Andreas Harsono
Bernas, 1 Desember 1991
SELAMA HAMPIR DUA BULAN di Jerman saya benar-benar dibanjiri informasi dari siaran televisi yang menyiarkan konferensi Madrid dari detik ke detik atau peristiwa pernikahan Liz Taylor. Pertandingan sepak bola, konser musik dan sebagainya. Saya juga dibikin gembira dengan penerbitan pers yang membanjiri setiap toko di stasiun maupun kios-kios di ujung jalan.
“Di sini informasi cepat sekali,” ujar seorang rekan.
Saya bahkan bisa mengetahui berita tentang Indonesia --misalnya peristiwa penembakan di Dili-- lebih cepat, lebih akurat dan lebih lengkap dibanding kalau saya di Indonesia. Lewat hubungan telepon internasional, yang mahal sekali, saya senantiasa bisa mengetahui isu apa yang sedang hangat di kalangan teman-teman di Salatiga.
Pada tahun 1987 di Jerman, sebelum reunifikasi, setiap hari beredar sekitar 20.7 juta eksemplar penerbitan pers.
Untuk penduduk Jerman, yang jumlahnya sekitar 65 juta jiwa, perbandingan tentu besar sekali. Saya pikir angka-angka ini sudah menunjukkan betapa besarnya minat baca orang Jerman. Sekaligus juga memperhatikan bahwa negara terluas di Eropa Barat ini sudah lama sekali memasuki kebudayaan tulis.
Harian terbesar di Jerman adalah Bild Zeitung. Setiap hari rata-rata 5 juta eksemplar terjual habis lewat kios-kios di pinggir jalan. Koran ini ukuran tabloid sebanyak 12 halaman. Harganya DM 0.6 (Rp 660). Ia tipis sekali dan formatnya adalah tabloid.
Di halaman tengah selalu ada gambar gadis, telanjang, juga memperlihatkan payudaranya. Koran ini termasuk salah satu koran yang ikut mengobarkan semangat kaum kanan dan anti orang asing. Isu ini belakangan ini ramai di Jerman.
Dalam bulan September, Bild Zeitung pernah melaporkan, “Orang asing sekarang bisa membeli apa saja. Mereka bisa membeli jaket kulit yang bagus sementara saya tidak bisa." Itu omongan salah satu pemuda Jerman yang diwawancarai. Tabloid terbitan Hamburg ini bikin saya khawatir. Bakal banyak opini orang akan terpengaruh.
Tetapi ternyata persoalan kebebasan mengemukakan pendapat ini tidak sederhana yang saya bayangkan. Karena pada saat yang bersamaan di Jerman juga ada koran-koran dengan pemberitaan yang bisa mengimbangi Bild Zeitung. Dari Essen terbit Westdeutsche Allgemeine Zeitung dengan oplah 667.000 eksemplar per hari. Ini adalah koran kedua terbesar di Jerman.
Beda dengan Indonesia dimana koran nasional didominasi oleh suratkabar dari ibukota Jakarta, di Jerman koran daerah pun tetap bisa berkembang sampai keluar batas-batas daerahnya. Koran terbesar Bild Zeitung ternyata tidak terbit dari Bonn tapi dari Hamburg. Dan majalah yang sangat diperhitungkan, di Jerman maupun secara global, tentu saja, majalah Der Spiegel yang terbit tiap Senin dengan olah per hari 667.000 eksemplar.
Sewaktu baru tiba di Jerman saya dikejutkan oleh kritik Der Spiegel terhadap Greenpeace, organisasi lingkungan hidup terbesar dalam sejarah dunia. Kritik ini ternyata menjalar kemana-mana. Masuk ke pusat-pusat pemberitaan media Barat, melewati batas-batas negara dan ketika pulang ke Indonesia, saya juga membacanya, di salah satu koran di Indonesia walau terlambat sekitar satu bulan setengah dari Der Spiegel.
Di Jerman, majalah ini dianggap oleh kalangan cendekiawan Jerman sebagai tiruannya majalah Time dari New York, Amerika Serikat.
Amerika memang dihormati di Jerman. Usaha untuk meniru “American style of life” juga tidak malu-malu dilakukan di Jerman. Mungkin ini terjadi karena di Jerman sulit sekali untuk mendapatkan buku dalam bahasa Inggris. Siaran televisi semua dalam bahasa Jerman, film-film Amerika di-dubbing.
Amerika adalah negara yang setengah abad lalu menaklukan Jerman dan sekarang menjadi salah satu sekutu Jerman yang terpenting dalam North Atlantic Treaty Organization.
Tentara-tentara Amerika banyak yang berkeliaran di Jerman. Tentara-tentara Amerika ini tinggal di barak-barak mereka yang punya fasilitas lengkap, ibarat, komunitas yang eksklusif.
Mereka mempunyai perumahan, sekolah, rumah sakit dan berbagai fasilitas sendiri. Saking banyaknya tentara Amerika di Kaiserslautern, salah satu kota yang saya kunjungi, ongkos bis bisa dibayar dengan dolar Amerika.
PERTANYAAN yang sekarang penting untuk dijawab: Dengan demikian banyak penerbitan pers di Jerman apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat itu benar-benar terlaksana sepenuhnya? Dengan kemampuan menangkap siaran stasiun televisi yang mencapai 20an bahkan terkadang 30an channel, termasuk siaran dari Amerika Serikat, apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat terlaksana sepenuhnya?
Saya khawatir manipulasi berita atau setidaknya monopoli sumber pemberitaan, secara mendasar, sebenarnya masih bisa terjadi di negara maju seperti Jerman.
Di balik angka-angka yang menggiurkan tentang jumlah penerbitan di Jerman, sebenarnya pers hanya dikuasai oleh sedikit orang.
“Sekarang di berbagai daerah orang-orang tidak dapat lagi memilih antara dua atau lebih harian dengan laporan lokal yang berbeda dan sikap politik yang berbeda,” ujar seorang dosen suatu universitas daerah Ruhrgebiet.
Ini bisa terjadi karena adanya merger pun integrasi berbagai perusahaan pers.
Konglomerat pers semacam Axel Springer AG, yang menerbitkan Bild Zeitung, juga menguasai mayoritas saham dari koran-koran lain yang lebih kecil. Koran di Jerman praktis didominasi oleh Axel Springer AG termasuk dua kelompok lain, Welt on Sonntag dan Bild am Sonntag.
Kemajuan teknologi dan kekuatan ekonomi membuat penerbitan-penerbitan kecil gulung tikar dan diambil perusahaan besar. Konsekuensi dari merger ini, tentu saja, sikap politik, dan pola pemberitaan menjadi seragam. Dan media cetak sampai media elektronik semuanya dikuasai oleh raksasa-raksasa bisnis informasi Jerman.
Ketika di Berlin saya juga menyaksikan suatu pemandangan yang unik tentang peranan perusahaan-perusahaan besar di bidang informasi ini.
Di daerah perbatasan antara Berlin Barat dan Berlin Timur, Axel Springer AG mempunyai sebuah gedung yang tinggi sekali. Karena berdekatan dengan wilayah Berlin Timur, di puncak pencakar langit itu di pasanglah suatu billboard raksasa. Setiap hari di billboard tersebut dipasang kalimat-kalimat yang isinya dimaksudkan agar dibaca oleh penduduk Berlin Timur. Ini jelas keperluan propaganda karena itu, setiap kali di wilayah eks Jerman Timur terjadi intimidasi atau kejadian apapun yang mampu dibuat untuk mendiskreditkan pemerintah Eric Honecker, billboard itu pun dimuati kalimat-kalimat “berita.”
Pemerintah Jerman Timur tampaknya juga menanggapi psywar tersebut dengan membangun gedung-gedung yang lebih tinggi, berhadapan dengan gedung Alex Springer AG. Selain kebutuhan akan rumah meningkat, akhirnya gedung -gedung itu juga dimanfaatkan untuk menutupi billboard
Saat saya datang ke Berlin, tentu saja, perang propaganda itu sudah berakhir. Tembok Berlin yang membatasi kedua gedung-gedung yang dibuat “bermusuhan” itu juga sudah tidak ada. Yang ada hanyalah tanah lapang, bekas daerah tak bertuan, yang sekarang sedang dibersihkan untuk dimanfaatkan pemerintah kota Berlin. Tetapi perang propaganda tersebut setidaknya membuktikan betapa perang informasi juga bisa terjadi secara telanjang dan kasar.
Catatan Perjalanan dari Jerman
Suara Merdeka, 22 November 1991
Suara Merdeka, 22 November 1991
Bernas, 1 Desember 1991
Bernas, 2 Desember 1991
No comments:
Post a Comment