Andreas Harsono
Suara Merdeka, Jumat, 13 Desember 1991
Dua hari saya di Jerman, saya sudah dibuat kagum oleh teraturnya transportasi umum. Untuk berpergian dalam kota, ada dua macam sarana transportasi umum: trem listrik dan bus kota. Jangan bayangkan bus kota di Jerman seperti bus kota di Jakarta, Surabaya atau di Semarang. Bus-bus dengan warna jingga itu hanya berhenti di halte yang disediakan, tepat pada waktu yang sudah ditentukan.
Ada lelucon tentang dua laki-laki Jerman sedang menunggu trem. Mereka berdua sekaligus juga sedang menunggu istri salah seorang di antaranya untuk berangkat bersama. Dua menit sebelum waktunya ternyata trem sudah datang, maka kedua jadi gelisah.
“Bagaimana ini istri Anda belum tiba,” tanya laki-laki yang pertama.
Dengan pelan rekannya menjawab. “Jangan khawatir. Istri saya lebih tepat waktu dari pada trem ini.”
Dan benar juga, dua menit kemudian, ketika trem hendak berangkat, istri laki-laki pertama sudah muncul.
“Unsur manusia sangat menentukan mutu suatu sistem agar sama-sama taat waktu,” begitulah inti dari lelucon.
Jadi, kalau ada orang yang ingin mau naik trem maupun bus, mula-mula yang dilihatnya adalah jam kedatangan bus bersangkutan di dinding halte. Kalau dicantumkan bus akan datang pukul 09:18, busnya akan datang pukul 09:18. Tentu bisa meleset. Tetapi sejauh pengalaman saya, tidak lebih dari 3 menit (kecuali kalau ada kejadian luar biasa).
Di Eropa memang ada ungkapan, “Orang Jerman memang luar biasa disiplin.” Mereka tidak kenal jam karet dan kalau mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas. Orang-orang Eropa yang lain jadinya menganggap orang Jerman itu sebagai orang-orang yang kaku dan tidak luwes.
Bagaimana kalau ada penumpang yang ingin naik bus di luar halte? Jelas tidak akan dibukakan pintu.
Awak bus memang hanya satu orang yaitu sang sopir. Buka tutup pintu diatur secara elektrik oleh sopir. Naik bus, kalau tidak membawa karcis, bisa beli pada sopir.
Di Bochum, di leander Nordrhein Westfalen, tempat saya menginap, tarip bus dalam kota DM 2 (Rp 2.200). Makin jauh jarak yang ditempuh –terkadang ada bus kota yang melewati dua atau tiga kota yang berdekatan– makin mahal pula harga yang harus dibayarkan.
Sedangkan di Kaiserslautern tiket bus dalam kota hanya DM1,8 (Rp 1,980).
Bagaimana kalau naik bus tidak membayar?
Karena memang tidak ada kondekturnya. Saya lihat kemungkinan untuk main kotor besar sekali. Ini mudah dilakukan karena pintu bus kota maupun trem selalu lebih dari satu pintu. Syukur kalau ini dilakukan tidak persis ada petugas kontrol. Tetapi kalau ada kontrol dan kewajiban memasukkan karcis ke tempat stempel otomatis ketahuan, seorang penumpang gelap bisa didenda DM 60 (sekitar Rp 66.000).
Selama di Jerman, saya belum pernah menemukan petugas kontrol masuk ke dalam bus dan memeriksa karcis. Tampaknya persentase yang menumpang secara gelap itu kecil sekali.
Seorang mahasiswa Indonesia mengatakan pada saya, “Di Jerman melakukan perbuatan seperti itu dianggap tidak ada untungnya. Sama seperti kalau di daerah pertokoan, barang-barang dijajarkan begitu saja tanpa penjagaan ketat seperti di Indonesia."
Jalur Sepeda
Selain dibuat kagum dengan pelayanan bus kota, saya juga kagum dengan prasarana bagi pengendara sepeda. Jalur buat sepeda dibuat khusus di daerah-daerah tertentu dalam kota. Jadi di setiap jalan, sekali lagi, di setiap jalan, ada tiga macam jalur.
Jalan aspal atau paving buat mobil (biasanya pas untuk dua mobil saja). Trotoar buat para pejalan kaki dan jalur (biasanya) berwarna merah khusus bagi pengendara sepeda. Di Bochum, Hamburg, Karlsruhe, Kaiserslautern. Koln, Bonn dan lain-lain, saya lihat jalur sepeda itu diadakan dalam jumlah yang besar. Konon kota pertama ayang membangun prasarana transportasi tak bermotor secara besar-besaran adalah kota Freiburg.
Persoalan bus kota dan sepeda ini penting karena sejak tahun 1970-an. Jerman dibuat pusing dengan meledaknya jumlah pemilik mobil. Sekitar 60 persen warga Jerman mempunyai mobil pribadi. Dalam satu keluarga tidak jarang ada lebih dari satu mobil. Jalan-jalan terus ditambah tapi tidak mampu mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas.
Di Jerman tidak sekali dua saya dibuat jengkel karena harus menunggu lama dalam kemacetan lalu lintas. Di Jakarta kemacetan lalu lintasnya jauh lebih parah dibandingkan di Jerman. Ini semua bisa terjadi karena dulu-dulunya pemerintah Jerman mendorong motorisasi agar setiap orang mudah bergerak dengan naik mobil. Alasannya, selain alasan-alasan usang soal kecepatan dan kepraktisan, adalah menunjang industri mobil. Di Jerman ada industri macam Mercedes–Benz. Opel, BMW dan lainnya.
Yang terjadi kemudian adalah pertumbuhan mobil lebih cepat dari pertumbuhan jalan. Walaupun sudah dibangun autobahn (semacam jalan tol tapi tidak perlu membayar seperti di Indonesia) dan landscape bridge (jembatan persilangan yang sangat luas sehingga diatasnya bisa dibangun sebuah taman), tetap saja persoalan kendaraan bermotor jadi masalah besar. Selain kepadatan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan juga jadi persoalan yang sulit dipecahkan.
Hari-hari saya di Jerman. Sedang terjadi pertikaian di kalangan elit Jerman tentang pembatasan kecepatan mobil dalam kota. Kelompok pecinta lingkungan, kaum cendekiawan maupun Partai Hijau, gerakan feminis dan sejenisnya, mendesak pemerintah untuk membatasi kecepatan mobil di dalam kota hanya 50 KM jam. Sementara dari kalangan industri mobil sangat berkeberatan dengan usulan tersebut.
Perdebatan ini cukup sengit mengingat panjangnya sejarah gerakan anti kendaraan bermotor di Jerman. Yang menarik lagi segenap pecinta lingkungan di dunia Barat kemudian membuat persetujuan internasional, dinamakan Northern Alliance, yang menjadikan tanggal 15 November sebuah hari anti-motorisasi. Mereka bikin kampanye dari Paris, New York sampai Rio de Janeiro.
Motorisasi juga berarti resiko lalu lintas. Untuk mengatasi bahaya tertabrak mobil maupun mengatasi kebisingannya, di Jerman, yang selama ini terjadi, adalah membuat polisi tidur. Polisi tidur ada dimana-mana bukan hanya di jalan di kampung tetapi juga di daerah perumahan dengan jalan yang lebar.
Dekat dengan tempat saya menginap, di sebuah hostel di Bochum, setiap 40-50-meter ada polisi tidur. Setidaknya ini cukup membuat para pengendara mobil tidak melarikan mobilnya dalam kecepatan tinggi.
Dan jangan anggap pengendara mobil di Jerman adalah pengendara yang ceroboh. Saya kuatir seorang pengendara mobil di Jerman bisa mati kaget kalau diharuskan mengendarai mobil di Indonesia.
Di Jerman para pengendara mobil tertib sekali. Pelanggaran lalu lintas ancamannya besar. Di zebra-cross para pengendara mobil dan penyeberangan jalan harus tertib menunggu lampu hijau. Biarpun jalan sepi kalau lampu merah artinya juga harus berhenti.
Di jalan-jalan yang tidak ada lampu lalu lintasannya, para pengendara mobil berhenti tanpa disuruh apabila melihat ada orang yang mau menyeberang jalan. Demikian pula di jalan-jalan yang macet tidak terlihat ada pengendara mobil yang tidak sabar lantas mengambil jalur yang tidak mejadi haknya. Semua serba tertib.
Tetapi masyarakat masih menuntut lebih banyak. Persoalan lalu lintas tidak bisa selesai hanya dengan membuat peraturan yang keras. Berapapun banyaknya jalan yang dibangun dan bagaimana pun ketatnya peraturan lalu lintas, belum bisa mengalahkan kecepatan pertumbuhan mobil, polusi udara, kebisingan. Ini tampaknya membuat banyak orang Jerman mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan yang lebih dasar.
Tuntutan yang bisa saya pelajari dari beberapa pertemuan dengan anggota parlemen, politikus Partai Hijau maupun Sozialdemokratische Partei Deutschlands, relawan-relawati dari berbagai macam organisasi dan kelompok cendekiawan, mereka menghendaki infrastruktur dan teknologi transportasi diubah.
Sistem Alternatif
Dan pilihan yang diinginkan adalah penyediaan transportasi umumnya yang baik, jalur sepeda di semua jalan serta riset-riset buat energi alternatif.
Untuk yang terakhir ini Jerman memang menyediakan dana besar-besaran buat penelitian di bidang energi alternatif. Ketika menjejakkan kaki pertama kalinya di Jerman, saya sudah dibuat terkesan dengan sebuah feature tentang mobil tenaga surya seperti disodorkan dalam koran Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung (22/9/1991). Ia koran serius yang paling berpengaruh di Jerman diterbitkan dari Frankfurt.
Saya juga sempat mengunjungi berbagai lembaga riset tentang energi alternatif seperti Oka Institute di Darmstadt. Energie und Umweltzentrum di Springe. Institute Fraunhofer di Karlsruhe dan lainnya. Ini belum lagi riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun perusahaan-perusahaan besar seperti Siemens, AEG, Bayer dan sebagainya.
Di Dortmund saya sempat mengunjungi pameran bunga tahunan, yang di salah satu pojoknya, ada pameran tentang mobil tenaga surya. Benar-benar mobil yang biasa jalan, dengan interior yang indah dan tidak memakan bensin.
Perusahaan-perusahaan inilah yang kemudian membuat banyak orang Jerman secara sadar menyimpan mobilnya di rumah (kecuali untuk weekend), dan memakai sepeda. Saya bahkan menjalin hubungan akrab dengan seorang antropolog Jerman, yang memilih untuk memakai sepeda kemana-mana, sedemikian rupa, dan lama, sehingga tak bisa menyetir mobil lagi!
Buat orang-orang seperti ini perubahan di bidang transportasi masih terlalu lambat. Mereka berpendapat pemerintah Jerman masih terlalu lambat dibandingkan Belanda dalam hal penyediaan sistem transportasi alternatif.
Di Belanda transportasi sepeda memang sudah dibuat sangat efisien sehingga kemana-mana orang dikondisikan untuk naik sepeda (pengalaman saya di Belanda menguatkan pendapat ini).
Parkir Mobil
Salah satu bukti perubahan transportasi ini adalah makin sulitnya mencari parkir mobil di seluruh Jerman. Saya tidak jarang harus menyediakan waktu seperempat lebih awal apabila harus berpergian ke suatu tempat dengan mobil. Di daerah pusat perkotaan (downtown) syukurlah kalau bisa parkir sekitar 500 meter dari tempat yang hendak saya tuju. Bahkan di ruangan parkir universitas, tidak jarang mahasiswa tidak mendapat tempat parkir. Mereka harus meletakkan mobilnya di tempat yang jauh sekali dari ruang kuliah. Dan terkadang waktu setengah jam bisa habis hanya untuk mencari ruang parkir.
Lebih gawat lagi, kalau parkir dekat pusat daerah perkotaan, tarif parkir sangat mahal. Di kota menengah seperti Bochum, parkir di jantung kota tarifnya DM1 per jam. Kalau hanya di pusat kota DM0.5 per jam. Di jantung tempat perbelanjaan dan makan, mobil dilarang masuk. Orang-orang yang bisa berjalan dan berbelanja di pertokoan dengan leluasa. Sedangkan berbelanja di kota besar seperti Dusseldorf, Koln dan lainnya, parkir di pusat kota bisa menjadi lebih mahal lagi. Di Dusseldorf misalnya, di daerah pusat kota DM3 per jam. Sistem parkirnya memakai mesin otomat.
Dalam pengalaman saya, biasanya para pengendara sepada juga tidak membawa sepedanya ke dalam zona tersebut. Karena memang lebih enak untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana shopping center daripada bersepeda. Di sini biasanya pedagang kakilima, yang menawarkan barang-barang yang eksotis. Kupu-kupu dari daerah tropis, kalung-kalung dari Amerika Latin atau Persia, cincin-cincin ala orang Gipsi.
Di sudut-sudut fuessgaengerzone, zona khusus pejalan kaki, di tengah kemilau etalase pertokoan yang mewah, saya juga sering menemukan para pengamen membawakan lagu-lagunya. Bukan seperti pengamen di Indonesia. Di Eropa pengamennya membawakan lagu-lagu dengan baik sekali. Teknik permainannya tinggi. Mereka menyanyi dengan meletakan kotak gitar atau topi sebagai tempat bagi orang yang berminat untuk menyumbang. Pernah dalam satu kesempatan saya berjumpa dengan penyanyi-penyanyi rakyat asal Peru. Lagu yang mereka bawakan indah sekali (dalam bahasa Spanyol).
Alat-alat yang dibawa bermacam-macam: pan flute, gitar, tamburin dan sebagainya. Lebih unik lagi, sambil menyanyi para penonton bisa membeli rekaman kaset mereka dalam bentuk CD (compact disk), piring hitam maupun kaset.
Saya waktu itu benar-benar menikmati musik mereka. Yang konon bercerita tentang kerinduan rakyat Peru terhadap kehadiran pahlawan-pahlawan mereka dari zaman lampau. Menarik bukan? Itulah bagian dari sistem transportasi tak bermotor yang ditawarkan di Jerman. Pembangunan prasarana transportasi tak bermotor, baik buat sepeda maupun pejalan kaki, ternyata juga menghadirkan dimensi yang mengagumkan.