Jakarta, Kabar dari Pijar (31/7)
Secara resmi Burma diterima sebagai anggota ASEAN pada pertemuan para menlu di Kuala Lumpur (23/7) Malaysia. Tentu saja banyak kalangan aktivis pembebasan rakyat Burma yang menyesali keputusan tersebut. Mengingat rejim SLORC menjalankan politik represi dan mempersulit gerak perjuangan demokratisasi oleh Suu Kyi dengan NLD-nya.
Bertempat di gedung Teater Utan Kayu di Jl. Utan Kayu Jakarta Timur, digelar acara diskusi tentang Burma pada Rabu (30/7). Diskusi agaknya sedikit mendadak diadakan, sebagai bagian dari penyambutan kedatangan aktivis Burma di Jakarta. Diskusi yang dimulai pada 16.00 ini menampilkan pembicara Coki Naipospos dari PIJAR Indonesia, Debbie Stothard dari Alternative Asean Network on Burma (ALTSEAN) yang berkedudukan di Bangkok, dan Asvi Marwan Adam dari LIPI.
Moderator Andreas Harsono dari ISAI menjelaskan bahwa diskusi kali ini secara khusus memang membahas kondisi dan situasi Burma aktual, khususnya berkait dengan masuknya negara tersebut dalam ASEAN. Andreas pertama-tama meminta argumentasi dari Coki mengapa PIJAR Indonesia aktif menyuarakan kepentingan rakyat Burma di ASEAN.
Menjawab hal itu, Coki memaparkan lima alasan yang menjadi landasan PIJAR. Pertama; terkait dengan fakta historis Burma sebagai pendukung kemerdekaan Indonesia dan aktif membantu lewat jalur material berupa senjata maupun diplomasi internasional. Termasuk pada 1946 Jenderal Ne Win mengontak Nehru agar pertemuan negara-negara Asia baru merdeka membicarakan secara khusus dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Kedua; sebagai jawaban atas kritik Herbert Feith pada aktivis Indonesia yang terlalu inward looking. Ketiga; Meneruskan tradisi para pejuang pendahulu yang aktif bekerjasama dalam membebaskan negara-negara Asia Afrika dari cengkeraman imperialisme-kapitalisme. "Kalau para pejuang dahulu seperti Sukarno, Nehru, U Nu, Chou En Lay dan Nasser bisa bekerjasama, kenapa kita tidak?" tanya Coki. Keempat; perlunya konsolidasi jaringan aktifis gerakan pro-demokrasi mengingat semakin kuatnya 'solidaritas' antar rejim otoritarian di Asia Tenggara. Dari yang kasar seperti Indonesia dan Malaysia, hingga yang soft otoritarian seperti Filipina dan Thailand. Kelima; komitmen pada prinsip universalitas nilai-nilai HAM yang harus dimiliki setiap manusia tanpa mengenal perbedaan.
Sedangkan Debbie Stothard memaparkan aktifitas ALTSEAN sebagai institusi mediasi bagi para aktivis pembebasan rakyat Burma dari seluruh dunia. Ia kembali menegaskan pentingnya kerjasama di antara mereka. Mengingat kerja sama para penguasa ASEAN tidak hanya dalam bentuk loby dan diplomasi internasional, melainkan sudah pada kerjasama intelijen. "Seperti penangkalan masuknya Syed Husin Ali di Bandara Sukarno-Hatta", ungkapnya memberi bukti. Sebagaimana diketahui, Husin Ali adalah Presiden Parti Rakyat Malaysia (PRM) yang pernah di penjara tanpa pengadilan dari 1974 sampai 1980 berdasarkan UU Keamanan Dalam Negeri Malaysia. Ia terkenal vokal berbicara demokratisasi Malaysia dan concern pada masalah Burma.
Sebelum sesi dialog, Asvi Marwan Adam diberi kesempatan berbicara. Ia lalu menceritakan pengalamannya selama kunjungan di Burma. Disebabkan totalitarianisme, di sana tidak ada kesenjangan ekonomi mencolok antar warga dan warga patuh sekali pada hukum. "Di sana miskin sama-sama miskin. Contohnya saya bertemu menteri yang mengenakan sarung seperti rakyat kebanyakan. Lalu lintas teratur dan orang setelah melanggar tidak akan pergi sampai polisi datang menyelesaikan. Mungkin karena ketakutan akibat represi selama ini" ungkapnya memberi contoh.
Dalam sesi tanya jawab, kebanyakan peserta menyambut baik ajakan untuk lebih memperhatikan Burma. Diva dari STI&K mengemukakan fakta hubungan yang terjadi selama ini di ASEAN adalah government to government, bukan people to people. "Jadi di situ lebih terasa warna kepentingan elit pemerintahan, seperti bisnis keluarga Suharto di Burma" komentarnya. Sedangkan mahasiswa bernama Haikal mengkritisi argumentasi Asian values sebagai senjata penangkal dari para pejabat ASEAN terhadap isu universalitas HAM dan kedaulatan rakyat.
Coki dalam kesempatan menjawab membenarkan adanya retorika Asian values/Asian ways yang dalam buku Richard Robinson berinti tiga hal: Harmoni, hirarki dan konsensus. Menurutnya, diantara berbagai solidaritas regional seperti Amerika Latin dan Kaukasus misalnya, hanya ASEAN yang senantiasa menampilkan penguatan rasa identitas diri secara berlebihan. "Retorika yang dimainan ASEAN ini di masa depan amatlah berbahaya. Mengingat akan makin mempertajam kemungkinan terjadinya apa yang dalam tesis Samuel Huntington sebagai benturan peradaban Timur vs Barat (Clash of Civilization) menjadi kenyataan".
Selanjutnya Debbie menyambung bahwa konsensus yang konon merupakan Asian ways adalah omong kosong belaka. Ia memberi contoh Para menteri luar negeri mengambil langkah voting guna menentukan masuk tidaknya Myanmar ke dalam ASEAN. "Ini satu bukti kontradiksi atas klaim Asian ways yang salah satunya adalah konsensus/mufakat" tegas Debbie.
Diskusi pada akhirnya mengarah pada pemaparan Debbie terhadap kondisi Myanmar. Ia yang pernah tinggal lama di sana menolak segala fakta yang terlihat baik di permukaan sebagaimana disaksikan Aswin. Baginya kriminalitas amat menakutkan karena mayoritas rakyat tak berpendidikan dan menganggur. Sejak 1988 ekspor candu ke seluruh dunia ditangani langsung oleh SLORC. Korupsi merajalela sebagai dampak ketiadaan kontrol rakyat.
Anggaran belanja negara yang dikuasai junta militer sebanyak 40% digunakan belanja senjata, dan hanya 4% pembiayaan pendidikan yang mengakibatkan banyak sekolah terpaksa tutup. Prostitusi menunjukkan peningkatannya, hingga dari 48 juta penduduk Burma, 2% nya positif mengidap HIV. Dan karena rendahnya kepedulian pada sektor kesehatan, setengah dari seluruh balita Burma mengalami malnutrisi.