Andreas Harsono
Suara Merdeka, 17 Januari 1992
KESAN saya ketika bangun pagi di suatu kota bernama Amsterdam adalah Dunia Ketiga. Di Amsterdam memang terdapat banyak sekali orang-orang dari berbagai negara Dunia Ketiga. Di dalam trem, di jalanan, di cafĂ©, pertokoan, selalu terdapat entah orang dari Afrika. Dengan rambut ala Ruud Gullit berpelukan di tengah jalan. Atau orang India. Yang berkulit kuning juga banyak. Orang dari Vietnam misalnya, banyak yang berjualan lumpia di pasar-pasar. Rumah makan Suriname juga tersebar di segala sudut kota menjual berbagai makanan antara lain… nasi goreng. Lucunya, nasi goreng oleh sebagian orang besar penduduk Amsterdam dibanggakan sebagai makanan khas Amsterdam.
Suatu malam saya pernah mencoba memesan nasi goreng di restoran Jawa dan hasilnya memang mengagumkan. Sepiring nasi berwarna kemerahan, mungkin digoreng memakai saos tomat, lengkap dengan daging ayam, daging asap (sapi) dan sayuran. Porsinya bikin kaget saja. Kalau untuk ukuran orang di Salatiga, satu porsi nasi goreng di Amsterdam, cukup untuk dua orang mahasiswa Salatiga. Tetapi harus akui memang lezat sekali. Bolehlah dibandingkan dengan nasi goreng ala hotel berbintang lima di Indonesia.
Kesan tentang banyaknya orang kulit berwarna ini tentu tidak lengkap kalau tidak di kaitkan dengan orang-orang berkulit sawo matang dari pulau di Nusantara. Orang Jawa, orang Maluku, orang Sumatra, orang Papua dan lainnya, juga banyak sekali terdapat di Amsterdam.
Pernah dalam satu kesempatan bersama Joss Wibisono, wartawan radio siaran bahasa Indonesia di Hilversum, saya pergi ke satu cafetaria terkenal bersama De Jahre. Di cafetaria yang terletak di tepi sungai Amstel nan indah itu, di suatu sudut saya melihat satu gadis cantik, kelihatannya orang Jawa asli, asyik berbincang-bincang dengan rekan-rekanny, semua berkulit putih. Tetapi bahasa Belanda-nya, alamak, tanpa cacat sama sekali. Persis orang Belanda asli.
Cafetaria luas dan berpenampilan arsitektur kuno itu terkenal sebagai tempat dimana intelektual pada ngumpul. Sedikit-sedikit kalimat-kalimat bahasa Perancis muncul dalam perbincangan mereka. Dan saya sama sekali melihat orang-orang kulit berwarna “bengong” di sana. Atau ada pandangan yang kurang senang dari orang Belanda sendiri terhadap orang kulit berwarna.
Padahal ketika saya datang ke Amsterdam, benua Eropa sedang diguncang oleh nasionalisme anti kulit berwarna. Di Jerman dan Prancis, orang-orang ultra kanan intimidasi orang kulit berwarna. Pemukulan. Pembakaran dan semacam itu masuk ke berbagai media massa. Tetapi tidak terjadi apa-apa di Belanda. Musik reggae ala Amerika Latin. Atau musik penuh rintihan, atau apapun namanya itu, ala Afrika juga tetap terdengar di beberapa tempat.
Saya jadi ingat komentar seorang pemudi Jerman yang tinggal di Berlin, “Bila suasana Jerman sudah terlampau menegangkan, saya pasti memilih untuk beremigrasi ke Belanda. Amsterdam memang kota Dunia Ketiga."
Sarang Laba-laba
Tetapi bukan itu saja. Amsterdam juga terkenal karena kanal-kanal-nya. Kota ini ibarat suatu sarang laba-laba dengan pusatnya Stasiun Sentral (Centraal Station).
Dari stasiun ini terdapat mulut-mulut jalan besar. Antara lain yang terkenal adalah Jalan Damrak dan Rokin. Dan melingkari stasiun secara berlapis-lapis, sekaligus berpotongan dengan jalan-jalan utama itu, adalah kanal-kanal yang dipenuhi dengan perahu khas Belanda.
Setiap kali melewati satu jembatan di atas kanal, saya tak henti-hentinya mengagumi keindahannya. Amsterdam memang terletak di dekat laut, konon ketinggiannya rendah sekali dari permukaan laut hingga dibuatlah dam-dam. Karena dibangun di dekat sungai Amstel, lama kelamaan orang menyebut daerah ini sebagai Amsterdam. Keadaan lingkungan yang seperti inilah, yang membuat kota ini, dilihat dari udara maupun dilihat dari petanya, mirip sebuah sarang laba-laba raksasa.
Kalau Amsterdam ibarat sarang laba-laba, maka saya berani bertaruh sepeda adalah laba-labanya.
Sepeda di Amsterdam terdapat dalam jumlah yang luar biasa. Di mana-mana ada sepeda. Entah gadis cantik dengan gaun untuk pesta cocktail atau seorang gentleman dengan jas lengkap, tidak susah ditemui sedang mengayuh sepeda dengan bersemangat.
Jalur untuk sepeda makin tahun makin bertambah. Sepeda-sepeda “tua” seperti yang biasa di pakai para petani di Jawa untuk mengangkut gabah atau keranjang bambu, tampaknya populer sekali di Belanda. Dari pada menaiki sepeda, yang di Indonesia dikenal dengan istilah “sepeda federal,” orang Belanda lebih memilih naik sepeda kumbang. Di Salatiga, sepeda ini disebut dengan istilah “sepeda kebo."
Setiap Keluarga Punya Sepeda
Belakangan saya tahu, bahwa setiap keluarga di Belanda sedikitnya memiliki dua atau tiga sepeda. Dan salah satu di antaranya biasanya berupa sepeda sport. Kalau suka balap dipilihlah sepeda balap. Kalau suka berjalan-jalan di hutan dipilihlah “sepeda federal”.
Menurut data yang dikutip oleh Otto Soemarwoto, seorang peneliti ekologi dari Universitas Padjadjaran, perbandingan antara penduduk dan sepeda di Belanda adalah 1,3. Jadi setiap satu orang Belanda memiliki 1,3 sepeda. Ini luar biasa karena berarti tidak sedikit orang belanda yang memiliki dua sepeda.
Bandingkan keadaan di Amsterdam ini dengan Salatiga misalnya. Di kota saya, naik sepeda sudah menjadi suatu kebiasaan yang membahayakan mengingat betapa buasnya para pengemudi kendaraan bermotor dalam menjalankan kendaraannya. Tanpa adanya jalur khusus sepeda, mereka bisa tanpa sengaja menabrak mati seorang pengendara sepeda yang paling sopan sekalipun.
Memang lain lubuk lain ikannya. Di Amsterdam suatu malam saya pernah melihat seorang pengemudi sepeda, kemungkinan seorang mahasiswa Universitas Amsterdam, yang jengkel dengan pengemudi mobil karena menjalankan mobilnya cukup kencang di gang sempit di wilayah kampus. Tanpa banyak basa-basi dipukulnya keras-keras atap mobil sedan tersebut.
Buntutnya dua orang pemuda kulit berwarna, kelihatannya dari Timur Tengah, keluar dari mobil sambil membawa pisau. Untung sang pengemudi sepeda yang dipojokkan oleh mobil tersebut tidak ambil pusing dari kejadian itu dan melaju kencang. Mobil mau mengejar tidak mungkin. Banyaknya tikungan dan sempitnya jalanan membuat sepeda bisa melaju jauh lebih cepat daripada mobil.
Soal Prasarana
Saya pikir, kalau prasarana buat transportasi sepeda dibangun dan dipelihara dengan baik, orang pasti lebih suka untuk berpergian dengan sepeda. Selain menyehatkan, dengan bersepeda orang juga tidak melakukan pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh asap pembakaran mesin kendaraan bermotor.
Keadaan inilah yang muncul sebagai arus deras di seluruh Belanda. Tua maupun muda. Laki-laki maupun perempuan. Kaya maupun yang miskin. Hitam maupun yang putih kulitnya. Kalau keadaan memungkinkan, mereka memilih naik sepeda.
Untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh, sepeda juga bisa dimasukan ke dalam gerbong kereta api. Ada kereta yang menerima sepeda juga sehingga tidak mengherankan apabila di stasiun saya sering lihat seorang pemuda menuntun sepeda di lorong-lorong stasiun.
Dari cerita beberapa rekan di Belanda, kebanyakan pekerja memilih untuk mempunyai dua sepeda sekaligus. Satu digunakan dari rumah ke stasiun. Sedangkan yang satu diparkir dekat stasiun tujuan dan dipakai untuk pergi ke tempat bekerja. Perjalanan panjang ditempuh dengan kereta api sedangkan perjalanan pendek di tempuh dengan sepeda.
Beberapa perusahaan juga menyediakan handuk bersih setiap pagi, bagi pekerja yang bersedia naik sepeda ke kantor. Maksudnya untuk keperluan mengeringkan setelah mandi di kantor. Saya pikir, “Wah, sudah maju sekali.”
Kereta api, trem maupun bus umum, pelayanannya juga baik sekali (setidaknya apabila dibandingkan beberapa faktornya dengan pelayanan di kota-kota di Indonesia).
Di dalam kendaraan umum, untuk jarak jauh biasanya di bagi dalam dua ruangan. Satu untuk yang merokok sedang satu yang bebas asap rokok. Tetapi di dalam trem dan bus umum, para penumpang dilarang merokok. Pertimbangannya, karena asap rokok selain mengganggu sang perokok juga mengganggu kesehatan orang yang tidak merokok. Adanya peraturan ini tentu sangat menyamankan para penumpang.
Dengan kendaraan umum, para warga kota Amsterdam juga bisa pergi ke pusat-pusat kota, yang tidak bisa mereka jangkau kalau memakai mobil pribadi. Pendek kata, sebagai seorang warga Salatiga yang banyak bepergian di seluruh kota-kota besar Jawa dan mengetahui betapa jeleknya jasa transportasi umum di Indonesia, saya terus terang cemburu kepada warga kota di Belanda.
Seorang rekan dari Indonesia bercerita bagaimana mahalnya untuk memiliki sebuah mobil sedemikian rupa sehingga lebih baik punya dua sepeda atau bahkan tiga sekaligus diparkir di tempat-tempat yang berbeda dengan … rantai kapal agar tidak diambil orang lain yang lagi butuh sepeda.
Pencopet
Harap maklum. Amsterdam juga banyak pencuri maupun pencopet. Lucunya, keadaan ini justru “dibanggakan”. Saya katakan demikian karena fenomena itu justru mereka jual, dikomersialkan misalnya dalam bentuk kartu pos.
Digambarkan bagaimana turis -turis dengan terharunya menikmati Amsterdam sambil bergumam, "Hmm … beautiful place, nice people”. Sementara pada saat yang bersamaan tiga pencopet menggerayangi kantongnya, tas travelnya dan kameranya.
Amsterdam memang gila. Entah apa pula maksud dari si pembuat kartun. Untuk meledek, membanggakan, mengkomersialkan atau mencampurkannya jadi satu.
Dan tentunya bukan hanya para pencopet yang dikartunkan. Gadis-gadis dari daerah lampu merah juga dibanggakan. Zeedijk adalah nama satu daerah di Amsterdam, dimana gadis-gadis dari berbagai bangsa duduk di balik jendela atau pintu kaca, dalam keremangan lampu merah, mereka hanya memakai lingerie (pakaian dalam yang berenda-renda) dan berusaha memikat calon pelanggannya. Saya pikir, tidak sedikit turis yang datang ke daerah ini untuk sekedar untuk sekedar melihat-lihat (termasuk saya).
Tempat Parkir
Jika di Indonesia khususnya di kota-kota besar, sepeda perlahan-lahan mulai tersingkir dan menghilang, di Amsterdam keberadaan sepeda tampaknya justru dimanjakan, dengan memberi fasilitas yang baik. Gambar di atas menampakkan area parkir sepeda di satu sudut kota itu. Pemerintah kota menyediakan sarana parkir, berupa tempat bagi ban sepeda, agar kendaraan nonmotor itu bisa tetap berdiri tegak dan rapi. Area parkir seperti ini sangat banyak jumlahnya di Amsterdam maupun di kota-kota di Belanda.
(Foto: Andreas Harsono)