Andreas Harsono
Bernas, 4 Desember 1991
Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.
Kejadian itu bermula dari satu gedung yang menjadi kantor dari berbagai gerakan lingkungan hidup di kota Hamburg. Sewaktu mengikuti satu seminar tentang hutan tropis di Kalimantan, yang terbakar secara luar biasa, saya ditawari seseorang yang berasal dari Birma untuk pergi ke rumahnya.
Pemuda Birma, yang sudah menetap 15 tahun di Jerman, mengajak saya untuk berbincang-bincang dengan rekan-rekannya yang lain. Entah mengenai kehidupan politik, kebudayaan, militer dan lainnya. Karena tawaran itu disampaikan dengan ramah, dan perasaan saya mengatakan, bahwa perjuangan ini mempunyai kepribadian yang menarik, dengan senang hati saya pergi ke rumahnya.
Rekan tersebut berasal dari suatu organisasi yang bernama Deutsch-Burmesische Gesellschaft e.V. Hamburg. Organisasi ini adalah suatu perkumpulan yang menjadi suatu kelompok lobi bagi terjadinya demokratis di Birma.
Malam itu mereka sedang berbicara tentang kemungkinan pemberian hadiah Nobel perdamaian buat Aung San Suu Kyi. Pembicaraan kami menang terjadi dua hari sebelum hadiah Nobel diumumkan.
Menurut rekan-rekan itu, mereka ikut lobi berbagai pendukung pemilihan pemenang hadiah Nobel, agar menjatuhkan pilihannya kepada Aung San Suu Kyi.
Alasannya. Suu Kyi adalah seorang pejuang, Birma yang gigih memakai cara damai dalam memenangkan kekuasaan di Birma dari tangan rezim militer. Suu Kyi juga harus diingat, karena partai yang dipimpinnya, Liga Nasional untuk Demokrasi, adalah partai yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1989.
Tetapi pihak penguasa militer menolak mengakui kemenangan damai Suu Kyi dengan memberlakukan apa yang dikenal dengan State Law and Order Restoration Council (SLORC). Hukum itu adalah eufemisme dari hukum keadaan darurat. Dan berdasarkan inilah dari penguasa militer kemudian menahan Suu Kyi serta menangkap ribuan aktifis NLD lainnya. Termasuk pula menangkap U Nu, mantan Perdana Menteri Birma, yang ikut memelopori Konferensi Asia Afrika di Bandung.
“Pemberian hadiah ini akan membantu terfokusnya perhatian dunia kepada Birma,” ujar rekan itu. Dan alangkah bahagianya saya ketika dua hari kemudian, saya membaca di satu koran terbitan Oldenburg, bahwa hadiah itu memang jatuh ke tangan Aung San Suu Kyi.
Di majalah Newsweek, seorang diplomat Barat yang tidak disebutkan namanya mengatakan “With Aung San Suu Kyi being awarded the Nobel Peace Prize, it will be core difficult for auto cratic Third Would regimes to lobby against the resolution.” Koran-koran Jerman juga memuat pidato Aung San Suu Kyi, yang terkenal sekali, “Freedom from Fear”.
Dalam perjalanan selanjutnya, saya menjadi lebih banyak tahu tentang gerakan-gerakan untuk negara Dunia Ketiga, yang banyak terpusat di Eropa. Saya bisa berkenalan dengan gerakan yang membantu perjuangan rakyat Amerika Latin. Melihat pemusik Peru bermain di jalanan, yang ternyata belakangan saya ketahui, juga merupakan aktifis Peru. Mereka bernyanyi selain demi sedikit uang, juga untuk menyiarkan kepada masyarakat Barat, akan persoalan-persoalan rakyat Peru. Saya juga berjumpa dengan pekerja gerakan Srilangka, Kashmir, negara-negara Afrika dan sebagainya.
Orang-orang semacam inilah, yang tentu tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan Jerman, yang bekerja secara sangat efisien dalam memperjuangkan demokrasi di tingkat internasional, dengan mein telefax, pesawat telepon, perpustakaan mini yang mengagumkan. Hubungan baik dengan organisasi macam Amnesty International, Parlemen Eropa dan lainnya.
Mereka mampu bekerja dengan cepat. Terkadang suatu keadaan di negara mereka bisa lebih cepat mereka ketahui daripada rekan-rekannya di tanah air. Ada dari mereka yang menggunakan seluruh waktunya untuk gerakan. Menerbitkan buku, memantau keadaan dalam negeri, menelepon sana-sini, berbicara dalam seminar, mengadakan demonstrasi apabila ada pejabat negara bersangkutan datang ke Jerman dan lain-lain.
TERNYATA berpolitik di Jerman dibayar oleh pemerintah. Di negara ini apabila ada penduduk yang mau berpolitik pemerintah memberikan dana DM3 per orang per bulan (± Rp 3,300) sehingga organisasi-organisasi semacam Deutsch Burmesische Gesellschaft, selain mendapatkan uang iuran anggota, juga mendapat dana dari pemerintah.
Makin banyak anggotanya, tentu makin besar tunjangan yang diterima. Dan bagi organisasi yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga ABM (Arbeit Beschaffung Asnabme). Tenaga ABM ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada organisasi, tapi gaji dan tunjangannya dibayar oleh pemerintah, seperti di Suedostasien Informationsstelle, pusat informasi yang koordinasi undangan saya, disana ada beberapa tenaga ABM yang bekerja secara penuh.
Berpolitik disini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. Lain kalau misalnya masuk kedalam organisasi yang tujuannya menakut-nakuti orang asing. (misalnya kelompok Neo Nazi). Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberi tunjangan.
Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan. Di Jerman ada istilah yang cukup menakutkan yaitu “Berufsverboot” (professional disqualification). Orang yang terkena cap ini, biasanya dari kalangan kiri maupun kelompok-kelompok anti nuklir, tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, guru dan public service lainnya.
No comments:
Post a Comment