ini hanya memiliki seorang ombudsman.
Ombudsman dan Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki penduduk sekitar 210 juta dan lebih dari 1,000 suratkabar? Model Swedia atau model Amerika Serikat?
Kalau Indonesia hendak menerapkan model Amerika Serikat, tidak banyak organisasi berita di Indonesia yang sanggup mempekerjakan seorang ombdusman. Jangankan mencari ombudsman, mencari wartawan saja mereka masih mengalami kesulitan.
Berdasarkan survei Organization of News Ombudsmen, suratkabar Amerika Serikat yang memiliki ombudsman memiliki sirkulasi rata-rata antara 125,000 dan 400,000. Koran kecil jarang yang sanggup memiliki ombudsman. Padahal di Indonesia sirkulasi koran kecil sekali.
Namun masih mungkin bagi organisasi semacam Kompas-Gramedia untuk memiliki ombudsman cara Amerika Serikat. Kelompok media paling besar di Indonesia ini memiliki semua kemungkinan buat memasang seorang ombudsman. Selain Kompas, suratkabar besar macam Jawa Pos (Surabaya), juga memiliki kemampuan untuk memiliki ombudsman.
Model Swedia juga sulit dipakai di Indonesia mengingat skala Swedia yang kecil. Tidak mungkin buat Indonesia untuk hanya memiliki seorang ombudsman untuk melayani pembaca, pendengar dan pemirsa dari Sabang sampai Merauke.
Pekerjaan seorang ombudsman pada dasarnya adalah mendengar keluhan orang.
Bagaimana mungkin seseorang bertugas mendengarkan keluhan seorang pembaca suratkabar di Medan dan keesokan harinya harus berada di Surabaya untuk melakukan hal yang sama? Stenholm, dalam kunjungan selama satu minggu ke Indonesia bulan April 1999, berpendapat bahwa Indonesia seharusnya membangun sistem ombudsman sendiri.
Saya setuju dengan penyelesaian ala RUU Pers versi MPPI. Versi ini mengawinkan versi Swedia maupun Amerika Serikat. Versi ini menyebutkan seorang ombudsman di Indonesia dipilih oleh Dewan Pers di provinsi-provinsi di mana keberadaan seorang ombudsman dianggap perlu. Jadi wilayah kerja seorang ombudsman tak harus pada batas negara. Ia bekerja dengan batas-batas provinsi-provinsi saja.
Dengan cara kerja semacam ini, seorang pembaca yang dirugikan harian Waspada dengan mudah bisa mendatangi ombudsman yang bertugas di Medan. Seorang sumber yang dirugikan Jawa Pos atau Surabaya Post atau Surya juga dengan mudah mendatangi kantor ombudsman Surabaya. Hal yang sama bisa dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang atau Ujungpandang. Dewan Pers hanya perlu menentukan kota-kota mana yang memberlukan ombudsman serta menunjuk ombudsman di kota tersebut. Tidak semua provinsi otomatis memiliki ombudsman.
Namun ada satu hal yang mengganggu saya dalam RUU versi MPPI itu. Mereka keberatan memakai istilah ombusdman. MPPI mungkin berpendapat bahwa ombudsman adalah istilah “asing” yang lebih baik dicarikan istilah dalam bahasa Indonesianya saja. Karena itu MPPI memakai istilah "seseorang" atau "seorang tokoh masyarakat" dalam draft yang mereka sampaikan ke DPR.
Saya bertanya pada Prof. Liek Wilardjo dari Universitas Kristen Satya Wacana serta pakar istilah umum dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menurut Wilardjo, kalau istilah ombudsman ini hendak dipakai di Indonesia, sebaiknya dipakai saja istilah ombudsman tanpa harus dicari-cari istilahnya dalam bahasa Indonesia. "Dari Sansekerta bisa saja dicari-cari tapi saya rasa lebih baik tidak usah diubah," ujarnya.
Wilardjo punya beberapa alasan. Pertama dalam bahasa Indonesia memang belum ada konsep ombudsman. Bahasa Indonesia mengenal istilah "parampara" namun artinya lebih mirip istilah "counselor" atau "penasehat yang berimbang". Istilah ombudsman juga sudah menjadi istilah internasional. Bahasa Inggris juga menyerap istilah itu dari bahasa Swedia. Jurnal-jurnal sains juga secara luas memakai istilah ombudsman. Wilardjo juga berpendapat kata ombudsman mudah dilafalkan dalam bahasa Indonesia dan ejaannya mudah.
Menurut Wilardjo, orang yang disebut ombudsman biasanya diasosiasikan dengan seseorang yang berwibawa, memiliki integritas tinggi dan mampu buat keputusan yang arief dan bijaksana. Seorang ombudsman tidak harus seorang wartawan. "Biasanya cukup tua, bukan anak muda yang ambisius," ujar Wilardjo. "Ombudsman ini tidak harus orang yang secara teknis menguasai media. Soal-soal teknis dia bisa konsultasi, yang lebih penting, dia harus bikin keputusan yang arief dan bijaksana," kata Wilardjo.
Stenhold juga mengiyakannya. Di Swedia sendiri omdusman pertama, ketika lembaga ini didirikan tahun 1960, adalah seorang mantan hakim. Ia juga digantikan oleh seorang mantan hakim. Ketiga kalinya jabatan ini diduduki oleh seorang akademisi senior dan keempat diduduki oleh seorang pensiunan pemimpin redaksi.
Siapa yang nanti akan menjadi ombudsman-ombudsman pertama di Indonesia?
Kita tunggu saja pembahasan di ruangan-ruangan DPR. Mudah-mudahan anggota-anggota DPR memahami konsep ini dan membuat ombudsman menjadi satu institusi baru dalam dunia pers di Indonesia. Setidaknya orang bisa mengeluh kepada institusi ini daripada menyimpan dendam atau melancarkan gugatan hukum.
Majalah Pantau, edisi 05 - Agustus 1999
No comments:
Post a Comment